
Kemajuan perikanan tecermin pada kesejahteraan nelayan, pembudidaya, dan tumbuhnya daya saing. Empat tahun perjalanan perikanan dan kelautan di era Kabinet Kerja dan 19 tahun sejak berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan harus kita nilai secara obyektif.
Tidak bisa dinafikan bahwa empat tahun masa yang penuh dinamika, tetapi bukan transisi. Perjuangan penegakan kedaulatan atas sumber daya laut menjadi prioritas utama. Titel dan aksi heroik melawan penangkapan ikan secara ilegal menjadi tampilan yang umum dalam berbagai media massa.
Berdasarkan laporan selama empat tahun perjalanan perikanan dan kelautan, selama November 2014-Agustus 2018 tercatat 488 kapal yang ditenggelamkan. Sebuah prestasi yang sangat baik dan patut dibanggakan.
Sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu sektor ekonomi nasional harus unggul dan mumpuni. Untuk itu, kita harus menempatkan prestasi dan capaian tersebut dalam koridor ekonomi nasional.
Program ekonomi kerakyatan selama empat tahun terakhir seharusnya juga menonjolkan capaian kesejahteraan nelayan dan pembudidaya. Untuk itu, tidak ada kata lain, kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan harus direbut untuk kejayaan negara maritim.
Empat pendekatan
Wujud nyata kejayaan perikanan terlihat pada kesejahteraan nelayan serta pembudidaya ikan. Penulis melihat setidaknya ada empat hal penting yang harus dilakukan untuk mencapai itu semua. Pertama, membangun sistem pendataan yang akurat dan andal. Kedua, memperkuat daya saing nelayan, pembudidaya, dan pengusaha perikanan. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan nelayan. Keempat, harmonisasi kebijakan.
Pertama, untuk memastikan agar tidak terjadi mismanajemen, data dan kualitasnya harus dapat diandalkan. Data jumlah potensi 12,5 juta ton harus segera terdefinisi dalam jumlah upaya tangkap. Begitu juga luas area budidaya darat dan laut. Hanya dengan informasi yang akurat kita dapat mengukur daya dukung produksi dari tangkap dan budidaya.
Selanjutnya akan diterjemahkan menjadi basis bahan baku industri pengolahan ikan. Neraca perdagangan bergerak pada angka yang masih di bawah capaian 2014 menunjukkan industri perikanan dalam kondisi stagnan. Kunci sistem usaha perikanan yang berdaya saing adalah kemampuan menghasilkan produk berkualitas dan bersaing di pasar global.
Kedua, daya saing usaha perikanan sebagai instrumen penting untuk mengukur berkembang atau tidaknya perikanan kelautan. Walaupun pertumbuhan perikanan belum sepenuhnya mencapai kondisi seperti pada 2014, peningkatan yang ada harus terus diupayakan.
Untuk menumbuhkan produk domestik bruto (PDB) perikanan menjadi 9 persen, perlu menumbuhkan dan mengembangkan pasar, baik di dalam maupun di luar negeri, serta merancang pasar baru. Peningkatan konsumsi ikan di atas 40 kg per kapita per tahun adalah potensi pasar lokal yang harus dipelihara.
Sementara peningkatan besaran PDB harus proporsional karena proporsi bisa dinamis akibat fluktuasi nilai rupiah dan harga pasar. Kecenderungan harga yang terus meningkat secara otomatis akan meningkatkan besaran PDB sehingga besaran PDB perlu ditampilkan dalam bentuk kontribusi. Dengan demikian, bisa dilihat persentase kontribusi PDB perikanan terhadap nasional.
Dalam hal peningkatan volume ekspor, butir penting yang perlu diperhatikan selama 2018 adalah adanya pelemahan rupiah yang berpengaruh besar pada nilai perdagangan. Selain itu, fakta di lapangan, kinerja ekspor juga terpengaruh oleh dekonstruksi usaha perikanan. Untuk itu, perlu didorong agar volume ekspor terus tumbuh melampaui volume 2014, yaitu di atas 7 persen.
