Sebelum dan setelah debat pertama calon presiden dan calon wakil presiden, 17 Januari lalu, publik ramai membicarakan pengaruh debat terhadap jalannya pemilihan presiden. Ada dua pertanyaan pokok soal ini. Pertama, apakah debat dapat menaikkan atau menurunkan elektabilitas pasangan calon? Kedua, apakah debat akan memengaruhi siapa yang menang atau kalah dalam pilpres?
Terhadap pertanyaan pertama, jawabannya iya. Namun, hal itu tergantung pada apakah ada calon yang dianggap unggul, dominan, dan dianggap pemenang telak (clear winner) oleh para pemilih yang menonton debat, atau jika ada calon dalam debat itu yang melakukan kesalahan fatal selama debat berlangsung, yang berakibat pada persepsi negatif terhadapnya pascadebat.
Terhadap pertanyaan kedua, jawabannya juga tergantung pada sejumlah faktor. Pertama, apakah jarak elektabilitas para calon cukup jauh atau tidak. Dengan kata lain, apakah tingkat kompetisi antarcalon tergolong ketat atau tidak. Kedua, apakah terdapat faktor fundamental yang memengaruhi jalannya kompetisi pilpres atau tidak. Kalau iya, apakah faktor fundamental tersebut cenderung menguntungkan salah satu calon atau tidak.
Pengaruh debat
Para ahli politik (political scientist), terutama di Amerika Serikat, sebetulnya masih terus memperdebatkan apakah debat memang berpengaruh atau tidak terhadap jalannya kompetisi pilpres. Sejumlah debat, seperti yang pertama disiarkan televisi tahun 1960 antara John F Kennedy dan Richard Nixon, atau debat antara Ronald Reagan dan Jimmy Carter (1980), memang termasuk yang memorable (selalu diingat) dan dianggap berpengaruh bukan saja terhadap elektabilitas kedua calon, tetapi juga pada hasil kompetisi secara keseluruhan.
Namun, jika dilihat data tentang debat dalam rentang waktu yang lebih luas, para ahli politik menunjukkan bahwa debat tidaklah banyak pengaruhnya terhadap hasil pemilihan presiden. Mengutip hasil penelitian Robert Erickson (Columbia University) dan Christopher Wlezian (Temple University), Dylan Matthews (2012) menunjukkan bahwa kontinuitas atau tren elektabilitas calon tidak banyak berubah apabila situasi sebelum dan setelah debat dalam berbagai pilpres Amerika Serikat antara 1960 hingga 2008 diperbandingkan.
Ini artinya, meskipun dalam sejumlah debat kandidat mendapatkan kenaikan atau penurunan elektabilitas, secara keseluruhan perubahan tersebut tidak memengaruhi tren atau kontinuitas elektabilitas calon presiden.
Kalau dilihat data historis per debat di Amerika Serikat, terutama debat pertama dalam satu pilpres, ahli jajak pendapat dan prediksi pemilu, Nate Silver (2012), menemukan bahwa debat, terutama debat pertama, dapat menambah atau mengurangi elektabilitas calon di kisaran 3 persen. Nate Silver juga menemukan bahwa calon yang posisinya memimpin setelah debat pertama biasanya keluar sebagai pemenang pilpres. Hal ini bisa terjadi jika para pemilih yang menonton debat, terutama yang masih mengambang, memersepsikan bahwa salah satu calon secara telak memenangi debat tersebut (clear winner).
Pengalaman debat presiden di Indonesia belum banyak. Baru ada tiga contoh, yakni Pilpres 2004, 2009, dan 2014. Dari ketiga debat tersebut, secara umum para ahli dan pengamat di Indonesia sepakat bahwa ada pengaruh debat di 2014, terutama debat pertama. Setelah unggul cukup jauh atas Prabowo Subianto-Hatta Radjasa (selisih sekitar 17 persen) pada April 2014, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) terus mengalami penurunan dukungan hingga sebelum debat perdana 9 Juni 2014. Sebaliknya Prabowo-Hatta terus memperoleh kenaikan dukungan hingga menjelang debat perdana tersebut.
Data survei SMRC pascadebat 9 Juni 2014 menunjukkan bahwa penurunan suara Jokowi-JK berhenti, demikian pula tren kenaikan elektabilitas Prabowo-Hatta. Pascadebat perdana itu, selisih suara di antara keduanya hanya di kisaran 1-3 persen, dengan posisi Jokowi-JK tetap di atas. Kita semua tahu, hasil Pilpres 2014 dimenangi oleh Jokowi-JK. Hasil 2014 ini sejalan dengan temuan Nate Silver: calon yang unggul elektabilitasnya setelah debat pertama biasanya keluar sebagai pemenang pilpres.
Fundamental pilpres
Membandingkan debat atau Pilpres 2019 dengan 2014 sekilas tampak tepat karena capres yang bertarung orang yang sama. Namun, ada dua perbedaan penting di antara kedua pilpres tersebut. Debat perdana 2014 dilaksanakan sebulan sebelum hari pemilihan. Jarak debat pertama hingga kelima masing-masing hanya satu minggu. Pengaruh debat pertama belum hilang, sudah ada debat kedua, dan seterusnya.
Sementara itu, debat perdana 2019 dilaksanakan tiga bulan sebelum hari pemilihan. Jarak antara debat pertama, kedua, dan ketiga persis masing-masing satu bulan. Ada kemungkinan, pengaruh debat pertama, kalau ada, sudah hilang ketika memasuki debat kedua, dan seterusnya, karena tertutup isu-isu lain dalam kampanye dan kondisi lainnya. Kalau dugaan ini benar, ada kemungkinan debat menjadi hampir tidak relevan seperti temuan Erickson dan Wlezian di Amerika Serikat.
Yang kedua, berbeda dengan 2014, ada petahana di Pilpres 2019. Kalau ada petahana, pilpres umumnya akan sangat dipengaruhi oleh apa yang disebut sebagai faktor fundamental. Disebut fundamental karena faktor ini diasumsikan memengaruhi kompetisi pilpres dalam jangka yang panjang, bahkan beberapa bulan sebelum hari pemilihan (Silver, 2012).
Ada tiga faktor yang penting di sini: kepetahanaan (incumbency), situasi keamanan, dan situasi ekonomi. Jika petahana dipersepsi positif oleh pemilih dan tingkat penerimaan kinerjanya tinggi, penantang akan sulit mengalahkannya. Kalau situasi keamanan stabil, kedamaian terjaga, petahana juga lebih diuntungkan. Selanjutnya, kalau ekonomi dirasakan stabil dan baik oleh pemilih, maka jalan bagi penantang menjadi lebih terjal untuk mengalahkannya. Jika ketiga faktor fundamental ini baik dan stabil, petahana cenderung keluar sebagai pemenang pilpres, kecuali kalau petahana melakukan blunder politik selama masa kampanye.
Sampai dengan awal Januari 2019, hampir empat bulan menjelang hari pemilihan, faktor fundamental cenderung lebih berpihak kepada petahana. Berbagai lembaga survei menemukan bahwa tingkat penerimaan publik terhadap kinerja petahana ada di kisaran 65-70 persen. Situasi keamanan dinilai stabil: lebih dari 60 persen masyarakat menilai keamanan baik, dan hanya 10 persenan yang menilai buruk (data SMRC, 2018). Inflasi sebagai salah satu indikator penting keadaan ekonomi berada dalam posisi yang rendah di kisaran 3 persen sampai akhir 2018.
Data Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan SMRC selama lebih dari sepuluh tahun terakhir menunjukkan hubungan yang erat antara angka inflasi dan persepsi masyarakat terhadap ekonomi. Jika inflasi rendah, persepsi masyarakat terhadap ekonomi baik, dan sebaliknya, jika inflasi tinggi, persepsi ekonomi masyarakat buruk.
Memang ada tantangan dari segi ekonomi ini karena penilaian masyarakat terhadap kondisi ekonomi sehari-hari, seperti harga bahan pokok, pengangguran, angka kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja yang nilainya masih rendah. Tantangan bagi petahana ini tentunya menjadi peluang bagi penantang dari segi politik elektoral.
Faktor fundamental yang masih cenderung menguntungkan petahana inilah yang dapat menjelaskan mengapa hingga awal Januari 2019, elektabilitas petahana masih unggul terhadap penantangnya. Berbagai lembaga survei melaporkan elektabilitas petahana ada di sekitar 50 hingga 55 persen, sedangkan penantang ada di kisaran 30 hingga 35 persen. Jadi, jarak elektabilitas keduanya cukup jauh di kisaran 15 hingga 25 persen. Jika tren ini berlanjut, kompetisi tidaklah akan seketat 2014. Namun, sekali lagi, pemilu masih hampir empat bulan lagi. Jika faktor fundamental berubah drastis, situasi kompetisi bisa berubah.
Kembali ke pertanyaan kedua di awal artikel ini, berpengaruh tidaknya debat dalam menentukan hasil pemilihan presiden antara lain tergantung pada faktor-faktor fundamental tersebut. Kalau tren seperti sekarang yang berlanjut, maka debat hanya bisa menambah atau mengurangi elektabilitas kandidat di kisaran 3 persen, tetapi tidak cukup untuk mengubah arah kompetisi pemilihan presiden secara keseluruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar