Antisipasi adalah sikap dan tindakan manusia untuk mempersiapkan tanggapan terhadap situasi yang belum terjadi berdasarkan bukti-bukti atau observasi saat ini.
Sikap dan tindakan ini sangat natural karena manusia tidak hanya hidup di saat ini saja, tetapi juga untuk masa depannya. Meskipun demikian, ada dua persoalan serius.
Pertama, walau manusia selalu mengantisipasi secara kognitif apa yang akan mereka hadapi, tindakan yang diperlukan tidak serta-merta diambil. Ketika situasi atau peristiwa yang mereka antisipasi benar-benar terjadi, tanggapannya kedodoran. Kedua, walau telah disiapkan tindakan antisipatif yang paling masuk akal, ternyata tidak semua variabel yang perlu dipertimbangkan sudah masuk dalam kalkulasinya. Akibatnya sama, yaitu kedodoran.
Bedanya adalah ketidaksiapan dalam antisipasi akan disertai ketidaksiapan dalam pemulihan dari kedodoran. Ia kehilangan kesempatan atau waktu untuk berpikir kreatif tentang situasi yang dihadapi dan tidak tahu bagaimana memobilisasi sumber dayanya. Mereka yang siap telah membekali diri dengan energi yang dikonservasi untuk menghadapi hal-hal tak terduga sehingga punya kelenturan berpikir dan tahu sumber daya apa yang perlu dimobilisasi.
Pemilu 2019
Apa saja yang dapat kita observasi dalam persiapan hajatan demokrasi besar Pemilu 2019? Pertama, tidak tampak adanya wacana terbuka mengenai program-program dan rencana pembangunan ke depan. Yang tampak adalah informasi mengenai berbagai kegiatan dan pencapaian pembangunan pemerintah yang diasosiasikan dengan pihak petahana tanpa upaya berlebihan untuk memberikan kredit kepadanya dan reaksi-reaksi kecil dari pesaing. Yang perlu diamati adalah, ketika ada persoalan yang dilontarkan pesaing, pihak yang mewakili petahana akan berkukuh bahwa penyoalan itu tidak sah, tak masuk akal sehat, kurang informasi, dan sebagainya dengan posisi yang sangat defensif.
Dalam berbagai perdebatan yang ditayangkan di media massa, terjadi fenomena ketika pembela petahana reaktif, tidak siap menghadapi "keanehan" dan cara berpikir out of the logic dari pesaingnya. Akibatnya, kita menonton pihak yang mengotot dan mencoba membenarkan apa yang mereka lakukan dan pihak lain yang banyak tersenyum dengan permainan "bodoh" mereka.
Siapa pun yang mewakili petahana gagal mengantisipasi bahwa strategi dekonstruksi program melalui realitas semu menyerang elemen yang paling sederhana dalam prestasi petahana untuk bahan dialog dengan konstituen yang tidak berpendidikan tinggi, bahkan cara-cara karikaturis untuk mendistorsi pribadi petahana. Akibatnya, cara-cara kreatif dan yang lebih produktif tidak dilakukan. Kekhawatiran untuk terlibat dalam cara-cara yang dinilai "kotor" menyebabkan respons yang monoton dan menggemaskan.
Hal lain yang diamati dalam wacana menjelang Pemilu 2019 adalah eksperimentasi dengan perasaan konstituen melalui hoaks dan berita palsu atau istilah-istilah emosional yang disuarakan (atau di-tweet-kan) oleh tokoh-tokoh yang selama ini dipercaya masyarakat. Eksperimentasi ini sangat berbahaya karena ketika emosi atau realitas alternatif yang diusung salah satu pihak berhasil membentuk "realitas sebenarnya" dalam otak konstituen, mereka akan mudah dimobilisasi atas dasar perjuangan moral atau agama yang menjadi bagian dari konstruksi realitas itu.
Wacana dekonstruksi terhadap program atau prestasi pemerintah dimulai dengan dimunculkannya isu makro, seperti utang negara dan defisit neraca transaksi berjalan, rasio gini dan kemiskinan, serta buruh asing dan buruh kontrak lokal, yang tidak dimengerti oleh konstituen kalangan bawah karena bukan itu tujuannya. Tujuannya adalah memancing tanggapan defensif, yang terpaksa harus menjelaskan dengan sederhana dan detail kemudian dimunculkan isu mikronya yang masuk akal konstituen ("harga barang mahal", "ketidakadilan", "penzaliman", "kaki tangan asing", PKI, dan lain-lain).
