
Teror terhadap warga sipil kembali terjadi di Sulawesi Tengah. Seorang petambang emas dibunuh secara mutilasi di kawasan Desa Salubanga, Sausu, Parigi Moutong, Sulteng, pada 30 Desember 2018.
Mutilasi dilakukan secara sangat dramatis untuk menciptakan kengerian bagi masyarakat dan efek teror bagi aparat. Pada hari berikutnya, ketika polisi hendak mengambil jenazah korban, teroris menyerbu dengan tembakan dari dua sisi perbukitan. Jalan dibarikade dengan ranting kayu guna menghalangi kendaraan aparat.
Penembakan dilakukan saat salah seorang polisi hendak menyingkirkan kayu dan ranting yang menghalangi jalan. Kontak tembak pun tak terhindarkan sehingga menyebabkan dua polisi, yakni Bripka Andrew dan Bripda Baso, terluka.
Kelompok MIT
Melalui video teror yang disebarkan selama ini, kelompok ini menyebut dirinya Mujahidin Indonesia Timur. Mereka memiliki wilayah operasi di Sulawesi Tengah dan berencana menyebar hingga Maluku, Ternate, dan Papua.
Di Indonesia, dilihat dari segi matra pergerakan kelompok teroris, terdapat dua kelompok teroris: (1) Mujahidin Indonesia Barat (MIB) yang dipimpin oleh Abu Roban dan (2) Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Santoso alias Abu Wardah. Kini, kelompok MIT dipimpin oleh Ali Kalora setelah tewasnya Santoso pada 2016 lalu ketika Operasi Tinombala digelar secara gabungan antara polisi dan tentara.
Banyak anggota MIT yang tewas dan tertangkap dan hanya tersisa tujuh orang pada 2017. Pengejaran terus dilakukan hingga akhirnya kelompok MIT tersisa hanya empat orang dengan kekuatan persenjataan satu senapan laras panjang pada pertengahan 2018. Sekarang, kelompok ini memiliki anggota sekitar 12 orang dengan kekuatan lima senjata yang didapat dari Filipina selatan dan hasil rampasan.
MIT memiliki jaringan yang luas bukan hanya di wilayah Asia Tenggara. Beberapa pemberontak Uighur pernah bergabung dengan MIT. MIT jadi gerakan teroris global setelah afiliasinya ke Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), tahun 2014. Kelompok teroris pro-NIIS di Indonesia di antaranya Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Khatibul Iman, Al-Hawariyun, Negara Islam Indonesia pro-NIIS, Mujahidin Indonesia Timur, dan Mujahidin Indonesia Barat, serta masih banyak lagi kelompok kecil pro-NIIS.
Sampai saat ini, JAD merupakan kelompok teroris terbesar di Indonesia dan pola perekrutannya sangat terbuka, melalui jalur daring (online) di beberapa media sosial. Sementara kelompok teroris Khatibul Iman di bawah pimpinan Abu Husna, bekas Jemaah Islamiyah, masih punya pengikut di wilayah Solo dan Jambi.
Adapun kelompok Al-Hawariyun—dipimpin Abu Nusaibah (sudah ditangkap pada November 2017)—masih jadi simpul rekrutmen kelompok teroris di Jambi dan aktif melakukan kontak dengan Nandang yang kini di Suriah. Kelompok teroris NII pro-NIIS juga masih ada pengikutnya di wilayah Bandung, Makassar, dan Riau. Sementara kelompok MIT, sejak dipimpin Ali Kalora tahun 2016, masih aktif dan menebar teror di wilayah Indonesia timur. Ada semacam kontestasi di antara kelompok-kelompok teroris dalam melakukan serangan untuk memperlihatkan siapa yang paling eksis dengan beragam aksi kekerasan.
Terorisme "tamkin"
Terorisme dengan matra teritorial dan anggota kelompok dengan latar belakang organik atau yang memiliki hubungan dengan daerah asal disebut terorisme tamkin. Secara teoretis, kita mengenal dua jenis terorisme: (1) terorisme tanzhim dan (2) terorisme tamkin.
Terorisme tanzhim adalah kejahatan terorganisasi yang melakukan kekerasan dan kekejian yang melampaui batas-batas kemanusiaan secara nonteritorial, tidak terikat oleh lokasi atau tempat pelaku kekerasan itu berasal. Seorang teroris tanzhim bisa saja lahir di Bandung, besar di Sumatera, dan melakukan serangan yang sudah ditargetkan di wilayah Bekasi atau Jakarta.
Sementara seorang teroris tamkin, dia adalah aktivis organik yang terikat pada tanah sebagai tempat lahirnya atau tempat formative age-nya dan melakukan serangan di lokasi di mana ia lahir dan besar serta memiliki hubungan emosional dengan tanah kelahirannya.
Teroris tamkin bukan semata-mata penduduk organik suatu daerah, melainkan juga mereka yang kemudian diajak serta untuk membebaskan tanah tersebut dalam suatu gerakan separatisme atau gerakan insurgensi lain karena ikatan emosional dan solidaritas kepada teman atau saudara-saudaranya di suatu tempat yang sedang diperebutkan. Tempat yang diperebutkan tersebut oleh pemerintah sering dinamakan zona merah atau hostile area. Oleh kalangan aktivis kemanusiaan, daerah tersebut juga sering dinamakan sebagai "wilayah konflik".
Sebuah wilayah yang akan dibebaskan oleh gerakan separatis biasanya dikondisikan dalam suatu fase status konflik. Sebuah daerah tak mungkin dilepaskan tanpa ada klaim sengketa dari pihak-pihak tertentu yang merasa berhak atas wilayah tersebut. Pihak-pihak yang mengklaim inilah yang kemudian merasa mewakili penduduk organik untuk mengadakan perundingan atau gencatan senjata dengan pemerintah yang sedang berkuasa.
Teroris tamkin adalah kelompok organik yang mengklaim tengah memperjuangkan kemerdekaan untuk wilayah tertentu yang memiliki warisan ideologis, seperti di Papua, Poso, Maluku, atau Aceh. Teroris tamkin digerakkan oleh para aktor lokal, yang oleh Antonio Gramsci (1971:56) disebut sebagai "intelektual organik".
Bruce Hoffman (1998:67) menyebut kriminalitas heroik ini dilakukan atas perintah intelektual kekerasan yang menaburkan aroma religius dalam tindakan keji membunuh manusia karena berbeda ideologi dan pandangan politik. Para ulama kekerasan inilah yang kemudian saya sebut sebagai "intelektual kekerasan organik" yang berada di setiap gerakan terorisme tamkin (2015:15). Sementara terorisme tanzhim biasanya tunduk pada violent ecclesiastical intellectual (intelektual kekerasan populis) yang biasanya berasal dari luar wilayah operasi kekerasan. Intelektual kekerasan transnasional ini biasanya berasal dari kubu mazhab atau sekte keagamaan yang sama dengan pelaku, contohnya sekte Wahabi.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar