Kotak suara bukanlah tempat kosong, ia merepresentasikan kedaulatan rakyat. Adagium suara rakyat adalah suara Tuhan, "vox populi vox dei", memiliki makna bahwa suara rakyat harus dilindungi dan dijamin keamanannya dalam proses pemilu.

Sekecil apa pun suara itu, tidak boleh tercecer karena hakikat pemilu adalah terjaminnya kedaulatan rakyat dalam menentukan calon-calon pemimpin sebuah negara.

Persoalan "kotak suara dari kardus" yang sempat diributkan beberapa waktu lalu—meski oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) disebut kedap air dan mampu menopang 80 kilogram berat barang—hakikatnya bukan semata-mata perdebatan "kualitas bahan", melainkan juga berkaitan dengan persoalan yang mendasar.

Persoalan mendasar tersebut adalah adakah jaminan bahwa kotak suara itu mampu melindungi keutuhan suara rakyat sebagai esensi dari kedaulatan rakyat dalam sebuah pemilu.

Esensi kotak suara

Kotak suara pada prinsipnya harus aman dan kuat. Namun, untuk menyediakan itu bukanlah persoalan ringan. Dalam sejarah pemilu di Indonesia, jenis kotak suara yang pernah ada bervariasi bahannya, mulai dari kayu, tripleks, aluminium, hingga terakhir adalah kardus berbahan kedap air (duplex). Di sejumlah negara lain, jauh lebih maju karena bahannya lebih bagus, terdiri dari bahan plastik berkualitas tinggi, kedap air, dan dapat dipergunakan berulang kali.

Dalam pengaturan pemilu di Indonesia, kotak suara bukan sekadar barang, melainkan juga sekaligus menjadi bagian dari bukti elektoral yang tidak boleh "dibuang", harus ada dalam gudang setelah proses pemilu selesai.

Secara praktis memang mudah ditumpuk. Akan tetapi, dalam pemilu kita, kotak suara yang digunakan dalam pemilu setelah ada isi surat suara dan dokumen-dokumen lain harus aman untuk sekian waktu, tanpa boleh dibuka dan digudangkan dengan cara dilipat. Pasal 341 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengamanatkan agar kotak suara transparan dan KPU diberikan mandat untuk mengatur bentuk, ukuran, dan spesifikasi teknis kota suara.

Keributan muncul karena dalam Peraturan KPU (PKPU)  Nomor 15 Tahun 2018  kotak suara yang dipilih berbahan duplex  atau karton kedap air yang transparan satu sisi. Padahal, diperkirakan Pemilu 2019 akan diselenggarakan pada 17 April masih dalam musim hujan, bukan musim kemarau.

Selain itu, persoalan keamanan kotak juga menjadi isu yang perlu dijawab oleh KPU. Mengapa demikian? Karena dari proses penyelenggaraan pemilu-pemilu sebelumnya, aspek keamanan kotak suara dari kardus memang lebih ringkih dibandingkan dengan dari aluminium atau kayu. Problematiknya ialah apakah dengan disegel atau diberi stiker KPU sudah cukup menjamin keamanan kotak suara dan suara rakyat yang ada di dalamnya? Mengapa UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak mengamanatkan perlunya security printing, baik pada produk kotak suara yang berbahan duplexform C1—rekapitulisi di tingkat TPS, hingga form berita acara. Memang tidak ada jaminan dengan security printing semua bisa dijamin, tetapi pada prinsipnya ada kebijakan penyelenggara pemilu agar hasil pemilu benar-benar tidak bisa dimanipulasi.

Tanpa security printing, alat-alat yang paling penting sebagai wadah bagi suara rakyat bisa saja ternodai. Apalagi tipe pelanggaran pada saat hari H pemberian suara biasanya berkaitan dengan tipu muslihat dan rekayasa berkaitan dengan isi dari kotak suara.

Kita masih ingat kasus yang menyeret Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Modusnya begitu mengerikan karena ada penggantian bukti-bukti dalam perkara sengketa pilkada yang ditangani Akil Mochtar. Modus semacam itu terjadi karena prinsip isi kotak suara, khususnya form C1, tidak diberi security printing yang andal sehingga mudah dimanipulasi.

Sebagai perhelatan besar sebuah bangsa, pemilu membutuhkan jaminan agar prosesnya terhindar dari manipulasi. Membayangkan bahwa peserta pemilu adalah orang-orang baik yang tidak mungkin melakukan manipulasi sama halnya penyelenggara pemilu memberikan peluang terjadinya proses yang manipulatif. Berdasarkan kasus-kasus sebelumnya, letak sukses atau tidaknya pemilu ditentukan apakah hasil dari tempat pemungutan suara (TPS) sama dan tidak berubah hingga ke jenjang selanjutnya dalam penghitungan hasil Pilpres 2019.

Meski kita paham bahwa setiap partai dan calon memiliki saksi, dan setiap saksi akan diberikan salinan berita acara hasil pemungutan suara, penting memastikan bahwa dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam rekapitulasi suara harus memiliki tingkat keamanan (security printing) yang memadai. Jaminan keamanan itu yang luput diperdebatkan dan tidak disinggung oleh KPU dan DPR. Apakah kebijakan penggunaan kotak suara berbahan duplex perlu disertai dengan pengamanan berlapis agar semua proses rekapitulasi suara memiliki perlindungan yang andal.

Menjaga suara rakyat

Mengapa hal itu perlu? Karena KPU harus bisa memberikan pertanggungjawaban kepada publik, manakala terjadi kasus perselisihan hasil pemilu dengan menunjukkan mana dokumen rekapitulasi yang asli dan mana yang palsu. Selama ini dalam proses pemilu yang telah berlangsung selama empat kali di era Reformasi, persoalan ini terus terjadi secara berulang-ulang. Tuduhan adanya manipulasi suara dalam pemilu dan penyimpangan elektoral masih sering ditemukan.

Perdebatan bahan kotak suara minus pentingnya pengamanan "isi kotak suara" dengan teknologi yang canggih akan berpotensi menjadi perselisihan dalam Pemilu 2019. Pemilu dan Pilpres 2019 yang sejak awal prosesnya antagonis antardua kubu, kubu Joko Widodo dan Kubu Prabowo Subianto berpeluang melahirkan perselisihan pemilu yang hampir mirip seperti Pilpres 2014.

Antisipasi pengamanan isi kotak suara oleh KPU melalui security printing dapat menjadi jalan tengah meskipun prosesnya tidak mudah. Akan tetapi, kebijakan itu perlu dilakukan agar penyelenggaraan Pemilu 2019 aman, damai, dan berintegritas serta hasilnya tidak menimbulkan perdebatan, prasangka, dan dosa warisan yang berulang, seakan-akan pemilu selalu "manipulatif".

Jaminan ini akan menjaga dua hal. Pertama, menjaga hak konstitusional pemilih karena kedaulatan ada di tangan rakyat yang dan dilaksanakan sesuai dengan UUD adalah amanat konstitusi kita. Yang kedua adalah menjaga pemerintahan yang dihasilkan oleh pemilu bahwa presiden dan anggota parlemen terpilih diperoleh dari pemilu yang bersih dan berintegritas. Selain itu, pemilu juga menentukan partai manakah yang akan keluar sebagai partai pemenang pemilu.

Oleh karenanya, kesahihan proses dan data hasil pemilu akan menjadi rujukan bagi praktik demokrasi elektoral kita. Hasil pemilu juga menjadi barometer kinerja penyelenggara pemilu yang independen dan tidak memihak dalam menjaga suara rakyat yang termanifestasi dari jutaan surat suara yang ada dalam kotak suara. Jangan sampai yang terjadi sebaliknya, yakni muncul tuduhan-tuduhan yang berulang-ulang dari waktu ke waktu akibat celah kebijakan penyelenggara pemilu yang dikesankan tidak bisa menjamin keamanan suara rakyat sehingga akan menimbulkan tensi kehidupan politik setelah pemilu selesai diselenggarakan.