Untuk urusan data harus diakui, negeri ini masih butuh perhatian. Bukan hanya ada beragam urusan yang datanya tiada, tetapi ada data antarlembaga yang saling silang.
Urusan perekaman data kependudukan yang sangat penting dan strategis masih bersoal pula. Seperti dilaporkan harian ini, perekaman data kartu tanda penduduk elektronik di lima provinsi, dari 34 provinsi di negeri ini, di bawah rata-rata nasional. Pendataan di daerah itu menjadi prioritas pemerintah (Kompas, 27/12/2018).
Menurut Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, rata-rata perekaman data KTP-el secara nasional mencapai 97,5 persen. Lima provinsi yang masih di bawah rata-rata nasional adalah Papua (41,24 persen), Papua Barat (64,65 persen), Sulawesi Barat (78,06 persen), Maluku (80,52 persen), dan Maluku Utara (80,73 persen).
Minimnya perekaman data kependudukan itu karena berbagai alasan, seperti kerusakan alat perekam data, kondisi geografis yang sulit dicapai, dan kurangnya kesadaran masyarakat.
Dari sisi jumlah, lima provinsi yang rata-rata perekaman data kependudukannya di bawah rata-rata nasional itu memang kecil, kurang dari 14,7 persen. Kita juga masih bisa memahami bahwa kondisi geografis yang sulit dijangkau menjadi alasan lambatnya perekaman data KTP-el.
Namun, kerusakan alat yang berakibat pada lambatnya perekaman data semestinya sudah bisa diantisipasi dan diatasi segara sehingga tidak berdampak besar.
Apalagi, saat ini bangsa kita memasuki tahun politik menjelang pemilu serentak. Persoalan data kependudukan bisa menjadi soal pelik dan dapat berujung pada persoalan hukum. Banyak sengketa terkait kontestasi, baik pemilu maupun pemilihan kepala daerah, berawal dari persoalan data kependudukan.
Potensi sengketa Pemilu 2019, baik pemilu presiden maupun pemilu legislatif, sekecil apa pun harus diantisipasi dan dihindari sehingga tak menggerus legitimasi dari hasil pemilu mendatang.
Kalau masih ada warga yang tak sadar pentingnya perekaman data kependudukan itu, jika masih memungkinkan, mereka didekati dan dipersuasi sehingga bisa segera terdata.
Jika tetap membandel bisa diingatkan, Pasal 39 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik menegaskan, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa alasan yang sah mencegah, menghalangi, atau menggagalkan penyelenggaraan statistik oleh penyelenggara kegiatan statistik dasar atau sektoral bisa dipidana penjara paling lama 5 tahun dan dikenai denda paling banyak Rp 100 juta. Perekaman data KTP-el bisa diartikan secara luas sebagai kegiatan statistik karena akan menghasilkan data.
Dalam rapat koordinasi Badan Pusat Statistik (BPS), November lalu di Yogyakarta, terungkap bahwa data kependudukan yang dimiliki BPS, penyelenggara pemilu, dan Kemendagri berselisih sekitar 300.000 jiwa. Angka ini bukan jumlah yang sedikit. BPS pun akan menggelar Sensus Penduduk 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar