KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Pekerja menaikkan tandan buah segar sawit ke truk di perkebunan kelapa sawit milik PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk di Tanah Raja Estate, Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu.

Tahun Anjing Tanah ternyata tak ramah bagi industri sawit nasional. Setiap hari pada pengujung 2018, harga minyak sawit mentah (CPO) terus menurun. Pelaku usaha merugi karena harga jual jauh di bawah biaya produksi.

Masa keemasan industri sawit mulai berakhir. Pada masa "bonanza komoditas" (2011), harga CPO tertinggi mencapai 1.350 dollar AS per ton. Kini hanya 460 dollar AS per ton. Pelaku usaha termasuk petani harus siap-siap gulung tikar.

Petaka itu sebenarnya sudah bisa diprediksi. Indikasinya jelas: harga turun karena permintaan menurun, sementara produksinya terus meningkat, maka terjadilah kelebihan produksi. Kelebihan produksi mencapai 5,3 juta ton. Itu belum termasuk kelebihan produksi di Malaysia yang mencapai 2,7 juta ton (MPOB, 2018).

Sebenarnya, gejala penurunan harga sudah bisa ditebak sejak 2014. Akan tetapi, pemerintah dan pelaku usaha salah mendiagnosis. Kita membiarkan ekspansi pembukaan lahan perkebunan sawit dalam skala luas. Izinnya terus diobral.

Apalagi bila menjelang masa pilkada. Izin perkebunan sawit menjadi "pelicin" bagi oknum kepala daerah demi memenangi pilkada.

Saat itu mungkin kelebihan produksi belum tinggi. Ekspektasi meningkatnya permintaan minyak sawit global masih sangat tinggi di kalangan pengambil kebijakan dan pelaku usaha.

Apalagi ada peluang pengembangan biodiesel dari minyak sawit, yang diprediksi mampu mengatasi kelebihan produksi. Namun, prediksi itu buyar karena kalkulasinya tidak berdasarkan data kredibel. Arus perekonomian global pun tak seindah saat "bonanza komoditas".

Dapat dikatakan, tata kelola industri sawit nasional salah urus. Pembiaran tanaman monokultur itu sampai menerabas kawasan hutan dan kawasan gambut yang dilindungi, jadi petunjuk buruknya tata kelola perkebunan sawit.

Pelbagai suara penolakan muncul, mulai dari konsumen global, aktivis lingkungan hidup, sampai masyarakat adat. Keberadaan industri itu mengancam keseimbangan ekosistem.

Mereka bagaikan mesin perusak hutan tropis, yang setiap saat siap memusnahkan sumber keanekaragaman hayati dan tempat hidupnya masyarakat adat. Pemerintah abai, tak mendengarkan pelbagai suara keberatan itu.

Tak susah menemukan pelanggaran yang dilakukan manajemen perkebunan sawit. Arahkan saja pandangan ke kawasan konservasi—kawasan yang mengawetkan keanekaragaman tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya—yang tak boleh dikonversi sekehendaknya.

Tapi sekarang kawasan itu telah berubah menjadi hamparan tanaman sawit. Hasil digitasi citra satelit resolusi tinggi menunjukkan lahan konservasi seluas 115.000 ha sudah menjadi tanaman  sawit (Auriga, 2018).

Apa kebijakan solutif untuk meredam gejolak harga? Tak mudah mengendalikan pasar yang sudah mengglobal. Apalagi di tengah perang dagang yang semakin tinggi intensitasnya.

Kepanikan tak hanya menimpa pelaku usaha, tetapi pemerintah. Itu dapat dilihat dari respons Presiden Jokowi, yang mengusulkan petani sawit menanam jengkol dan petai.

Meski demikian, saran Presiden Jokowi itu bermakna mendalam. Kebiasaan petani membudidayakan tanaman sawit yang monokultur dan rakus lahan telah menimbulkan ketergantungan. Ketika harga sawit turun drastis, mereka ikut terpuruk karena tak memiliki pendapatan dari budidaya tanaman lainnya.

Oleh karena itu, usulan mendiversifikasi tanaman jadi solusi tepat. Pesan berikutnya, dalam jangka pendek tak mudah bagi pemerintah dan pelaku usaha meningkatkan harga sawit. Kelebihan produksi yang tinggi membutuhkan kanal distribusi.

Kanal ekspor mustahil menyerapnya dalam waktu singkat. Kanal domestik butuh waktu lama untuk menyiapkan industri hilirnya. Supaya tetap bertahan hanya ada satu cara, yaitu efisiensi.

Pada akhirnya, di awal 2019 ini, semua pemangku kepentingan industri sawit nasional harus introspeksi diri. Ternyata industri yang dibangun dengan cara eksploitatif dan ekstraktif tidak berkelanjutan. Apalagi kalau pengembangannya disertai korupsi. Banyak cara yang akan menghukum bisnis itu.

Berbagai suara aktivis lingkungan hidup dan masyarakat adat boleh diabaikan. Namun, rasam pasar pasti datang memberikan hukumannya. Maka, dengarkanlah mulai sekarang, sebelum telanjur memburuk.