KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)

J Kristiadi

 

Semakin dekat hari pemungutan suara 17 April 2019, pancaran sinar terang yang mencerahkan dalam kontestasi politik "pesta demokrasi" terasa temaram dan cenderung semakin remang-remang. Langit politik tertutup kabut nafsu kuasa arus kecil yang mengarah pada sikap politik yang mengeras serta memutlakkan kebenaran subyektif.

Aliran mini tersebut dapat mengancam kehidupan bersama dan tertib demokrasi karena militansinya mampu menyusup ke segala arah serta saling memanfaatkan dengan elite politik demi kepentingan kekuasaan. Fenomena arus kecil semakin mampu mengapitalisasi porsi kekuatannya menjadi signifikan karena mengeksploitasi sentimen dan emosi primordialistik serta doktrin keyakinan yang digeber melalui media sosial.

Akibatnya, percaturan politik keruh dengan limbah yang diproduksi oleh ujaran-ujaran yang tidak memuliakan kehidupan bersama, melainkan justru semakin mempertegas garis batas sehingga masyarakat semakin dalam terbelah menjadi dua kubu dengan nuansa primordialitas yang semakin mengeras. Perdebatan publik hanya berputar-putar serta tidak jelas arahnya karena terperangkap dalam dialektika dikotomik. Pada tataran akar rumput, setiap kubu nuansanya selalu membenarkan pendapatnya sendiri.

Misalnya, sikap "gentleman" Prabowo dalam debat capres kedua yang beberapa kali mengakui keberhasilan pembangunan pemerintahan Joko Widodo, yang direspons dengan sikap rendah hati dari lawan debatnya, tidak mempunyai resonansi di kalangan arus bawah. Bahkan, ketika Prabowo dipersilakan moderator menambah argumentasinya karena waktu masih tersisa, ia merasa tidak perlu, serta menambahkan kalimat supaya jangan "diadu-adu" terus, kalau Joko Widodo berhasil harus diakui.

Sayangnya, pascadebat, tataran grassroot bukan mengapitalisasi narasi yang dapat saling mendekatkan, tetapi justru ramai perang tagar saling menafikan satu sama lain. Polarisasi politik menjadi menikeanistik, masing-masing memutlakkan kebenaran subyektif.

Fenomena kosmologi menikean (Manichaeism), doktrin mengajarkan kosmologi dualistik pergulatan antara dunia spiritual yang baik dan dunia kegelapan, kebenaran versus kebatilan, antara hitam dan putih, sehingga menghasilkan absolutisasi perbedaan dan pembelahan publik. Akal sehat tidak mendapat kesempatan melakukan tugasnya menggali pemaknaan dari pesan-pesan mulia.

Sinar terang mulai menembus kabut pekat jagat perpolitikan Indonesia berkat pancaran sembilan bintang (Nahdlatul Ulama) serta matahari yang bersinar ke segala penjuru (Muhammadiyah), yang memberikan pencerahan bangsa Indonesia mengidentifikasi masalah fundamental dewasa ini.

Isu-isu tersebut, antara lain, dinarasikan KH Ma'ruf Amin yang menegaskan pasangan Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin tidak menampung kelompok radikal. Pilpres 2019 sebagai momentum pertarungan menjaga ideologi Pancasila dan keutuhan bangsa karena ada gerakan radikalisme dan sistem transnasional yang ingin mengganti sistem politik (Republika.co.id, 12/1/2019). Penegasan ini mungkin merupakan respons dari sinyalemen Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) bahwa kelompok radikal masuk ke salah satu pasangan capres-cawapres Pilpres 2019 (Kompas, 13/2/2019).

Sementara itu, Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam Tanwir Muhammadiyah bertema "Beragama yang Mencerahkan", menyerukan urgensi Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya menyebarkan pesan praktik Islam yang mencerahkan kehidupan. Mengingat dewasa ini masih terjadi pengamalan beragama yang menimbulkan sikap ekstrem, takfiri, penyebaran hoaks, politisasi agama dan ujaran kebencian yang dapat berujung perang saudara di tegal Kurusetra.

Dalam dunia perwayangan, palagan laga tempat sesama saudara trah barata saling membinasakan demi segenggam kekuasaan. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia jangan sampai ikut arus kecil yang bernuansa Kurusetra (Kompas, Sabtu, 16/2/2019).

Ungkapan senada disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, saat memberikan pidato dalam penutupan Tanwir Muhammadiyah. Intinya, walaupun agama telah menjadi bagian dari sesuatu hal yang banyak menurunkan kebaikan, tetapi pengaruh agama banyak juga terjadi masalah-masalah yang besar. Semakin diperlukan pencerahan agar praktik dan pengamalan agama semakin memuliakan hubungan antarmanusia (Kompas.com, 17/2/2019).

Kegalauan Pemilu 2019 menjadi palagan tegal Kurusetra mendapatkan penjelasan lebih gamblang dari dalil Aksin Wijaya yang menegaskan jika arus dan lingkaran kekerasan dibiarkan, ia akan menjadi kebiasaan bahkan kekerasan akan menjadi nalar masyarakat yang menganggap kekerasan adalah cara paling efektif mengatur pola hubungan antara manusia. Pada titik inilah kekerasan akan merembet ke ranah agama, apa pun agama itu (Aksin Wijaya, Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan, 2018).

Benang merah penegasan dan wanti-wanti dari para tokoh pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, membuktikan bahwa kedua organisasi tersebut serta umat Islam di Indonesia, pada umumnya secara natur dan kultur selalu meluhurkan nilai-nilai kemanusiaan serta kehidupan bersama yang harmonis. Kedua institusi keagamaan yang tidak pernah lelah menyebarkan pesan perdamaian yang menyejukkan menjadi pilar dan benteng yang kukuh bagi keutuhan bangsa Indonesia.

Tugas bangsa Indonesia di depan mata dewasa ini adalah menangkal arus kecil bernuansa Kurusetra dalam Pemilu 2019. Selain itu, menjadikan kompetisi politik sebagai pesta kemenangan rakyat mengingat rakyatlah yang harus menjadi pemenang sesungguhnya siapa pun yang unggul dalam setiap pemilihan umum.