Eksperimentasi yang mengaduk-aduk emosi konstituen disertai provokasi akar rumput melalui ceramah ataupun letupan-letupan peristiwa berbau ekonomi atau SARA akan sulit diatasi sebagai sumber perpecahan di masa mendatang karena emosi serta "keyakinan" tidak mudah dipatahkan dengan pendidikan moral-etik atau dengan data atau bukti-bukti empirik secanggih apa pun.
Hal yang muncul beberapa minggu terakhir ini lebih berbahaya lagi, yaitu upaya-upaya pengembangan wacana untuk mendelegitimasi sistem pemilu itu sendiri guna menciptakan resistansi di akar rumput. Jika konstituen berhasil diyakinkan bahwa sistem digunakan untuk menyelenggarakan pemilu ini tidak sah karena sudah ada rekayasa sebelumnya, dapat dipastikan akan terjadi perpecahan dan tubrukan yang cukup masif di masyarakat. Stabilitas ekonomi, politik, dan persatuan sosial yang dibangun dengan susah payah akan goyang sampai ke akar-akarnya, seperti di Kongo dan Madagaskar saat ini. Tampaknya strategi delegitimasi ini akan dilakukan berjilid-jilid jika tidak dilakukan tindakan antisipatif.
Tindakan antisipatif
Pertama adalah menghadirkan dialog atau wacana programatik yang cermat dan cerdik. Cari cara yang kreatif dan mendidik dalam perdebatan, hindari posisi defensif bagi siapa pun. Beberapa old wisdoms ini mungkin bermanfaat jika dicarikan tindakan yang sebenarnya. Gunakan kelembutan untuk melawan kekuatan. Cari respons empatik untuk menekuk serangan negatif. Biarkan mereka yang mendulang air tepercik mukanya sendiri. Kebodohan tidak dapat dilawan dengan kecerdasan, tetapi dengan kearifan. Menghadapkan seorang bodoh dengan cermin atau suaranya sendiri mungkin lebih efektif dibandingkan dengan berdebat kusir. Menolak masalah yang bukan masalah kita—itu masalah mereka.
Semua ini tentu memerlukan strategi imbuhan dalam bentuk gerakan dan kerja serius di akar rumput untuk berdialog dengan konstituen, terutama kaum muda, seperti imunisasi untuk mencegah penyakit infeksi.
Berikutnya diperlukan kontribusi sistemik, dalam hal ini tentu bidang hukum dan keamanan (security) untuk menelisik dan menelaah serta menindak tegas anasir-anasir dari mana pun asalnya yang berpotensi merusak tatanan negara dan pemerintahan yang berlaku. Pemerintah dapat berganti rezim melalui proses politik dalam periode tertentu, tetapi negara dan bangsa ini harus ada selama mungkin. Aparatur negara berkewajiban menjaga integritas sistem kenegaraan yang telah dibangun dengan darah dan air mata pendahulu kita. Jangan sampai terjadi perusakan tatanan hidup berbangsa dan bernegara karena nafsu kekuasaan membabi buta.
Secara sistemik, kita juga harus mengantisipasi apa yang akan menjadi sasaran untuk menciptakan khaos dalam penyelenggaraan pemilu. Data dan workflow dalam proses pemilihan merupakan komponen krusial yang rentan gangguan dan berakibat fatal jika tidak ada rencana mitigasinya. Pengelolaan data dan informasi pemilu dengan mengedepankan sikap yang prudent atau hati-hati, double security, dan safeguarding system yang efektif di tempat-tempat suara sangat diperlukan. Paling utama dalam menghadapi Pemilu 2019 ini adalah tidak bersikap masa bodoh. Setiap warga negara berkewajiban mewujudkan suatu proses pergantian kekuasaan yang demokratis, aman, dan menyenangkan.
Mari kita bantu pihak-pihak yang bersaing untuk menjadi pemimpin kita dengan partisipasi yang mendidik, inklusif, dan beradab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar