Pembentukan PLN ataupun penguatan BPHN tak terlepas dari persoalan buruknya tata kelola regulasi di Indonesia. Kepala Bappenas dalam "Seminar Reformasi Regulasi" di Jakarta (13/2/2019) menyampaikan, dari kisaran 150.000 regulasi terdapat beberapa persoalan membayanginya.

Persoalan dimaksud meliputi: minimnya sinkronisasi dan harmonisasi pembentukan regulasi, lemahnya sinergi kebijakan dan regulasi, perencanaan yang tidak berbasis pada evidence based approach dan lemahya kelembagaan serta minimnya penguatan sistem pendukung.

Masukan Bappenas
Bappenas merekomendasikan cara mengatasi melalui pengintegrasian segala urusan pemerintahan di bidang hukum dan regulasi dalam satu lembaga. Dalam perspektif ketatanegaraan, pembentukan PLN atau penguatan BPHN harus merujuk pada desain konstitusi. Berdasarkan Pasal 17 Ayat (1) dan (3) UUD NRI 1945, menjadi tugas menteri untuk membantu presiden dalam menjalankan urusan pemerintahan.

Selanjutnya, Pasal 4 Ayat (2) UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara mengategorikan tiga bidang urusan pemerintahan yang harus dipegang menteri: urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD NRI tahun 1945, urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD NRI, dan urusan pemerintahan dalam rangka penajaman koordinasi/sinkronisasi program. Khusus urusan dalam bidang hukum menjadi bagian dari urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam konstitusi. Artinya, persoalan hukum harus dipegang oleh menteri.

Wacana membentuk PLN menjadi lembaga di bawah presiden, tetapi bukan kementerian akan mengurangi bobot konstitusionalitas urusan pemerintahan di bidang hukum. Sebaliknya, memperkuat BPHN sebagai pusat pembentukan dan penataan regulasi tanpa diiringi peningkatan level kelembagaan tidak akan efektif dalam menata regulasi.

Bappenas mengakui bahwa minimnya koordinasi antarlembaga juga menjadi penyebab buruknya regulasi di Indonesia. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui BPHN dan Direktorat Jenderal Perundang-undangan (Ditjen PP) tak berdaya berhadapan dengan tiga lembaga lain yang juga terlibat dalam urusan hukum dan regulasi. Lembaga dimaksud adalah Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, dan Kementerian Dalam Negeri (regulasi daerah).

Kementerian tersendiri
Ketidakberdayaan Kemenkumham juga disebabkan masih digayuti oleh urusan lain, seperti imigrasi, pemasyarakatan, administrasi hukum umum, imigrasi dan kekayaan intektual. Untuk itu sudah saatnya urusan hukum terkait penataan regulasi disapih dalam satu kementerian tersendiri. Dengan demikian, keberadaan BPHN, Ditjen PP, urusan hukum di Sekretariat Negara dan Sekretaris Kabinet dan Kemendagri digabungkan dalam satu kementerian tersendiri.

Tahap berikutnya, tugas pertama kementerian tersebut adalah mengusulkan kepada presiden agar segala kewenangan yang dimiliki kementerian dan lembaga dalam membentuk regulasi dievaluasi. Selama ini kemunculan ribuan regulasi yang ada lebih didasarkan pada kewenangan atributif yang dimiliki lembaga masing-masing. Khusus dalam kekuasaan presiden saja terdapat tiga jenis regulasi, mulai dari peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga peraturan menteri/lembaga. Secara kuantitatif ketiga jenis peraturan itu cukup besar sumbangsihnya sebagai penyebab over-regulation.

Dari data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan dalam kurun waktu 2014-2018 terbit sebanyak 7.621 peraturan menteri. Dibandingkan dengan regulasi lain dalam kurun waktu yang sama hanya terbit 765 PP, 452 perpres, dan 107 UU. Dengan demikian, menteri menempati posisi pertama sebagai produsen regulasi dan hadirnya ribuan peraturan menteri bukannya memperjelas norma, melainkan sebaliknya, justru menyebabkan pertentangan norma.

Merujuk pada lampiran angka 211, UU No 12 Tahun 2011, peraturan menteri hanyalah bersifat teknis administratif. Faktanya peraturan menteri malah dibentuk secara mandiri dan sering menyimpang dari peraturan yang lebih tinggi.

Bapppenas juga menyinyalir pembentukan peraturan menteri menjadi program capaian kinerja di kementerian dan lembaga. Sering kali kehadiran peraturan menteri bukan karena kebutuhan, melainkan karena keinginan, apalagi ada konsekuensi pembiayaan dalam pembentukannya.

Sudah waktunya keterbutuhan dan manfaat menjadi tolok ukur pembentukan peraturan menteri. Untuk itu, pembatasan secara tegas bagi kementerian dan lembaga dalam membentuk regulasi harus dilakukan.

Lahirnya regulasi yang tak terkontrol harus dicegah oleh presiden, apalagi fakta membuktikan sering kali kelahiran peraturan menteri tanpa sepengetahuan presiden. Padahal, menteri adalah pembantu presiden. Sudah sepatutnya materi muatan apa pun yang akan diatur oleh menteri dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) ataupun perpres.

Dengan formulasi PP dan perpres, problem sektoral akan teratasi karena pembentukannya oleh presiden. Untuk itu, keberadaan peraturan menteri harus dikembalikan pada materi muatan yang bersifat teknis administratif.

Pada akhirnya, selain membentuk kementerian urusan pemerintahan bidang hukum secara mandiri, kementerian atau lembaga lain yang membantu presiden harus dibatasi kewenangannya dalam membentuk regulasi.