Pergantian tahun senantiasa memberi semangat baru bagi kita untuk meraih kehidupan yang lebih baik dan merancang strategi yang tepat untuk mewujudkannya.

Analisis demografi yang didasarkan pada proyeksi penduduk dapat menjadi dasar bagi kita untuk menyusun strategi masa depan dengan baik. Tulisan ini mencoba menguraikan situasi kependudukan di tahun 2019 hingga 2045 dan implikasinya bagi strategi pembangunan masa depan Indonesia.

Situasi kependudukan 2019

Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 hasil Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 2015 Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bappenas menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia tahun 2019 diproyeksikan sebanyak 266,91 juta jiwa dan terus bertambah hingga mencapai 318,96 juta jiwa di tahun 2045. Akan ada tambahan sekitar 52 juta penduduk dalam kurun waktu 26 tahun ke depan.

Distribusi penduduk menurut pulau relatif stabil. Tahun 2019, Jawa menjadi tempat tinggal bagi 56,35 persen penduduk Indonesia, diikuti Sumatera (21,90 persen), Sulawesi (7,33 persen), Kalimantan (6,08 persen), Bali-Nusa Tenggara (5,60 persen), dan Maluku-Papua (2,74 persen).

Hingga tahun 2045, distribusi penduduk tidak banyak berubah, kecuali Jawa yang mengalami penurunan menjadi 53,87 persen dan Sumatera sedikit naik menjadi 23,31 persen.

Namun, proyeksi ini belum memperhitungkan pembangunan infrastruktur secara masif selama empat tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla). Membaiknya konektivitas wilayah di luar Pulau Jawa dan Sumatera akan berdampak terhadap distribusi penduduk menurut pulau dalam sepuluh hingga 20 tahun ke depan.

Struktur umur penduduk Indonesia masih didominasi oleh usia produktif (15-64 tahun) dengan jumlah mencapai 183,36 juta jiwa. Jauh melampaui jumlah penduduk usia muda (0-14 tahun) sebanyak 66,17 juta jiwa dan penduduk lanjut usia (65 tahun ke atas) sebanyak 17,37 juta jiwa.

Rasio ketergantungan mencapai angka 45, yang bermakna bahwa setiap 100 penduduk usia produktif akan menanggung 45 penduduk usia nonproduktif. Rasio ketergantungan tahun 2019 merupakan yang terendah selama ini, menandai kita sedang memasuki periode terbaik bonus demografi.

Rasio ketergantungan akan terus mencetak rekor terendah hingga 2023 dan setelahnya diproyeksikan terus naik. Selama periode 2019 hingga 2045, struktur umur penduduk akan berubah. Jumlah penduduk usia 0-14 tahun relatif stabil, tetapi cenderung turun sebagai konsekuensi penurunan angka kelahiran (total fertility rate).

Penduduk usia produktif terus meningkat, tetapi dengan proporsi peningkatan yang makin kecil. Sebaliknya, jumlah warga lansia meningkat tiga kali lipat sepanjang periode 2019-2045, sebagai konsekuensi membaiknya usia harapan hidup.

Pergeseran bonus demografi

Proyeksi penduduk Indonesia periode 2015-2045 memperlihatkan dua fenomena menarik dalam perspektif bonus demografi. Pertama, ternyata periode puncak bonus demografi yang sering diistilahkan sebagai jendela peluang (the window of opportunity) maju lebih awal delapan tahun. Menurut proyeksi penduduk hasil Sensus Penduduk 2010, periode puncak bonus demografi akan terjadi pada 2028-2031 yang ditandai dengan rasio ketergantungan terendah sebesar 46.

Adapun proyeksi penduduk terbaru memperlihatkan puncak bonus demografi terjadi lebih awal di tahun 2020-2023, bahkan dengan rasio ketergantungan yang lebih rendah, sebesar 45.

Kedua, bonus demografi akan berakhir lebih cepat dari proyeksi sebelumnya. Jika pada proyeksi penduduk sebelumnya bonus demografi diproyeksikan berlangsung selama tahun 2012 hingga 2042, proyeksi terbaru menunjukkan bahwa bonus demografi akan berakhir di tahun 2037, lebih cepat lima tahun.

Tentu harus ada respons yang tepat dari pemerintah terhadap informasi di atas. Pertama, kita menyadari bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 diimplementasikan justru saat Indonesia sedang berada pada periode terbaik bonus demografi. RPJMN 2020-2024 yang akan disusun pada 2019 harus didesain agar mampu secara nyata mentransformasi bonus demografi menjadi bonus ekonomi.

Melimpahnya penduduk usia produktif harus bermanfaat nyata bagi peningkatan kesejahteraan penduduk. Selain itu, periode bonus demografi yang lebih pendek mengharuskan kita bekerja lebih cepat untuk meraih manfaat sebelum bonus demografi berakhir.

