KOMPAS/BUDIMAN TANUREDJO

Anak-anak di Kampung As, Distrik Pulau Tiga, Kabupaten Asmat, Papua, ceria menyambut tamu yang datang ke kampung tersebut, akhir November 2018. Akhir tahun 2017, terjadi kejadian luar biasa busung lapar dan campak di kampung tersebut.

Gambar besar otonomi daerah di Indonesia 2018 dapat dibaca dari beberapa simpul. Pertama, dari jalannya pilkada langsung sepanjang 2018. Kedua, praktik otonomi khusus di Jakarta, Papua, Papua Barat, Yogyakarta, dan Aceh. Ketiga, pelaksanaan pembagian urusan di berbagai bidang. Keempat, pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan. Kelima, jalannya otonomi desa. Otonomi daerah adalah tulang punggung efektivitas reformasi yang dikehendaki bangsa Indonesia.

Sumbangan positif praktik ini membawa kesuksesan reformasi negara bangsa. Begitu pun sebaliknya, jika berefek negatif tentu memiliki pengaruh terhadap efektivitas reformasi.

Benturan sistemik

Pilkada berjalan sukses tanpa konflik berarti dan kecurangan masif. Pilkada 2018 kita lalui dengan baik. Bangsa Indonesia patut bersyukur.

Namun, dalam ranah peraturan yang dikembangkan sebagai satu subsistem dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia, sistem pilkada langsung yang berjalan selama ini sama sekali tak memberi tempat bagi peran pemerintah untuk menjalankan hak dan kewajibannya berhubungan dengan wakil pemerintahnya di daerah yang hanya sampai di gubernur.

Benturan sistemik ini bersifat laten, tapi terus dibiarkan oleh bangsa Indonesia seolah jika memperbaiki bertabrakan dengan nilai demokrasi. Nilai demokrasi dipahami bangsa Indonesia harus memprioritaskan jalannya pilkada ketimbang sistem pemerintahan yang dituju oleh hasil pilkada tersebut.

Dalam praktik otonomi khusus yang akarnya dari ide desentralisasi asimetrik, benturan sistemiknya adalah praktik ini tidak memiliki dasar pijakan yang kuat sebagai sebuah sistem dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seolah sudah jadi takdir dan hanya enam daerah yang menyandang otonomi khusus. Daerah lain tidak memiliki arah pijakan yang jelas untuk mendapatkan perlakuan asimetrisitas ini.

Pembagian urusan dalam pemerintahan daerah di Indonesia cukup unik dalam hal melalui rincian untuk semua tingkatan pemerintahan, yakni melalui UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Mazhab rincian ini biasa diselenggarakan di negara-negara yang menganut kiblat Anglo-Saxon. Indonesia adalah warisan Eropa-Kontinental yang wajar dikembangkan dengan sistem riil dan atau open and arrangement, terlebih di provinsi terdapat gubernur yang menjadi wakil pemerintah pusat.

Sementara dalam soal pembangunan perkotaan, bangsa Indonesia mengalami bias pembangunan kota yang tanpa koridor kelembagaan secara terukur, terarah, dan sistemik. Bangsa Indonesia lebih menginginkan pembangunan desa ketimbang menata pembangunan kota. Padahal, kelak, wilayah perdesaan akan menjadi perkotaan dalam perkembangan peradaban umat manusia di dunia, dan itu sebagai suatu yang alamiah.

Pembangunan desa dipastikan lebih jauh dengan ditetapkannya dan dijalankannya UU Desa. Dalam UU Desa disebutkan—dalam konsiderannya—beberapa muatan yang jika dibaca bahwa UU ini tidak ditujukan untuk desa, tetapi untuk pemerintahan daerah. Layaklah jika kita sebut pemerintahan daerah di Indonesia kini berkembang jadi tiga tingkatan. Yang cukup unik adalah dibolehkannya wilayah perkotaan yang dikelola dengan kelurahan kembali dengan bentuk pemerintah desa.

Keberanian menerobos

Menghadapi tahun politik 2019, kelima catatan otonomi daerah di Indonesia harus mendapatkan perhatian serius dari pemenang pilpres jika ingin reformasi dan pembangunan nasional di Indonesia harmonis, sinkron, dan efektif sampai ke daerah-daerah di Indonesia. Kelima poin di atas, dalam 2018, menjadi pijakan menyusun kebijakan pengembangan otonomi daerah di Indonesia untuk 2019 dan seterusnya.

Untuk pilkada langsung harus ada keberanian memilih di antara tiga pilihan. Pertama, mencabut sistem wakil pemerintah. Kedua, memperbaiki sistem pilkada langsung dapat dijadikan dasar asimetrisitas. Ketiga, mencabut pilkada langsung.

Praktik otonomi khusus dengan dasar asimetrisitas dalam berdesentralisasi harus diperjelas dalam peraturan perundangan payung jika tidak dalam UU Desa. Dalam asimetrisitas dapat ditampung keberanekaragaman sistem pilkada.

Juga dapat dilanjutkan dalam sistem pembagian urusan yang dapat dikembalikan ke otonomi riil atau open and arrangement. Variasinya, sistem pilkada langsung atau dicabut, bahkan dicabutnya sistem wakil pemerintah dapat dikembangkan kembali sistem pembagian urusan berdasarkan ajaran riil; tidak seperti sekarang ultra vires doctrine.

Sementara untuk pembangunan perkotaan diperlukan tata kelola kelembagaan yang kuat terkait beragamnya keadaan kota di Indonesia. Hal ini agar menghindari bias pembangunan kota dan sinkron dengan pembangunan desa. Revisi pasal dapat kembalinya kelurahan menjadi desa juga harus dipikirkan agar dapat dikembangkan harmonisasi pembangunan desa-kota dengan disiapkannya pengembangan kelembagaan perkotaan Indonesia menyongsong era Industri 4.0.

Tugas berat presiden RI terpilih di 2019 adalah menata otonomi Indonesia ke depan. Lima poin di atas dapat jadi panduan kebijakan tersebut. Semoga.