Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 28 Desember 2018

Untuk Wartawan di KPK//Parkir Berbayar di Perpusnas//Turis dan Transjakarta (Surat Pembaca Kompas)


Untuk Wartawan di KPK

Kita patut geram dan jengkel manakala melihat para tersangka sewaktu diperiksa di Komisi Pemberantasan Korupsi tersenyum melambai-lambaikan tangan bak turis yang akan berangkat bertamasya. Bahkan, ada tersangka yang memakai rompi oranye dengan dua jari berlambang V.

Memang ada satu-dua tersangka yang berusaha menutup muka dengan tas dan map, tetapi lebih banyak yang senyum ketika kamera menghadangnya.

Kepada para wartawan yang meliput penangkapan para tersangka yang dibawa ke KPK, saya mengusulkan agar memakai tutup muka (topeng, kedok) dengan wajah pahlawan-pahlawan nasional dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote.

Di bagian depan topeng itu buat tulisan, misal "Kalau saya, sih, malu", "Kamu tidak malu, ya?" atau kalimat lain agar para tersangka tersadar bahwa mereka telah merusak dan mengkhianati negara dan keluarganya.

Didi Marsidi Nanggeleng, Sukabumi, Jawa Barat

Parkir Berbayar di Perpusnas

Di Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas), Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, yang disebut tertinggi di dunia ternyata marak praktik pungutan liar meski dalam level uang parkir. Saya sebagai pengunjung menjadi korban intimidasi petugas keamanan karena menolak memberi uang.

Sebagai orang yang sudah beberapa kali ke sana, saya tahu di perpustakaan tersebut tidak ada biaya parkir motor. Di tiket parkir juga tak tercantum nominal biaya yang harus dibayar pengunjung. Akhir-akhir ini, petugas satpam terkadang menagih uang parkir kepada pengunjung dengan modus "seikhlasnya" atau mematok Rp 2.000.

Pada Jumat (14/12/2018), ketika hendak keluar dari gedung dan dimintai uang, saya menanyakan setruk bayar parkir kepada satpam untuk memastikan apakah iuran yang mereka minta itu resmi atau tidak.

Alih-alih menjelaskan dengan baik, satpam tersebut malah berkata dengan nada tinggi, "Lebih baik, Mas parkir di tempat lain saja." Lucunya, ia kemudian memberi klarifikasi yang sulit dipercaya bahwa uang itu nanti untuk keperluan fasilitas perpustakaan.

Meskipun begitu, saya tetap kukuh tidak mengeluarkan uang. Saat saya melajukan kendaraan, dari jauh si satpam meneriaki saya dengan nada mengancam untuk tidak parkir di Perpusnas lagi. "Ya, sudah, enggak usah parkir di sini besok!" katanya.

Perilaku petugas itu menjengkelkan saya. Masalah pungli ini juga mengganggu kenyamanan saya—barangkali pengunjung lain Perpusnas. Apalagi, satpam tersebut sudah mengintimidasi saya agar tidak parkir di sana. Selain itu, tentu kita setuju bahwa praktik pungli, berapa pun nominalnya, harus dihilangkan demi membentuk mental bangsa yang baik.

Alfan Tiara Hilmi Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan

Turis dan Transjakarta

Kejadian ini saya alami saat naik transjakarta trayek Harmoni-PGC2 dari Halte Pasar Baru pada Sabtu (15/12/2018) sekitar pukul 11.00. Bus penuh. Di dalam penumpang laki-laki kulit putih berdiri, membawa ransel besar. Di ruang khusus perempuan tidak jauh dari tempat saya berdiri, duduk perempuan kulit putih yang juga membawa ransel besar.

Beberapa kali laki-laki itu menanyakan kepada petugas transjakarta dalam bahasa Inggris, bila sudah sampai di halte transit untuk tujuan Kampung Rambutan, mohon diberi tahu.

Ketika bus sudah sampai di Halte Cawang UKI, kedua turis itu keluar. Saya pun demikian. Lalu saya bertanya kepadanya, dari mana asalnya. Laki-laki itu menjawab bahwa dia berasal dari Jerman, sedangkan yang perempuan dari Skotlandia.

Kemudian, laki-laki itu menceritakan sekilas bahwa pelayanan transjakarta cukup bagus: ada ruang khusus dalam bus untuk perempuan. Meskipun saya berdiri, dia (perempuan) memperoleh tempat duduk, katanya.

Salut kepada petugas transjakarta yang bersahaja dan dapat bertugas melayani penumpang sesuai dengan porsinya.

Vita Priyambada Kompleks Perhubungan,Jakarta Timur

Kompas, 28 Desember 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger