Pada rapat tahunan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, 23-24 Januari 2019, Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg, Menko Kemaritiman RI Luhut Binsar Pandjaitan—beserta sejumlah pemimpin politik lainnya—akan membahas langkah konkret pemanfaatan laut berkelanjutan.

Mengingat tantangan yang dihadapi laut kita saat ini, inisiatif seperti itu sangatlah diperlukan. Tenggat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) hanya 11 tahun, yakni sampai 2030. Demi mencapai SDGs, kita harus mampu menghasilkan lebih banyak hasil dari laut: lebih banyak makanan, pekerjaan, dan energi. Pada saat yang sama, kita harus mampu mempertahankan kemampuan laut dalam mengendalikan cuaca dan melestarikan keanekaragaman hayati.

Beberapa hal berikut merupakan pertimbangan mengapa kita harus berusaha lebih baik dalam mengelola laut. Untuk membangun ekonomi berbasis laut yang berkelanjutan, kita harus menghentikan degradasi ekosistem laut dan memperbaiki kondisi dari laut-laut kita. Hasil dari usaha ini bisa membawa manfaat yang luar biasa. Apalagi jika dilihat dari letaknya, negara pesisir seperti Indonesia dan Norwegia memiliki posisi yang strategis untuk menjangkau dan mengelola potensi kelautan yang dimiliki kedua negara.

Lautan membentang ibarat "benang biru" sepanjang sejarah Norwegia. Pengelolaan laut yang berkelanjutan telah menjadi dasar bagi keberhasilan pencapaian kesejahteraan seluruh bangsa Norwegia. Hal itu terlihat dari besaran industri kelautan Norwegia yang mencapai 70 persen dari total ekspor.

Pengalaman Norwegia

Di Norwegia, kelautan menjadi pusat strategi pemerintah, baik untuk urusan domestik maupun global. Strategi ini termasuk penggunaan teknologi ramah lingkungan, digitalisasi, pengelolaan inovatif sumber daya laut, diplomasi internasional, dan perang terhadap penangkapan ikan ilegal dan polusi plastik.

Kesuksesan dari strategi- strategi ini akan bergantung pada mampu tidaknya kita untuk menggabungkan pengetahuan yang sudah diperoleh selama ini dengan riset dan inovasi. Kita pernah berhasil melakukannya, yakni saat Norwegia pertama kali menemukan minyak di Laut Utara pada 1969, saat pengetahuan mengenai industri perminyakan masih sangat minim. Dan, berkat pengalaman selama berabad-abad di bidang perkapalan, pembangunan kapal dan pengelolaan sumber daya alam, kami akhirnya mampu belajar bagaimana memproduksi minyak dan gas dengan cara yang tepat.

Beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan Norwegia yang memiliki keahlian di bidang enhanced oil recovery (EOR) telah mampu memperpanjang produksi ladang-ladang minyak Norwegia, jauh melampaui apa yang mampu dilakukan pada masa lalu. Teknologi ini juga dapat diterapkan di Indonesia, di mana dengan pemanfaatan teknologi ini, produksi minyak bisa naik sampai beberapa persen. Meskipun ketersediaan bahan bakar tak terbarukan suatu saat akan dihapus, hingga beberapa dekade mendatang penggunaan minyak bumi masih akan tetap berperan sebagai salah satu sumber energi dunia.

Kembali pada 1970-an, bangsa Norwegia tidak memiliki banyak pengetahuan tentang budidaya laut. Setelah bertahun-tahun melakukan berbagai percobaan, dan mengalami kegagalan dan keberhasilan, kami akhirnya berhasil mengembangkan industri maritim yang menguntungkan, berkelanjutan, dan mampu berkontribusi pada ketahanan pangan global. Sekarang Norwegia mampu menghasilkan 1 juta ton ikan budidaya laut  setiap tahun. Tidak ada alasan mengapa Indonesia tidak dapat mencapai angka produksi yang sama, atau bahkan lebih tinggi.

Dari gagasan ke investasi

Menurut Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), sejumlah industri kelautan menunjukkan prospek yang sangat menarik untuk pertumbuhan di masa depan, termasuk pengolahan ikan, energi angin lepas pantai, pembangunan kapal, dan pengelolaan pelabuhan. Di samping itu, bertambahnya populasi kelas menengah akan mendorong permintaan global untuk liburan berbasis pantai, yang tentunya akan menguntungkan Indonesia, negara yang terkenal dengan banyaknya pantai yang indah. Laut yang bersih jadi prasyarat untuk hal ini, karena itu Norwegia senang dan bersedia mendukung proyek-proyek yang bertujuan untuk mengurangi sampah plastik di Laut Jawa dan Bali.

Jika ingin memanfaatkan laut untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran kita, pertama-tama kita harus mengatasi ancaman terhadap lautan; perubahan iklim; sampah dan polusi laut; penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUUF); dan hilangnya habitat dan keanekaragaman hayati.

Meski ada banyak ancaman, ada juga secercah harapan. Pada 2014, Our Ocean Conference (OOC) pertama kali diadakan di Washington, AS, dan sejak itu menjadi arena tahunan yang penting, di mana negara-negara, lembaga-lembaga internasional, dan organisasi non-pemerintah membuat komitmen nyata demi menyelamatkan kehidupan di laut. OOC ke-5 digelar sukses oleh Indonesia pada Oktober 2018, dengan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti berada di barisan terdepan. Tahun ini, 23-24 Oktober, bertempat di Oslo, giliran Norwegia menjadi tuan rumah.

Untuk bergerak maju dari gagasan ke investasi, dan dari investasi ke adanya hasil, PM Solberg tahun 2018 mengundang 11 pemimpin dunia untuk bergabung dalam Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan. Indonesia, melalui kepemimpinannya di dunia dalam urusan kelautan, tentu saja menjadi salah satu dari 11 negara tersebut, dan Presiden Joko Widodo menjadi salah satu dari pemimpin negara yang paling awal menyatakan menyambut undangan itu.

Tujuan dari Panel ini adalah untuk mengembangkan suatu pemahaman bersama yang baru tentang keadaan ekonomi dan ekologi kelautan, dan untuk menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk membangun ekonomi kelautan global yang berkelanjutan. Panel akan memaparkan peta jalan transisi ke ekonomi kelautan yang berkelanjutan, dan akan melaporkannya kepada Ocean Conference PBB tahun depan.

Laut memiliki kunci untuk menyelesaikan berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi dunia saat ini.

Vegard Kaale Duta Besar Norwegia untuk Indonesia dan Timor Leste


Kompas, 22 Januari 2019