Memasuki tahun 2019, masyarakat masih disibukkan ragam berita bohong yang berkembang di linimasa. Kali ini yang disasar soal penyelenggaraan pemilu. Sebagaimana diberitakan Kompas (4/1/2019), Komisi Pemilihan Umum melaporkan kepada polisi terkait adanya penyebaran berita bohong tujuh kontainer berisi jutaan surat suara yang sudah dicoblos.

Selain itu, sebelumnya, KPU disibukkan merespons isu "kotak suara dari kardus". KPU telah proaktif menjelaskan bahwa kotak suara yang hendak dipakai pada Pemilu 2019 sudah sangat layak, selaras dengan ketentuan. Isu ini sirna seiring penjelasan tersebut.

Isu-isu yang cenderung berkembang liar di linimasa dapat mengarah ke kondisi delegitimasi pemilu. Manakala isu-isu demikian tidak terkelola dengan baik oleh penyelenggara pemilu, muaranya ketidakpercayaan. Ujungnya lagi kekhawatiran berlebihan, pemilu tidak akan berjalan baik, dan akan gagal. Hantu gagal pemilu sengaja dimunculkan pihak yang antidemokrasi.

Berkaca pemilu transisi

Apa yang kita rasakan menjelang Pemilu 2019, dalam konteks tertentu, paralel dengan kondisi menjelang pemilu pertama kali era Reformasi, 1999. Ketika itu, saya menulis di Kompas "Sembilan Ancaman Pemilu 1999". Saya mengidentifikasi berbagai potensi pengancam pemilu era transisi pasca-Orde Baru tersebut. Sembilan ancaman yang dimaksud adalah adanya kelompok antipemilu. Selanjutnya, kekhawatiran stagnasi akibat konflik internal KPU. Kemudian, hadirnya kelompok "pesimis pemilu" yang yakin pemilu akan tertunda pelaksanaannya.

Merebaknya apatisme politik juga termasuk ancaman, selain masih kuatnya kelompok status quo, antiperubahan yang notabene antipemilu. Ancaman lainnya ialah adanya potensi konflik akar rumput yang cukup tinggi oleh isu politik. Demikian juga keraguan profesionalisme militer yang masih merebak. Dua hal lain yang perlu diperhatikan ialah terbukanya peluang para petualang politik yang destruktif, serta bisa jadi, meskipun tidak ada bukti, ada saja skenario asing yang menghendaki pemilu gagal.

Semua itu konteksnya pemilu transisi 1999. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa pemilu 1999 berjalan dengan baik dan tercatat sebagai pemilu demokratis di Indonesia setelah 1955. Kita juga bersyukur, kendati dengan sejumlah catatan, pemilu-pemilu era Reformasi hingga 2014 dapat diselenggarakan dengan baik. Legitimasi demokrasi yang didapatkan pasca-pemilu pada era Reformasi mampu menghadirkan kepemimpinan nasional sebagaimana mestinya.

Namun, karakter dan kondisi Pemilu 1999 jauh berbeda dengan Pemilu 2019, atau 20 tahun kemudian. Yang membedakan terutama konteks partisipasi politiknya. Pada 1999, masalah-masalah yang dijumpai di zaman kita belumlah melibatkan kecanggihan teknologi informasi. Partisipasi politik di era digital baru sekarang tecermin dari keterlibatan semua orang  yang bisa memengaruhi opini publik melalui gawai masing-masing. Mereka bahkan bisa tanpa sadar menjadi bagian integral dari percepatan atau viralisasi berita bohong di media sosial. Karena itu, masalah kita sekarang sudah jauh lebih rumit ketimbang dulu.

Melawan hantu kegagalan

Mantra sakti kita ialah keyakinan bahwa pemilu yang demokratis dapat terselenggara baik. Untuk itulah, kita yakin terhadap profesionalitas KPU dan penyelenggara pemilu lainnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Para komisioner KPU kini termasuk mereka yang sudah punya pengalaman dalam penyelenggaraan pemilu, baik pemilu nasional maupun daerah. Mereka bukan para partisan. Lagi pula, Bawaslu dan DKPP juga bukan lembaga yang tanpa fungsi dan tidak bekerja. Kendati demikian, kinerja mereka akan terus kita pantau.

Yang juga tak kalah penting, hal yang sama juga tertuju pada aparat keamanan dan penegak hukum. Dalam konteks yang lebih spesifik, TNI/Polri yang harus mengedepankan asas netralitas tecermin betul dalam tugas-tugas penyuksesan pemilu. Para kontestan tidak boleh menarik-narik mereka sehingga implementasi asas netralitas terganggu. Hal yang sama juga tertuju kepada aparatur sipil negara atau segmen birokrasi. Kita memahami posisi dan tugas aparat tidak mudah, justru ketika berita bohong melonjak intensitasnya di media sosial.

Tidak hanya elemen penyelenggara pemilu yang kita tuntut profesional, tetapi juga masyarakat. Masyarakat yang profesional, selain paham hak pilihnya dalam pemilu, juga bijak mengekspresikannya. Masyarakat harus proaktif,  kritis dan literatif bermedia sosial, serta tak terpancing menjadi bagian dari viralisasi berita bohong.

Pengalaman pemilu presiden di Amerika Serikat pada 2016 bisa jadi referensi penting. Sejarah mencatat, kemenangan Donald Trump penuh kontroversi. Berbagai analisis menyebut, kemenangannya tidak luput dari merebaknya berita bohong dan ujaran kebencian dalam membangkitkan sentimen politik identitas. Fenomena itu nyaris selalu hadir sebagai ilustrasi atas timbulnya istilah pasca-kebenaran (post-truth).

Tentu segmen partai-partai politik dan elite yang berkepentingan punya tanggung jawab khusus. Realitas kontestasi membuat mereka cenderung kuat untuk berpikir kalah-menang, "bharata yudha sentris", sehingga cara apa pun akan dipakai untuk merebut kemenangan. Etika politik harusnya tidak langsung menjadi hal yang langka di ranah kontestan.

Mereka punya tanggung jawab pendidikan politik yang jauh melampaui kontestasi kalah-menang. Mereka tidak boleh justru berubah menjadi hantu-hantu yang menakuti rakyat sehingga pemilu jauh dari kualitas dan menjurus kegagalannya.

Semua wujud tanggung jawab dan ekspresi berpolitik pemangku kepentingan akan bermuara ke kualitas penyelenggaraan Pemilu 2019. Maka, selayaknya tak boleh ada pihak yang melabrak koridor ketentuan demokrasi kontestatif.
Semua harus menunjukkan komitmen menyukseskan pemilu.