Sejak awal kemunculannnya sampai kini, saat teknologi komunikasi berkembang sedemikian pesat, di dunia pers  masih tersisa perdebatan panjang, apa yang dimaksud dengan berita (news)?

Kendati telah dicoba dengan sejumlah perangkat parameter untuk mengukurnya, filosofi apa itu berita masih tetap menimbulkan silang pendapat. Perbedaan pandangan terhadap apa makna berita inilah yang menimbulkan tudingan pers Indonesia zaman sekarang sering "membutakan diri" terhadap suatu peristiwa, terutama jika peristiwa itu oleh sementara kalangan dinilai "berita besar," tetapi oleh pers hanya disiarkan sebagai "berita biasa-biasa saja". Salah satu contoh yang aktual ihwal pemberitaan demo atau aktivitas 212.

Walaupun hampir tak ada pers yang tak memberitakan, cara pemberitaan pers  berbeda-beda. Ada televisi yang menyiarkannya secara langsung, ada yang menyiarkan langsung, tetapi sepotong-potong, ada pula yang hanya menyiarkan sebagai bahan berita bersama berita lain.

Begitu pula pers cetak, ada yang mengangkat sebagai berita utama, ada yang di halaman nasional atau politik, juga ada yang menempatkannya agak ke halaman belakang.

Perbedaan ini menimbulkan sejumlah reaksi. Ada yang menilai pers yang tak menjadikan peristiwa itu sebagai berita utama telah melakukan "bunuh diri" karena tak menghormati aspirasi publik dan bakal ditinggalkan karena tak dapat dipercaya publik. Tak sedikit pula yang berpendapat itu bukan hal luar biasa dalam dunia pers, nasional maupun internasional.

Pada awal abad ke-20, beberapa tokoh pers dunia merumuskan berita "segala sesuatu yang kami (pers) nilai siap naik cetak". Di luar itu tak dinilai sebagai berita. Sebaliknya dalam sejarah pers Indonesia, sejak zaman Hindia Belanda, awal kemerdekaan sampai runtuhnya Orde Baru, pemerintah berupaya meyakinkan berita harus dikaitkan dengan kepentingan pemerintah.

Harus sesuai dengan pandangan, tindakan, dan keinginan pemerintah. Berita yang bertentangan dengan itu dinilai sebagai informasi yang  insinuatif dan destruktif. Sebelum reformasi, untuk menyesuaikan berita pers nasional dengan kerangka berpikir pemerintah, pemerintah mengooptasi pers nasional lewat berbagai cara, dari yang halus hingga menabrak kemerdekaan pers.

Semua pemerintah di Indonesia periode sebelum reformasi mempraktikkan penyensoran. Misalnya, menelepon redaksi agar tak menyiarkan atau harus menyiarkan suatu peristiwa. Pemerintah juga merasa jadi "pembina" pers sehingga merasa berhak mengarahkan pers nasional memakai framing atau angle yang sesuai kehendak pemerintah.

Sebagai alat kontrol terhadap pers, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan pers nasional punya izin lebih dahulu sebelum terbit, mulai dari izin cetak sampai terakhir surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP).

Tentu banyak pers yang tak mau berada dalam kungkungan ini  dan mencoba melawan. Akibatnya, pemerintah mengeluarkan "jurus sakti" mereka yang mematikan pers: pembredelan dengan mencabut izin yang ada.

Bukan rahasia umum lagi, dalam praktik, sebelum vonis pembredelan dijatuhkan, sering kali  direkayasa dulu berbagai peristiwa yang memberikan justifikasi tindakan pemerintah. Contohnya beberapa ormas "diatur" untuk menyatakan tersinggung atau terhina atas sebuah pemberitaan, kalau perlu  berunjuk rasa.

Kemudian, atas dasar itu, ditambahkan berbagai pertimbangan versi pemerintah sendiri, pemerintah memberikan peringatan kepada pers. Jika persnya masih dinilai "bandel", akhirnya dibredel. Hal ini menunjukkan pers nasional pada masa itu berada di bawah tekanan pemerintah serta kelompok masyarakat tertentu.

Bebas campur tangan

Dalam UU No 40/1999 tentang Pers yang lahir di era Reformasi, semua mata rantai itu diputus. UU Pers membalikkan paradigma lama. Sebelum era Reformasi, pers rentan dikriminalisasi, kini pers diberikan perlindungan hukum sepenuhnya. UU Pers dengan tegas menyebut pers nasional "harus mendapat jaminan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak mana pun".

Segala perizinan dihapuskan. Begitu juga terhadap pers nasional dibebaskan dari penyensoran dan pembredelan. UU Pers menegaskan, mereka yang melakukan penyensoran, pembredelan, dan menghalang-halangi tugas pers justru yang diancam hukuman pidana.

Di sinilah kemerdekaan pers memilih dan menyiarkan berita sepenuhnya memperoleh perlindungan. Tak ada satu pihak pun yang boleh mendikte, apalagi memaksa, berita apa yang tak boleh atau yang harus disiarkan dan bagaimana menyiarkannya. Tak ada lagi yang boleh melakukan kooptasi kepada pers. Itulah yang dikenal dengan independensi news room atau kebebasan redaksi.

Jaminan adanya independensi news room bukan turun tiba-tiba. Sejak zaman penjajah, pers Indonesia sudah memperjuangkan dengan darah dan bahkan nyawa. Setelah Indonesia merdeka perlu lebih dari setengah abad untuk mewujudkannya.

Independensi news room ini dasar kebebasan menyatakan pendapat dan pikiran, dan merupakan penyangga utama demokrasi. Jantung dari kemerdekaan pers terletak pada independensi news room ini sehingga independensi harus tetap dijaga dengan segala daya upaya.

Publik jadi hakim penilai terhadap pers. Pilihan berita dan cara menyiarkan akan menentukan seberapa kredibel pers di mata publik. Pers yang kredibel akan jadi rujukan dan kehadiran dinanti. Pers yang kurang atau tak kredibel akan dijauhi publik.

Walau ada independensi news room, tidaklah berarti otomatis pers tanpa pembatasan. Begitu juga tak berarti pers kebal hukum. UU Pers sudah memberikan koridor pembatasan yang jelas terhadap pers nasional. Ada empat kelompok besar yang tak boleh dilanggar.

Pertama, Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pers harus menempatkan KEJ sebagai "mahkota" dalam profesinya. Pers yang tak taat berarti telah menginjak-injak harkat martabat profesinya sendiri.

Kedua, hak asasi publik. UU Pers jelas menegaskan dalam menjalankan fungsinya pers harus tetap menghormati hak-hak asasi pihak lain. Ketiga, pers harus menghormati norma-norma agama dan kesusilaan, termasuk tak boleh menyiarkan pornografi. Keempat, pers harus tunduk pada supremasi hukum, dalam hal ini UU Pers dan peraturan perundangan terkait.

Pers nasional yang melanggar pembatasan itu dapat dilaporkan ke Dewan Pers. Setelah itu Dewan Pers akan memeriksa kasusnya untuk menentukan apakah masih dalam ranah etika pers atau  sudah di luar persoalan pers.

Kalau masih dalam ranah etika pers, Dewan Pers akan memutuskan sesuai prinsip-prinsip KEJ. Sebaliknya, kalau kasusnya berada di luar bidang pers, Dewan Pers akan menyerahkan sepenuhnya penanganan kasusnya kepada Polri, dan Dewan Pers tidak mencampurinya lagi.