Enam tahun musim semi Arab sudah berlalu. Musim yang sama kini menghampiri Sudan. Presiden Omar al-Bashir ditekan rakyatnya untuk meletakkan jabatan.
Ada kemiripan yang jelas antara aksi protes rakyat Sudan sejak 19 Desember lalu dan berbagai unjuk rasa di sejumlah negara di Timur Tengah serta Afrika Utara saat musim semi Arab melanda kawasan itu tahun 2010-2012. Tidak hanya mirip dalam yel-yel slogan para pengunjuk rasa, "rakyat ingin jatuhnya rezim", tetapi juga mirip dalam akar masalah pemicu awal unjuk rasa.
Seperti diberitakan harian ini, Kamis (27/12/2018), unjuk rasa di Sudan semula sebagai protes atas kenaikan harga roti, makanan pokok rakyat negara itu, dari 1 pound menjadi 3 pound (sekitar Rp 300 menjadi Rp 875). Harga minyak dan kebutuhan pokok juga naik. Tekanan hidup itu semakin dirasakan warga setelah inflasi mendekati 70 persen.
Negara itu kehilangan banyak sumber pendapatan dari minyak setelah Sudan Selatan memisahkan diri tahun 2011. Banyak ladang minyak berlokasi di wilayah selatan. Pada Oktober 2017, AS sebenarnya telah mencabut sanksi ekonomi yang sudah berlangsung selama 20 tahun pada Sudan. Saat itu muncul harapan situasi ekonomi bakal membaik. Investasi asing diharapkan berdatangan masuk dan ada perbaikan ekonomi. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya.
Unjuk rasa bermula pada 19 Desember di kota Atbara, sekitar 350 kilometer timur laut ibu kota Khartoum, lalu menjalar ke sejumlah kota lain, termasuk Khartoum. Menurut organisasi Human Rights Watch, sedikitnya 37 pengunjuk rasa tewas. Versi pemerintah, korban tewas sebanyak delapan orang.
Unjuk rasa ini merupakan yang terbesar sejak Presiden Omar al-Bashir mulai berkuasa melalui kudeta tak berdarah pada 1989. Beberapa pengamat politik setempat pun menyebut unjuk rasa itu dengan istilah "musim semi Sudan".
Apakah musim semi di Sudan ini bakal berujung pada tumbangnya rezim, seperti di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, atau bermuara pada perang saudara seperti berlangsung di Irak dan Suriah, perlu dicermati.
Bagi Sudan, sejak meraih kemerdekaan tahun 1956, unjuk rasa semacam saat ini bukan hal yang baru. Rakyat negara itu berkali-kali menggelar protes guna menyuarakan keinginan untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Serangkaian konflik, kudeta, dan perang saudara juga mewarnai negara tersebut.
Unjuk rasa kali ini didukung oleh partai-partai oposisi, seperti Umma dan Persatuan Demokrat. Namun, Bashir masih mendominasi kekuatan politik di negara itu. Basis kekuatan politiknya terletak pada militer, yang sampai kini masih menyatakan dukungan pada kepemimpinannya.
Apa pun jalan keluar yang ingin ditempuh di negara itu, kita berharap, jangan sampai Sudan mengulang situasi yang sama di Libya, Yaman, Suriah, atau Irak. Bukan hanya rakyat yang bakal menjadi korban akibat konflik berkepanjangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar