INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018.

Demikianlah pada akhirnya, menurut yang empunya cerita, Jaka Tingkir meninggalkan Desa Banyu Biru pergi menuju Demak. Ia ingat pesan gurunya, Ki Buyut Banyu Biru, bahwa di perjalanan ia akan menemukan seorang kebo(kerbau) ndanu. Benar yang dikatakan Ki Buyut Banyu Biru, di lereng Gunung Prawata, Jaka Tingkir menemukan kerbau ndanu.

Ia segera menangkap kerbau itu dan memasukkan tanah yang telah diberi mantra sakti oleh Ki Buyut Banyu Biru ke dalam mulut binatang itu. Seketika kerbau ndanu menjadi gila. Dan berlari menuju ke pesanggrahan Prawata tempat Sultan Trenggana masanggrah. Kerbau mengamuk bagai bantheng ketaton(banteng terluka) dan memorakporandakan pesanggrahan.

Orang-orang yang tinggal di sekitarnya berlari tunggang-langgang untuk mencari selamat. Mereka ketakutan. Para prajurit yang sakti mandraguna tidak kuasa menghadapi amukan kerbau itu. Banyak sudah orang yang menjadi korban dan terluka.

Menyaksikan kelebat Jaka Tingkir, Sultan Trenggana segera meminta bantuannya untuk meredam amukan kerbau ndanu itu. Jika Jaka Tingkir dapat menaklukkan kerbau ndanu, Sultan Trenggana akan mengampuni kesalahannya.

Tanpa berpikir panjang, Jaka Tingkir mengambil tindakan. Membunuh kerbau ndanu itu hanya dengan satu pukulan. Berkat jasanya itu, Jaka Tingkir kembali diangkat oleh Sultan Trenggana sebagai kepala tamtama. Kelak, Jaka Tingkir pun dinikahkan oleh Sultan Trenggana dengan salah satu putrinya yang bernama Ratu Mas Cempaka.

Ini kali yang kedua Jaka Tingkir masuk ke lingkungan istana. Sebelumnya, ia pernah menjadi prajurit Demak berpangkat Lurah Wiratamtama. Pada suatu hari, ia bertugas menyeleksi prajurit. Ada seorang pelamar sakti yang sombong bernama Dadungawuk. Jaka Tingkir berniat menguji kesaktiannya. Akibat ujian itu, Dadungawuk tewas. Karena menewaskan Dadungawuk, Jaka Tingkir dipersalahkan sehingga dia dikeluarkan dari tentara Kasultanan Demak.

Karena itu kerbau adalah lambang dari pemberontakan masyarakat tani, yang direkayasa oleh Jaka Tingkir sendiri.

Nasib Jaka Tingkir hampir sama dengan ayahnya, Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenanga). Ki Ageng Pengging adalah putra dari Ki Ageng Pengging Sepuh, keturunan Pangeran Handayaningrat dengan Ratu Pembayun, putri sulung Raja Brawijaya Pamungkas. Sewaktu Jaka Tingkir yang semula bernama Mas Karebet berusia 10 tahun, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dianggap memberontak terhadap Kasultanan Demak. Sebagai eksekutor hukuman mati adalah Sunan Kudus. Jadi bagi Demak, Jaka Tingkir adalah anak pemberontak.

Ada yang berpendapat bahwa kerbau ndanu atau kebo edan hanya sebuah kiasan, bukan kerbau sesungguhnya. Kerbau dipakai masyarakat petani untuk membajak. Karena itu kerbau adalah lambang dari pemberontakan masyarakat tani, yang direkayasa oleh Jaka Tingkir sendiri. Karena itu, dengan mudah ia menumpas pemberontakan itu sehingga terselamatkanlah Sultan dari usaha pemberontakan.

"Firehouse of falsehood"

Yang dilakukan Jaka Tingkir itu, pada masa kini disebut sebagai firehouse of falsehood. Yakni satu skenario propaganda yang menggunakan "kepalsuan atau dusta", kampanye kotor. Menurut Chris Zappone dari The Sydney Morning Herald, strategi seperti itu dilakukan tidak hanya untuk memelintir fakta, tetapi juga membentuk badai informasi yang membutakan publik. Biasanya firehouse of falsehood disebut sebagai ala Rusia.

KOMPAS/HENDRA A SETIAWAN

Berita palsu atau bohong (hoaks) kini banyak bertebaran di dunia maya. Banyak berita bohong disebar melalui berbagai media menjelang pemilihan umum. Masyarakat diimbau dapat memilah berita asli dan berita hoaks dengan memverifikasi melalui sumber-sumber tepercaya.

Menurut Christopher Paul dan Meriam Matthew (2016), sejak serangan 2008 ke Georgia (jika tidak sebelumnya), telah ada evolusi yang luar biasa dalam pendekatan propaganda Rusia. Negara ini telah secara efektif menggunakan saluran dan pesan penyebarluasan baru untuk mendukung pencaplokannya di Semenanjung Krimea 2014, keterlibatannya yang berkelanjutan dalam konflik di Ukraina dan Suriah, dan pertentangannya dengan sekutu NATO.

Model propaganda model Rusia ini bervolume tinggi dan multisaluran, dan menyebarkan pesan tanpa memerhatikan, tanpa memedulikan kebenaran. Propagana ini juga cepat, terus-menerus dilakukan, berulang, dan tidak memiliki komitmen untuk konsistensi.

Meskipun teknik-teknik ini tampaknya bertentangan dengan kebijaksanaan yang diterima untuk kampanye informasi yang sukses, penelitian dalam psikologi mendukung banyak aspek yang paling sukses dari model. Lebih jauh lagi, faktor-faktor yang membuat firehose of falsehoodmenjadi efektif juga membuatnya sulit untuk dilawan.

Yang dilakukan Jaka Tingkir lewat firehouse of falsehoodadalah melakukan sebuah rekayasa politik untuk masuk lagi ke lingkungan istana.

Pendekatan kontra-propaganda tradisional kemungkinan tidak memadai dalam konteks ini. Solusi yang lebih efektif dapat ditemukan dalam literatur psikologi yang sama yang menjelaskan keberhasilan mengejutkan dari model propaganda Rusia dan pesan-pesannya.

Yang dilakukan Jaka Tingkir lewatfirehouse of falsehood adalah melakukan sebuah rekayasa politik untuk masuk lagi ke lingkungan istana. Rekayasa politik bisa diartikan sebagai upaya untuk melakukan pembohongan atau penjungkirbalikan kenyataan dan fakta karena adanya kepentingan politik tertentu. Di zaman kini, bentuk dan caranya lebih beragam. Misalnya, dengan menyebarkan berita hoaks, pemutarbalikan fakta, dan penyebaran berita tidak berdasarkan kenyataan.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Berita palsu disebarkan melalui berbagai media sosial, salah satunya di Facebook. Penyebaran berita bohong di media sosial juga banyak terjadi saat pemilihan presiden di AS pada 2016.

Donald Trump memenangi pemilihan presiden di AS pada bulan November 2016 karena kampanye hoaks di media sosial yang disebarluaskan oleh Rusia. Begitu tulis Thomas L Friedman dalam artikelnya, "From Russia with Poison", di The New York Times (11 Oktober 2017).  Jaringan kriminal hackers Rusia menyebarkan hoaks lewat akun-akun fiktif Facebook. Fitnah dan berita rekayasa melawan Hillary Clinton pun bergaung luas dibaca 126 juta warga AS (BASIS, 2017)

Peristiwanya sudah terjadi hampir tiga tahun silam, tetapi orang masih mengingatnya. Suatu hari, pada 12 Agustus 2016, di Altoona, Trump dalam pidato kampanye mengatakan, "Menurut pendapat saya, satu-satunya cara kita bisa kalah, di Pennsylvania, adalah jika kecurangan terus dilakukan."  Hal itu terjadi beberapa hari setelah Trump mengatakan pada rapat umum di Wilmington, NC, bahwa tanpa undang-undang identifikasi pemilih yang ketat, orang akan "memberikan suara 15 kali untuk Hillary".

Seminggu kemudian, Trump mengatakan dalam pidatonya mengenai ekonomi bahwa angka pengangguran, yang dipublikasikan oleh Kementerian Tenaga Kerja adalah sebuah hoaks. Sayangnya, Trump tidak menyodorkan bukti-bukti yang memperkuat pernyataannya itu.

Banyak yang mengatakan, strategi Trump hampir sempurna. Di satu sisi, dia mengetuk nada kebencian dan dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh politisi serius. Dan di sisi lain, dia bebas untuk mengatakan apa pun yang dia inginkan, betapapun kontroversialnya karena dengan melakukan hal itu Trump seperti menghirup kekuatan baru dalam kampanyenya.

REUTERS/SHANNON STAPLETON

Kandidat presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump, tengah berbicara saat debat dengan kandidat presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, di Washington University, St Louis, Missouri, AS, 9 Oktober 2016. Mengabaikan kepatutan politik, Trump menjuluki lawannya dengan "Crooked Hillary".

Sebagai seorang kandidat presiden ketika itu, Trump kenekatannya tak tertandingi. Dan itu memberinya kebebasan yang tidak dinikmati oleh lawannya, Hillary Clinton. Trump bisa menyinggung siapa pun, mengkritik dan melecehkan siapa pun, menjanjikan apa pun, melemparkan kebohongan, ngomong sembarangan seperti ketika mengatakan bahwa perubahan iklim itu tidak ada, dan itu adalah rekayasa China. Trump juga bisa melakukan semua itu tanpa harus meminta maaf. Tidak meminta maaf.

Semua itu menegaskan bahwa politik di era digital ini adalah politik hoaks.

Cara yang sama dilakukan oleh Jair Bolsonaro (yang memang pemuja Trump) di Brasil. Bolsonaro adalah eks tentara yang misoginis, rasis, dan rindu akan era kediktatoran militer Brasil. Sebagai pembenci political correctness (kepatutan politik), mulut Bolsonaro rajin memproduksi pernyataan-pernyataan kontroversial. Sikap inilah yang membuatnya dijuluki "Donald Trump-nya Brasil" atau "Donald Trump-nya Negara Tropis".

Bolsonaro juga mengatakan tak akan menerima hasil pemilu jika dirinya dinyatakan kalah. Menurut Bolsonaro, satu-satunya kemungkinan Fernando Haddad (pesaingnya) bisa menang adalah dengan melakukan kecurangan. Apalagi, dia menilai ada indikasi para petugas dari Mahkamah Pemilu untuk memainkan hasil pemilu.

AFP/RICARDO MORAES

Kandidat presiden dari kelompok sayap kanan Brasil, Partai Liberal Sosial (PSL), Jair Bolsonaro, saat memberikan suara dalam putaran kedua pemilihan umum di Rio de Janeiro, Minggu (28/10/2018). Pilpres di Brasil juga diwarnai dengan penyebaran berita bohong.

Pada 22 Oktober 2018, seminggu sebelum pencoblosan, muncul berita dilengkapi foto mesin pemungutan suara yang diletakkan di sebuah truk pikap. Menurut Agência Lupa, pengguna Whatsapp, mengklaim bahwa tiga dari empat kotak suara dipenuhi dengan suara untuk Fernando Haddad, penantang sayap kiri Bolsonaro. Pengadilan Pemilihan Regional Amazonas mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa truk itu memang milik negara, tetapi tidak mendeteksi adanya penyimpangan dalam mesin pemungutan suara. Gambar dibagikan pada 46 grup WA oleh 74 pengguna.

Dalam beberapa bulan menjelang pemilu, Facebook menutup lebih dari 100.000 akun Whatsapp yang menyebarkan teori konspirasi tentang lawan Bolsonaro kepada para pemilih di seluruh Brasil.

Semua itu dilakukan demi kekuasaan. Yah, kekuasaan.