KOMPAS/ALIF ICHWAN

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kanan) di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/12/2018), melihat barang bukti dalam penangkapan sejumlah orang terkait dugaan penyalahgunaan dana peningkatan prestasi olahraga Indonesia. Dalam kasus ini, KPK menetapkan sejumlah pejabat di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) serta di Kementerian Pemuda dan Olah Raga sebagai tersangka.

Ada perasaan bangga dan gembira ketika mengikuti peluncuran buku HerryPriyono, Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi  (2018) di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, 12 Desember 2018.

Ada semacam dukungan moral yang saya rasakan ketika hadir di sana, dengan sekian banyak orang yang peduli dengan persoalan korupsi di negara kita ini. Sebagian ada juga yang datang dari luar Jawa. Begitu lama kita dibuat gelisah oleh kenyataan korupsi, terutama sejak 1998 awal Reformasi dan kemudian dengan dibentuknya KPK yang merintis pemberantasan korupsi secara formal.

Memang, orang bisa bicara bahwa korupsi sudah ada sebelum Reformasi, atau bahkan sejak awal pemerintahan di zaman kemerdekaan. Akan tetapi , belum ada rasa gelisah massal berhadapan dengan kenyataan itu karena korupsi hanya dipandang sebagai kesalahan individual dan kekurangan kecil.

Dibentuknya KPK sesudah Reformasi, yang dipicu oleh tumbangnya Orde Baru, boleh dikata menandai kesadaran bahwa negara mengidap penyakit korupsi, bahwa penyakit ini harus diberantas bersama secara formal dan resmi.

Tidak cukup bahwa orang perorangan disadarkan melalui khotbah-khotbah agama di tempat ibadat sebab khotbah-khotbah itu tidak efektif karena hanya mengangkat kesadaran psikologis individual. Secara struktural diperlukan lembaga yang menangani korupsi dan dengan mandat yang khusus.

Di bagian awal buku itu, Herry-Priyono membicarakan persoalan istilah. Di situ diperlihatkan betapa luas pengertian "korupsi" dan betapa orang sering memahami secara sempit karena adanya bias-bias yang ditangkap dari pemahaman umum. Secara garis besar, bias-bias itu meliputi bias hukum, bias sentris negara, bias ekonomi.

Bias hukum memberi gambaran seolah-olah korupsi hanya menyangkut masalah hukum  sehingga kalau sebuah kasus belum diatur dalam hukum, hal itu bukan korupsi.

Demikian juga bias sentris negara memberi gambaran seolah-olah kesalahan koruptor hanya sejauh menyangkut urusan negara, misalnya dalam peran jabatan pemerintahan. Bias ekonomi memberi gambaran seolah-olah korupsi hanya berkaitan dengan soal kerugian dalam bentuk uang.

Memang, orang-orang biasa kebanyakan memahami korupsi sejauh menyangkut ketiga hal tersebut yang sering diberitakan dalam media massa.

Akan tetapi, sebagai istilah, "korupsi" mempunyai cakupan yang luas karena secara harfiah berarti 'perusakan' atau 'pembusukan' yang dalam kehidupan sosial bisa menyangkut segala macam penyelewengan moral, "apa saja yang merosot (degeneratif) dari kualitas yang dianggap ideal dan utuh".

Dalam buku tersebut, Herry-Priyono ingin mendudukkan persoalan korupsi pada "arti substantif yang ada di jantung konsep korupsi" yang menjadi dasar kemanusiaan.

Dilihat secara demikian, memang KPK mempunyai keterbatasannya karena tugas KPK persis hanya menangani kasus-kasus yang menyangkut hukum, terkait dengan mandat yang diberikan negara dan menyangkut persoalan uang atau lebih luas mungkin aset (dalam arti ekonomi).

Akan tetapi, "korupsi" memang lebih luas dari itu dan tidak semua bisa dijangkau dengan hukum. UU No 28/1999, misalnya, menyebut juga kolusi dan nepotisme yang marak di era Orde Baru.