Pergerakan nilai komoditas utama, seperti tuna, udang, dan cumi, juga harus dipacu. Afirmasi kebijakan penangkapan dengan memberikan ruang pengusaha lokal berusaha perlu diberikan. Sebab, keberadaan investor lokal diperlukan untuk memanfaatkan stok ikan di wilayah RFMO (organisasi pengelolaan perikanan regional) yang tidak termanfaatkan. Berdasarkan catatan Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), kapal penangkapan ikan di RFMO yang berukuran di atas 30 GT hanya 460 unit (IOTC 280 unit, CCSBT 165 unit, WCPC 15 unit).
Dari sumber yang sama, jumlah kapal kita hanya 5,52 persen di IOTC (Pengelolaan Perikanan Tuna di Samudra Hindia), di bawah Sri Lanka yang mencapai 32,46 persen. Kapal di wilayah WCPFC (Komisi Perikanan Pasifik Barat dan Tengah) 0,34 persen, di bawah Taiwan yang mencapai 35,06 persen, termasuk yang paling rendah jumlahnya.
Sementara di RFMO CCSBT, kapal kita mencapai 27,59 persen, tetapi berdasarkan data 2015-2017 kita belum memanfaatkan kuota yang ada tersebut. Tantangan berikutnya adalah bagaimana memanfaatkan kuota tahun 2018-2020 di CCSBT yang mencapai 1.023 ton.
Catatan penulis, setiap kuota yang kita dapatkan harus dimanfaatkan. Jika tidak, investasi untuk mendapatkan kuota tersebut menjadi percuma dan mubazir sehingga kita merugi. Afirmasi kebijakan menjadi instrumen penting meningkatkan produksi perikanan berkualitas ekspor melalui tangan pengusaha.
Ketiga adalah kesejahteraan yang direpresentasikan oleh nilai tukar nelayan, pembudidaya, dan pengolah. Nilai tukar nelayan sebagai ukuran kesejahteraan penting dicermati atau dievaluasi. Nilai tukar dapat saja meningkat karena konsumsi nelayan mengalami penurunan akibat harga barang konsumsi yang meningkat. Titik lemah dalam hal ini yang menjadi pertanyaan adalah konsumsi mengalami perubahan atau asumsi dalam menetapkan standar dan ukuran konsumsi.
Sebab, ketika harga dolar naik, sebagian besar barang konsumsi naik. Indikator mikro turunan nilai tukar semestinya bisa dipetakan berapa persen nelayan atau pembudidaya ikan yang kesejahteraan membaik dengan meningkatnya nilai tukar.
Indikator nilai tukar saja masih sangat umum menjelaskan kesejahteraan yang didapatkan nelayan dan pembudidaya ikan. Untuk itu, kesejahteraan bisa dievaluasi dengan tingkat kebutuhan hidup minimum setelah memperoleh bagi hasil atau upah dari usaha perikanan.
Keempat, pentingnya mendorong harmonisasi kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan. Implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 hasil revisi UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil harus secara clear dan clean dipahami pemerintah daerah.
Proses transisi dalam perubahan kewenangan ternyata tidak memudahkan untuk mendorong investasi perikanan. Tata kelola aset pelabuhan, pendapatan daerah, serta kepentingan masing-masing belum terjelaskan secara baik. Begitu juga sinkronisasi dengan Permendagri No 19/2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah yang memberikan izin dalam penggunaan aset daerah selama 5 tahun. Konflik kebijakan dalam penggunaan aset harus dihilangkan agar investor berminat berusaha di bidang perikanan.
Momentum 2019
Semua butir uraian di atas penting untuk dilakukan agar kita mampu merebut kembali kejayaan perikanan. Tanpa sistematika gerakan yang pasti, kita akan mengalami fase stagnasi yang berkelanjutan.
Kejayaan perikanan hanya akan mampu dipercepat melalui upaya penegakan kedaulatan yang selanjutnya diiringi akselerasi usaha berbasis tangkap dan budi daya. Tahun 2019 menjadi momentum untuk membuktikan bahwa perikanan dan kelautan sebagai tulang punggung ekonomi masa depan.
Menuju 20 tahun usia Kementerian Kelautan dan Perikanan, perspektif ekonomi kelautan harus didorong agar bangsa mendapat kemanfaatan yang lebih besar.
Semoga hasil Pemilu 2019 akan menghasilkan kemanfaatan yang didambakan bangsa ini dari kelautan dan perikanan, yaitu kejayaan perikanan yang sesungguhnya, yakni kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan kontribusi nyata dalam ekonomi negara maritim.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar