Namun, berbeda dengan pertandingan bola yang berakhir dengan skor yang jelas, debat calon presiden berlanjut pada penilaian yang amat berbeda, bergantung pada pilihan pasangan calon masing-masing. Bahkan, sebagian pendukung juga memasang skor yang lucunya bisa sangat berlawanan, 5-1 untuk pasangan calon 01 atau untuk pasangan calon 02 dengan berbagai argumentasi.

Debat semacam ini diyakini tak mengubah pandangan dan pilihan politis para pendukung secara signifikan karena toh para pendukung melihat apa yang mereka ingin lihat dan mengabaikan apa yang mereka anggap tak penting. Pada sisi lain, kegaduhan di medsos bisa menimbulkan kebingungan dan apatisme di kalangan warga dengan literasi media yang kurang memadai atau yang belum menentukan pilihan.

Terlepas dari penilaian terhadap mutunya, saya berharap para guru dan dosen mau menggunakan debat perdana dan yang selanjutnya serta beberapa analisis dan komentar-komentar di medsos sebagai materi pendidikan politik di sekolah pada jenjang pendidikan dasar-menengah sampai pendidikan tinggi. Pada saat ketegangan politik makin meningkat menjelang pemilihan presiden, berbagai tontonan mulai dari kebaikan, kekonyolan, kejenakaan, hingga kebohongan beredar deras di media.

Situasi ini pernah menjadi keprihatinan Alexis de Tocqueville seperti yang dia tulis dalam pengantar bukunya, Democracy in America (1830): "Apakah manusia selalu menghuni suatu dunia seperti yang ada sekarang, di mana segala sesuatu tidak berada dalam hubungan yang benar dengan yang lain, di mana kebajikan hadir tanpa kecerdasan, dan kecerdasan ada tanpa kehormatan; di mana cinta akan tata tertib dikacaukan dengan selera untuk penindasan, dan penghormatan yang suci terhadap kebebasan dikacaukan dengan pelecehan terhadap hukum; di mana sinar yang dipancarkan oleh hati nurani atas tindakan manusia menjadi redup, dan tidak ada lagi yang terlarang atau diizinkan, terhormat atau memalukan, salah atau benar?"

Sekolah diharapkan bisa jadi katalisator ketersambungan kaum muda dengan kehidupan berbangsa dan keterhubungan masa kini dengan masa depan.

Gaet keterlibatan orang muda dalam proses politik

Kaum milenial selalu jadi perhatian (dan rebutan) para politisi karena jumlah mereka menjadi faktor penentu kemenangan. Orang dalam kelompok usia 15-29 di Indonesia per Februari 2018 berjumlah 65 juta (www.bps.go.id). Namun, sayangnya, kepedulian parpol terhadap kaum milenial masih terbatas pada perolehan suara mereka untuk calon dari partai, belum pada kepentingan bangsa untuk kesinambungan proses politik jangka panjang.

Pada 2006, saya berkesempatan mewakili Komunitas Indonesia untuk Demokrasi memenuhi undangan dari Netherlands Institute for Multiparty Democracy (NIMD) untuk mengikuti program kunjungan bersama dengan 24 politisi dan pengamat dari delapan negara mitra IMD (Indonesia, Ghana, Tanzania, Afrika Selatan, Kenya, Georgia, Bolivia, dan Guatemala) dalam aktivitas kampanye menjelang pemilihan parlemen Belanda pada 22 November 2006 dan menyaksikan serta memberi masukan mengenai sistem dan praktik demokrasi di Belanda.

Perhatian khusus diberikan pada kalangan orang muda. Berbagai cara dilakukan pemerintah dan organisasi masyarakat madani di Belanda untuk menjaring pemilih dari kalangan muda. Seiring upaya keras parpol menjaring konstituen dari segmen populasi ini, pemerintah dan masyarakat Belanda melakukan investasi politik bagi keberlangsungan masa depan demokrasi dengan menyiapkan anak-anak muda di bawah 18 tahun (batasan usia pemilih). Poster semua partai beserta dengan caleg unggulan mereka dipasang di sekolah-sekolah. Kemudian, ratusan ribu siswa di 475 sekolah diberi kesempatan memilih partai dalam simulasi pemilihan lewat internet yang diselenggarakan oleh Institute for Public Policies.

Simulasi di internet ini tidak hanya menjaring pilihan siswa, juga memberikan edukasi praktis tentang isu-isu kebijakan publik dan agenda partai dan calon. Pengguna merasakan manfaat karena bisa mengetahui platform tiap partai terhadap berbagai isu publik dan membandingkannya dengan pendapat mereka sendiri sehingga implikasi politik sudah bisa diketahui sebelum membuat keputusan pada hari-H pemilu. Hasil pemilihan oleh siswa dianalisis dengan serius dan dijadikan bahan kajian.

Memang bisa saja anak muda ini kemudian mengubah orientasi politik mereka di kemudian hari. Namun, mengarahkan anak muda untuk jadi melek politik dan terlibat dalam proses demokrasi sejak awal merupakan investasi yang seharusnya dilakukan bukan untuk menggaet pemilih ke dalam partai tertentu, melainkan dilaksanakan dengan penuh integritas demi keberlangsungan demokrasi di masa depan (www.komunitasdemokrasi.or.id).

Politik praktis dan kesadaran politis

Setiap pendidik kemungkinan besar sudah mempunyai pilihan pasangan calon masing-masing. Tak jarang berbagai pelanggaran etis terjadi di sektor pendidikan ketika guru mengarahkan siswa mereka untuk memilih calon tertentu tanpa memaparkan visi misi, rekam jejak dan agenda calon, serta isu-isu kebijakan publik yang menjadi konteks. Bahkan di sejumlah daerah, kepala dinas pendidikan dianggap posisi sangat strategis untuk menjaring pemilih pemula dan menjadi batu lompatan meraih posisi kepala daerah.

Memang tak etis bagi pendidik untuk memengaruhi siswa sebagai pemilih pemula menentukan pilihan politik mereka. Namun, kenetralan guru tak berarti sekolah disterilkan dari pendidikan politik. Penggunaan rekaman debat pasangan calon dan beberapa analisis pakar politik sebagai materi pembelajaran di sekolah bukan untuk mengarahkan siswa pada pilihan tertentu, melainkan untuk menumbuhkan kesadaran politis siswa sebagai warga negara yang ikut bertanggung jawab atas keberlangsungan demokrasi di Indonesia di masa depan.

Ada beberapa analisis pasca-debat yang cukup berimbang dan tidak memihak.

Mengelola pendidikan politik di sekolah bukan hanya tugas guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan ilmu-ilmu sosial, juga guru mata pelajaran lainnya. Debat perdana yang lalu menawarkan kekayaan isu yang bisa dikaitkan dengan materi kurikulum formal. Guru PKn, misalnya, bisa membahas sebutan chief law enforcement officer dengan topik trias politika. Mata pelajaran ilmu-ilmu sosial akan diperkaya dengan isu-isu korupsi dan penanganannya serta peran aparatur sipil negara (ASN) dan masyarakat yang muncul di debat.

Mata pelajaran Agama akan lebih membumi jika menyentuh persoalan radikalisme dan terorisme. Guru bahasa bisa mengajak siswa mengamati dan menilai retorika dan gaya komunikasi kedua pasangan calon serta literasi media. Guru matematika bisa mengajak siswa melakukan kalkulasi dan simulasi gaji ASN dan APBN serta keterkaitan dengan korupsi.

Akhirnya, pengalaman politis kaum muda tidak berhenti pada coblosan pertama. Pendidikan politik juga akan berlanjut setelah siswa lulus dari sekolah. Guru bisa mengawali pendidikan politik siswa dengan pembekalan yang tepat, tapi juga perlu menyiapkan siswa untuk melanjutkan perjalanan politik mereka sendiri tanpa bimbingan guru.

Guru bisa menugasi siswa menuliskan jurnal pilihan politis mereka beserta alasan dan harapan mereka. Lalu, guru bisa meminta siswa untuk membaca kembali tulisan ini lima tahun yang akan datang dan melakukan refleksi atas pilihan-pilihan politis mereka.

Menjawab kecemasan Tocqueville, niscaya sekolah akan menjadi jembatan ketersambungan orang muda dengan masyarakat dan keterhubungan masa kini dan masa depan bangsa Indonesia