Transformasi bonus demografi menjadi bonus ekonomi akan terwujud jika penduduk usia produktif yang termasuk angkatan kerja dapat bekerja secara layak dan sejahtera.

Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS pada Agustus 2018 menunjukkan terdapat 131 juta penduduk Indonesia yang termasuk kelompok angkatan kerja. Sebanyak 70,78 juta (56,76 persen) bekerja di sektor informal dan sisanya bekerja di sektor formal. Lebih banyak mereka yang bekerja di sektor informal dibandingkan formal.

Jika ingin pekerja kita bekerja lebih layak dan sejahtera, proporsi pekerja di sektor formal harus ditingkatkan. Caranya dengan memperbaiki daya saing nasional sehingga mampu mendorong peningkatan investasi di sektor formal.

Berdasarkan Indeks Daya Saing Global 2017-2018 (WEF: Global Competitiveness Report 2017-2018), Indonesia terus mengalami kenaikan peringkat daya saing global, dari peringkat ke-50 (2013) menjadi ke-36 (2018). Namun, peringkat daya saing kita akan naik lebih cepat jika kita mampu memperbaiki daya saing di pilar pendidikan, kesehatan, dan kesiapan teknologi.

Sejalan dengan hal itu, Presiden Jokowi menekankan bahwa fokus pemerintah di tahun 2019 adalah pada pembangunan sumber daya manusia. Bahkan, APBN 2019 secara eksplisit bertemakan "APBN untuk mendorong investasi dan daya saing melalui pembangunan (investasi) sumber daya manusia (SDM)".

Tantangan Revolusi Industri 4.0

Menurut Forum Ekonomi Dunia (WEF), daya saing suatu negara ditentukan oleh tiga pendorong utama, yaitu dorongan faktor produksi (factor-driven), dorongan efisiensi (efficiency-driven), dan dorongan inovasi (innovation-driven).

Kebijakan pemerintah membangun infrastruktur fisik dan memperbaiki tata kelola pemerintahan selama empat tahun terakhir berdampak positif terhadap peningkatan daya saing yang bersifat factor-driven.

Jumlah penduduk yang besar dengan daya beli yang terus meningkat menjadikan Indonesia memiliki modal daya saing dari sisi efficiency-driven.

Di era Revolusi Industri 4.0, daya saing sangat ditentukan bukan hanya oleh factor and efficiency-driven, melainkan juga kemampuan inovasi (innovation-driven). Revolusi Industri 4.0 dipicu oleh revolusi digital dan teknologi informasi yang berkembang sejak awal 2000. Memudahkan orang untuk mengakses informasi dan pengetahuan, mempromosikan produknya, dan melakukan ekspansi pasar.

Namun, Revolusi Industri 4.0 juga menciptakan tantangan di era bonus demografi karena ancaman untuk terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri juga meningkat. Pekerja dituntut memiliki kompetensi kerja yang tinggi atau akan tersisih. Tantangan ini berpotensi menjadi ancaman bagi bonus demografi jika kita tidak segera membangun SDM dengan kompetensi inovasi.

Inovasi bersumber dari pengetahuan baru dan lulusan terlatih yang dihasilkan sekolah dan universitas. Namun, WEF menjelaskan bahwa sebagian besar sistem pendidikan saat ini masih mengacu pada model yang dikembangkan seabad lalu. Pemerintah perlu segera menyempurnakan sistem pendidikan, ekosistem inovasi melalui sistem dan lingkungan yang mendukung berkembangnya inovasi.

Sistem pendidikan harus menghasilkan manusia unggul yang berkarakter, inovatif, dan berbakat tinggi. Pendidikan tidak sekadar mengajarkan siswanya agar lulus ujian. Pendidikan harus mendidik siswa untuk mampu memecahkan masalah, mengambil keputusan, berpikir kritis dan kreatif, memiliki kecerdasan emosi, dan mampu menjadi pribadi berkarakter lifelong learning.

Tak ada pilihan lain, kita harus mengembangkan strategi pendidikan yang adaptif terhadap Revolusi Industri 4.0, agar innovation-driven yang menjadi prasyarat Revolusi Industri 4.0 dapat berkembang dan mendukung peningkatan daya saing Indonesia.

Jika daya saing meningkat, investasi juga akan meningkat, kesempatan kerja di sektor formal terbuka lebar, memberi kesempatan bagi penduduk usia produktif kita untuk dapat bekerja dan menciptakan lapangan kerja yang layak.

Dengan demikian, kita akan mampu mentransformasikan bonus demografi menjadi bonus ekonomi, menciptakan kesejahteraan berkeadilan sosial.