Namun, jikalau benar bahwa "korupsi" dalam batas-batas pengertian yang ditangani KPK mempunyai keterkaitan dengan "korupsi" lain yang lebih luas (fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, dan politik), menjadi jelas bahwa ini bukan hanya tugas KPK, melainkan seluruh masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah yang terkait pendidikan anak-anak dan kaum muda, yang dalam rumusan tugas KPK mungkin bisa dimasukkan sebagai "pencegahan" dari korupsi.

Bukan hanya tugas KPK

Kita paham bahwa tidak boleh mengharapkan terlalu banyak dari KPK karena luasnya persoalan "korupsi" itu dan tidak bisa membebankan seluruh persoalan korupsi kepada KPK. Tugas KPK sangat konkret dan spesifik.

Justru dalam arti ini buku Herry-Priyono memberi insinuasi bahwa "korupsi" adalah masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang mengena kita semua, dan karena itu mendasari "korupsi-korupsi" yang ditangani KPK dalam tugas spesifiknya.

Akan tetapi, dari situ kita paham bahwa tugas memberantas "korupsi" merupakan tugas seluruh masyarakat Indonesia. Karena "korupsi" menyangkut kemanusiaan yang mendalam dan kemasyarakatan yang luas bagi bangsa Indonesia, seluruh masyarakat semestinya peduli dan ikut merasa prihatin.

Tanpa mengurangi kepentingan dan spesifikasi tugas KPK, tetap harus dikatakan bahwa kita harus mendukung dan membantu KPK yang telah menjadi emblem pemberantasan kebobrokan masyarakat terkait dengan "korupsi" di negara kita.

Tentulah keliru pandangan orang yang mau melemahkan kedudukan KPK karena "korupsi" tak juga berkurang, atau malah bertambah. Tanpa perlu memberi analisis, logika seperti itu jelas memperlihatkan, seolah-olah KPK bertanggung jawab terhadap seluruh persoalan "korupsi" dan masyarakat tinggal menunggu hasilnya.

Pencerahan dari buku tersebut, saya kira seperti dirumuskan oleh penulisnya sendiri dalam kesempatan peluncuran di aula KPK itu, yakni "merawat kegelisahan" atau secara lebih keras "memprovokasi imajinasi" dalam rangka kepedulian untuk memberantas "korupsi". Inilah "provokasi" positif yang berbeda dari pemahaman umum terkait dengan hoaks dan intoleransi yang menghasilkan kekerasan.

"Provokasi" dari buku ini menggugah kesadaran agar tidak tidur atau membiarkan "korupsi" ditangani oleh KPK sendirian karena kita perlu bersama mencegah upaya yang mau memperlemah KPK ataupun membebani KPK dengan tugas lain, yang bersifat moral  dan mengaburkan tugas praktisnya.

Persoalan "korupsi" oleh ordo Reformasi dianggap mendesak untuk ditangani karena disadari sebagai kejahatan yang keji dan merusak tatanan sosial secara signifikan, dan dalam UU No 30/2002 dikatakan, lembaga negara tidak mampu menangani secara efektif dan efisien. Oleh karena itulah, diperlukan badan independen untuk menjalankan tugasnya.

Yang dipersoalkan oleh KPK ialah mengapa orang terkesan menjadi takut dengan KPK. Hal ini terutama menyangkut  pegawai negeri atau pejabat eksekutif dan legislatif.

Apakah hal itu perlu diprihatinkan? Mudah-mudahan hal ini tidak berakibat mengendorkan rigoritas KPK, tetapi semakin membuat pejabat publik berhati-hati dalam tugasnya karena hal ini yang justru diupayakan  dengan pembentukan KPK.

Kiranya pejabat-pejabat yang tidak melakukan korupsi tidak perlu merasa takut, tetapi justru bangga karena punya "harga diri". Dan tugas masyarakatlah yang seharusnya menghargai dan menghormati pejabat-pejabat yang bersih dari praktik korupsi-kolusi-nepotisme (KKN). Hal seperti ini akan mendorong keberanian para pejabat dan pelayan publik untuk  mencegah diri dari kecenderungan koruptif.