
Pemilu tahun 1955 tercatat sebagai pemilu paling demokratis dan membawa pandangan baru dunia internasional pada pertumbuhan demokrasi di Indonesia pasca-Proklamasi 1945.
Ada dua aspek penting Pemilu 1955 berkait landasan berbangsa. Pertama, Pemilu 1955 dianggap sebagai kemenangan generasi buta huruf sekaligus kemenangan nilai-nilai tradisi lisan. Penduduk buta huruf mencapai 70 persen dari jumlah penduduk.
Namun, catatan menakjubkan menunjukkan, persentase suara sah sangat besar, mencapai 80 persen. Tercatat 39 juta pemilih mendatangi TPS atau 87,65 persen dari daftar pemilih tetap.
Kedua, Pemilu 1955 dicatat sebagai kemenangan spirit masyarakat sipil yang kritis menghadapi beragam bentuk isu yang menakutkan dan mencekam (baca: hoaks) menjelang pemungutan suara, baik isu penistaan agama, kedaerahan, maupun teror psikologi sosial.
Haruslah dicatat, menjelang pemungutan suara Pemilu 1955, bermunculan isu-isu yang mencekam. Sebutlah isu makanan di warung-warung yang dibubuhi racun sehingga banyak warung tutup dan penduduk jadi takut membeli makanan. Demikian juga isu mendaratnya pasukan asing di Tanjung Priok serta akan menyerbunya orang-orang kulit putih dari gunung dengan pasukan hantu.
Isu-isu alias hoaks dari mulut ke mulut tersebut melahirkan ketercekaman tersendiri sehingga diprediksi Pemilu 1955 tidak akan berjalan lancar. Catatan sejarah menjungkirbalikkan kekhawatiran tersebut.
Spirit nilai-nilai berbangsa yang terkandung dalam masyarakat tradisi lisan menjadikan Pemilu 1955 berjalan lancar, adil, jujur, dan demokratis.
Pemilu generasi milenial
Pemilu 2019 adalah pemilu generasi milenial dengan pengguna telepon seluler (ponsel) mencapai 142 persen populasi penduduk, jumlah pengguna internet lebih dari 143 juta jiwa dan menduduki peringkat keempat dunia.
Namun, kenyataan menunjukkan, merujuk riset Governance Innovatif 2017, Indonesia menduduki peringkat ketujuh pengguna internet yang paling mudah terhasut. Kenyataan lain, tingkat baca warga Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara.
Catatan di atas menjadikan Pemilu 2019 bertumbuh dengan ciri tersendiri yang perlu dicermati. Pertama, Pemilu 2019 berhadapan dengan tumpang tindih generasi milenial dan generasi migrasi milenial. Tercatat dari 193 juta pemilih, pemilih milenial mencapai 70 juta-80 juta jiwa.
Akibatnya, Pemilu 2019 ditandai bercampuraduknya ciri-ciri budaya lisan lama dengan budaya lisan baru lewat media sosial. Sebutlah, pada aspek negatif, merebaknya kultur budaya gosip serba penuh drama, kehilangan analisis kultur fakta dan data. Jika tahun 1955 lewat mulut ke mulut, kini digabung lewat ponsel ke ponsel.
Dilemanya, tradisi lisan lama telah memiliki pranata sosial, seleksi, hingga etika tersendiri. Simaklah seleksi pranata sosial dan budaya untuk melahirkan dalang wayang kulit.
Sementara tradisi lisan baru lewat media sosial, penyebaran teknologi serta gaya hidup mengonsumsinya lebih cepat dari proses terbentuknya pranata sosial berikut etikanya.
Simak pula tumpang tindih aspek komunikasi-informasi pribadi dengan publik di media sosial, demikian juga terkikisnya etika perilaku dukung-mendukung baik individu warga maupun kanal televisi tertentu terhadap kandidat presiden.
Kedua, Pemilu 2019 bertumbuh dalam ciri masyarakat melodrama era industri hiburan. Sejarah mencatat, sejak kelahirannya awal abad ke-20, masyarakat Indonesia lebih menyukai media hiburan bersifat serba fiksi.
Maka, film dokumenter berbasis fakta dan data kehilangan daya hidup. Bahkan, dalam perkembangan di era televisi, program opera sabun bertumbuh lebih populer ketimbang program berita.
Akibat lebih jauh, guna memopulerkan program berita, program berita di televisi dikemas dalam rumus opera sabun: segalanya menghibur dan penuh drama: serba hitam-putih, vulgar, stereotip, eksploitasi emosi, dan dipenuhi konten konflik.
Dilema terbesar, di tengah santernya isu agama dalam Pemilu 2019, situasi komunikasi-informasi semacam itu justru jadi ruang tersubur radikalisme agama lewat doktrin serba sempit, mengelola emosi, hitam-putih, dan mudah ditangkap.
Aspek mengkhawatirkan yang lain, era industri hiburan menjadikan warga sering tidak bertindak sebagai warga negara yang kritis, tetapi lebih sebagai warga konsumen dan warga penggemar (fans).
Mereka memosisikan kandidat sebagai layaknya diva hiburan, melahirkan kultur dukung-mendukung serba menggila layaknya mencintai diva, menyurutkan kultur diskusi yang menjadi dasar kualitas demokrasi.
Ketiga, Pemilu 2019 bertumbuh di era pameran perhatian tiap detik dalam kultur rating dan follower era industri jasa informasi. Akibatnya, beragam aspek kehidupan berbangsa, mulai dari aspek ekonomi, agama, hingga politik, berlomba mengelola kekuatan rating dan follower dengan beragam kiat mengemas pameran perhatian di media sosial.
Kultur tradisi lisan
Pemilu 1955 di tengah hoaks yang mencekam sesungguhnya menunjukkan kemenangan unsur-unsur karakter bangsa yang terkandung dalam kultur tradisi lisan sebagai sumber nilai keutamaan berbangsa.
Simaklah, meski memunculkan budaya gosip, beragam bentuk narasi tradisi lisan senantiasa mengedepankan nilai kebersamaan dalam penghormatan pada cita-cita keadilan dan hidup bersama.
Demikian juga lewat beragam cerita hingga dongeng memuat aspek moral dan kepahlawanan, bahkan mengisahkan kemampuan warga melewati krisis serta melahirkan kepemimpinan yang diimpikan.
Pada sisi lain, ciri generasi milenial adalah terbuka dalam berpikir, kreatif, percaya diri, berani berbagi dan berdebat dalam media sosial, hingga mencari pemikiran baru di luar pola umum dan lama.
Sekiranya Pemilu 2019 bertumbuh dalam gabungan nilai-nilai kritis dan produktif generasi migrasi milenial dan milenial. Ketika sejarah mencatat tahun 1955 sebagai kemenangan demokrasi generasi buta huruf, maka Pemilu 2019 menjadi kemenangan demokrasi generasi milenial.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar