Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 04 Maret 2019

”Kompas” dan Pelanggan//Berobat di Luar Negeri//Tanggapan Pemkot Bekasi (Surat Pembaca Kompas)


"Kompas" dan Pelanggan

Orangtua saya berlangganan harian Kompas sejak saya duduk di bangku SMA pada 1966. Saya teruskan sampai sekarang dengan tetap berlangganan Kompas tanpa putus. Bahkan, anak-anak saya yang sudah berkeluarga masing-masing juga berlangganan.

Sayang, hubungan pelanggan dan Kompas hanya sampai pada agen, penyalur, atau pengecer karena Kompas tak punya data personal pelanggan: jenis kelamin, usia, pendidikan, profesi, domisili, bahkan juga hobi, yang dapat digunakan Kompas untuk berbagai program seperti survei, kajian ilmiah, atau polling pembaca. Minimal untuk jaga tali silaturahmi dengan pelanggan.

Jika data pelanggan ini dimiliki Kompas, hubungan Kompas dan pelanggannya akan lebih kuat, dekat, dan saling menguntungkan. Kompas, misalnya, dapat memberikan kemudahan-kemudahan, seperti akses bebas Kompas digital, membayar biaya langganan via daring, pemberian merchandise sebagai apresiasi kepada pelanggan setia atau sekadar ucapan selamat ulang tahun.

Untuk Kompas, mestinya hal ini tak sulit dilakukan, apalagi Kompas memiliki divisi litbang dan kita hidup dalam era digital.

FX WIBISONO Jl Kumudasmoro Utara, Semarang

Catatan Redaksi
Terima kasih atas usul konstruktif ini. Kami akan pertimbangkan.

Berobat di Luar Negeri

Sudah kita maklumi bersama bahwa banyak warga negara Indonesia yang, apabila sakit, berobat di rumah sakit di luar negeri. Tentu ini dilakukan oleh mereka yang berkantong tebal, termasuk para pejabat.

Data yang disampaikan Kompas (15/2/2019) di halaman 5: pada 2018 jumlah pasien WNI yang berobat di rumah sakit Malaysia mencapai 670.000 orang. Angka yang cukup besar. Belum lagi yang berobat di rumah sakit Singapura. Dapat kita bayangkan berapa besar devisa kita yang tersedot di kedua negara tetangga itu.

Menurut Kompas, akreditasi rumah sakit kita sudah sejajar dengan akreditasi di negara lain. Kemungkinan alasan banyaknya warga kita yang berobat di luar negeri: sambil berobat, menikmati suasana negeri setempat; tarif yang lebih murah di sana. Kompas menyebut "keramahan yang lebih baik".

Alasan lebih ramah ini perlu diuji sebab negeri kita terkenal dengan keramahan warganya yang jadi daya tarik orang asing berkunjung ke sini.

Walhasil, menjadi tantangan bagi kita untuk bisa mengubah keinginan warga negara Indonesia agar lebih mencintai negerinya dengan berobat di dalam negeri saja.

Itu berarti, rumah-rumah sakit di Tanah Air lebih meningkatkan mutunya: yang kurang baik menjadi baik, yang sudah baik menjadi lebih baik lagi hingga melebihi kualitas rumah sakit negeri jiran.

Hapsoro Siswopranoto Jl Nusa Indah, Serua,Ciputat, Tangsel, Banten

Tanggapan Pemkot Bekasi

Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Aris yang menulis surat pembaca di Kompas (16/2/2019) tentang keberadaan Pasar Rama Plaza di Jl Jati Makmur, Pondok Gede, yang kumuh serta tak terjaga kebersihan lingkungannya oleh pengelola.

Bapak Aris juga mengingatkan perlu pengawasan langsung ke lapangan karena ditengarai tempat tersebut jadi tempat mesum, sarang narkoba, dan kegiatan negatif lain. Menanggapi hal ini, Pemerintah Kota Bekasi sesegera mungkin bertindak.

Camat Pondok Gede beserta Satpol PP Kecamatan akan membenahi dan menertibkan pelaku usaha kafe yang ada dan sudah diberikan SP2 untuk penutupan operasionalnya. Dari informasi yang kami terima, Plaza Rama Pondok Gede berdiri pada 1980-an dan sampai sekarang tidak ada pedagang yang menempati ruko tersebut.

Sajekti Rubiyah Kepala Bagian Humas Setda Kota Bekasi

Kompas, 4 Maret 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger