MK dalam putusannya, Kamis (13/12/2018), menyatakan, batas usia menikah yang diatur Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki, tak sesuai dengan konstitusi. Batas usia pernikahan laki-laki dan perempuan sama, yaitu 19 tahun. DPR dan pemerintah diberi waktu selama tiga tahun untuk mengubah pasal itu. Putusan MK pun berlaku.
Banyak faktor penyebab terjadinya perkawinan anak di masyarakat. Namun, yang paling mendasar adalah ketidakpahaman orangtua dan masyarakat mengenai hak anak. Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi".
Jadi, tak boleh ada diskriminasi pada anak. Apalagi, Pasal 28C konstitusi kita juga menegaskan, setiap orang berhak mengembangkan diri, mendapatkan pendidikan, serta memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya. Pendidikan pun menjadi kata kunci untuk mengatasi maraknya perkawinan anak di negeri ini.
Apalagi, Pasal 6 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyatakan, warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 7 Ayat (2) UU Sisdiknas juga menyebutkan, orangtua dari anak usia wajib belajar wajib memberikan pendidikan dasar pada anaknya.
Tak ada pidana bagi pelanggaran pasal pendidikan dasar ini. Namun, masyarakat berkewajiban mendukung supaya kewajiban pendidikan dasar ini bisa terpenuhi. Bahkan, muncul gugatan dari warga agar pendidikan dasar ditambah, bukan lagi wajib 9 tahun, melainkan jadi 12 tahun. Usia wajib pendidikan dasar ditambah menjadi 5-18 tahun. Tahun 2015, gugatan itu ditolak MK.
Namun, bukan berarti MK menolak kehendak khalayak agar wajib pendidikan dasar menjadi 12 tahun. Usia pendidikan adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pemerintah. Bahkan, sesuai UU Sisdiknas, masyarakat bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib mendukung adanya pendidikan tanpa diskriminasi, termasuk dalam pendanaannya. Masyarakat bisa pula menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat.
Agar perkawinan anak tak terjadi lagi, dan anak Indonesia bisa mewujudkan masa depan negeri ini yang lebih baik, pendidikan tak hanya penting untuk anak-anak, tetapi juga untuk orangtua dan masyarakat. Pendidikan itu bisa bersifat formal atau nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, serta budaya untuk kepentingan masyarakat. Pemerintah dan warga lainnya harus melakukan pengawasan yang tepat sehingga upaya menyadarkan warga tertentu untuk menghilangkan, setidak-tidaknya menekan serendah mungkin perkawinan anak di negeri ini, bisa terwujud. Anak berhak atas masa depannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar