Bunyi cuitan itu: "Omong kosong Industri 4.0 kalau budget riset negara kita kaya gini (2016, in USD): (1) US 511B, (2) China 451B, (3) Jepang 165B, (4) Jerman 118B, (5) Korea 91B, (11) Taiwan 33B, (14) Australia 23B, (24) Malaysia 10B, 25. Singapura 10B, (43) Indonesia 2B. Mudah-mudahan presiden baru bisa naikin".

Respons pun datang dari banyak pihak dengan berbagai gaya. Cuitan ini kami baca sebagai kritik dan masukan kepada pemerintah. Kritik terhadap kebijakan penelitian perlu terus dilakukan agar kebijakan yang dibuat benar-benar tepat sehingga dapat berperan secara signifikan dalam memperbaiki kekondusifan ekosistem penelitian. Ekosistem penelitian yang baik dapat melahirkan karya besar yang dapat menjadi nation brand (jenama bangsa) dan sekaligus kunci lompatan kemajuan bangsa.

Jenama bangsa merupakan persepsi menyeluruh atas suatu bangsa dalam pikiran para pemangku kepentingan internasional (Aruman, 2014). Sebagai contoh, apabila mendengar kata Samsung, kita sebagai pengguna langsung berasosiasi dengan Korea, Huwaei dengan China, dan Sony dengan Jepang.

Asosiasi atau persepsi seperti itu yang kita harapkan atas hasil penelitian anak-anak negeri. Karena persepsi itu menggambarkan berjalannya kesinergian dan kolaborasi antara peneliti/lembaga penelitian/perguruan tinggi (PT) sebagai pusat inovasi dengan industri yang menghilirkan produk, dan pemerintah yang memberikan keberpihakan melalui berbagai regulasi dan insentif.

Pada era persaingan yang semakin kompetitif pendapat yang cukup menyemangati dari Michael Porter patut dirujuk bahwa kemakmuran suatu bangsa harus dibuat, bukan diwariskan. Untuk membuat kemakmuran bangsa, kita harus bekerja keras dan bekerja cerdas bersaing dengan negara lain. Salah satu modal utama persaingan global adalah membuat dan mengelola jenama bangsa (Kotler, 2002). Banyak alasan yang membuat negara-
negara harus mengelola jenama bangsa.

Perkembangan global mengharuskan setiap negara, kaya atau miskin, bersaing dengan negara lain dan bahkan berebut pangsa konsumen dunia, wisatawan, investor, dan pengusaha. Bahkan mereka juga berlomba untuk mendapatkan mahasiswa, peneliti hebat, olahragawan kelas dunia, paket seni-budaya yang bernilai jual, termasuk perhatian dan rasa hormat dari media internasional, pemerintah, dan rakyat negara lain (Anholt, 2007 dalam Aruman, 2014). Negara-negara di dunia juga bersaing dan berebut orang-orang berbakat serta mencari pasar untuk ekspor mereka. Di sinilah pentingnya konsep penjenamaan bangsa (nation branding).

Masalah penelitian

Indonesia salah satu negara yang mempunyai lebih dari 4.500 perguruan tinggi (PT) dan lebih dari 25 institusi pemerintah yang punya unit penelitian dan pengembangan (litbang). Jumlah PT kita lebih besar dari AS dan China yang penduduknya lebih besar dari Indonesia. Namun, banyaknya PT dan litbang itu terjebak dalam masalah penelitian, yang secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, terbatasnya sumber daya, yang mencakup keterbatasan sarana-prasarana laboratorium dan ketersediaan peneliti yang berkualitas mumpuni. Sarana-prasarana penelitian kita secara nasional tertinggal dan banyak yang harus dimutakhirkan karena kebutuhan zaman. Banyak peralatan penelitian yang usianya lebih dari setengah abad, tetapi masih digunakan .

Ketersediaan jumlah dan kualitas peneliti juga masih rendah, 1.071 peneliti per satu juta penduduk. Ini sudah memasukkan dosen yang kurang aktif meneliti sebagai peneliti.

Kedua, belum adanya keterkaitan dan kesepadanan (link and match) penelitian oleh PT/ litbang dengan peta jalan industri sehingga hasil-hasil PT/ litbang tak mudah dihilirisasi ke industri. Banyak penelitian yang masih dilakukan untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat/jabatan fungsional. Penelitian yang siap hilir pun banyak yang tak dapat langsung ditangkap oleh industri.

Penyebabnya bukan hanya karena penelitian yang dilakukan peneliti sering tak sejalan dengan kebutuhan industri atau yang menjadi kebutuhan industri sering tak diteliti oleh peneliti, tetapi juga terkadang karena ketidaksesuaian atas prosedur standar oleh institusi yang memberikan persetujuan hasil penelitian sebelum diproduksi dan didiseminasi ke publik. Sebagai contoh, penelitian dalam bidang obat dan makanan proses penelitiannya harus menggunakan standar perangkat yang ditentukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Jika standar itu tak dipenuhi, izin edar hasil penelitian tak akan diperoleh.

Akibatnya sulit dapat mitra industri yang bersedia menghilirisasi hasil penelitian. Jika dipaksakan untuk dihilirisasi, sering perlu jeda waktu untuk mengevaluasi hasil penelitian yang lebih komprehensif. Instansi yang memberikan persetujuan hasil penelitian sebelum diproduksi dan didistribusikan ke publik bukan hanya BPOM, melainkan ada instansi lain sesuai kewenangannya, seperti Ditjen Alkes untuk hasil penelitian alat kesehatan, Kementerian Pertanian untuk hasil penelitian terkait pertanian, dan sebagainya. Jadi, masalah keterkaitan dan kesepadanan merupakan bottleneck lintas dan multiinstitusi, bukan hanya masalah peneliti dan industri .

Ketiga, terlalu banyak litbang dan PT yang tak terkoordinasi dalam melakukan penelitian sehingga tumpang-tindih, pengulangan substansi penelitian, dan ngecer-ecer anggaran yang mengakibatkan inefisiensi sumber daya bisa terjadi.

Keempat, anggaran penelitian masih rendah (0,25 persen PDB) dan sering lambat pencairannya untuk sampai kepada peneliti. Sebagai perbandingan, Thailand (0,63 persen), Malaysia (1,3 persen), dan Singapura (2,07 persen). Kondisi itu pun anomali karena anggaran penelitian Indonesia didominasi pemerintah (84 persen). Di Thailand angkanya 10 persen, Malaysia 20 persen, dan Singapura 11,5 persen. Cara mempertanggungjawabkan anggaran penelitian yang berbasis proses juga rumit dan berbelit-belit sehingga membebani peneliti.

Kelima, produktivitas dan relevansi penelitian masih rendah. Banyak peneliti yang melakukan penelitian cukup bagus, tetapi tak relevan dengan kebutuhan Indonesia saat ini dan mendatang. Akibatnya tak dapat secara maksimal dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia.

Mulai menggeliat

Menyimak sejarah pendek lima tahun, ada fenomena dahsyat terjadi di lingkungan komunitas peneliti-dosen di Tanah Air. Terlihat tumbuhnya semangat meneliti di PT dan litbang, antara lain tergambar dari tren pertumbuhan publikasi yang tercatat di jurnal terindeks Scopus, tren pertumbuhan paten yang dicatat World Intellectual Property Organization (WIPO), dan tren pertumbuhan perusahaan rintisan.

Pada 2015, publikasi internasional Indonesia 8.263. Saat itu, Malaysia 27.552, Singapura 20.530, dan Thailand 13.138.  Indonesia di peringkat keempat ASEAN. Pada 2018, Indonesia 30.924, mendekati Malaysia 31.968, dan melebihi Singapura 22.081 serta Thailand 17.210. Capaian tersebut mendudukkan Indonesia di posisi kedua ASEAN. Namun, tentu kita harus jernih melihatnya. Kualitas dan relevansi jadi fokus, bukan kuantitas publikasinya saja.

Tren itu dapat kita baca bahwa semangat atau ekosistem penelitian kita mulai menggeliat, tetapi angka-angka itu belum mencerminkan kualitas dan relevansi penelitian kita. Untuk itu, kini saatnya memperbaiki kualitas dan relevansi hasil penelitiannya, diikuti dengan keteguhan atas etika meneliti. Tentu, kolaborasi antara peneliti (litbang/PT) dan industri, dorongan untuk mendaftarkan hasil penelitiannya menjadi kekayaan intelektual semisal paten, peningkatan anggaran penelitian oleh berbagai pihak terutama swasta, regulasi yang memungkinkan pemanfaatan sarana-prasarana penelitian (laboratorium) secara bersama, dan kewajiban bagi pemerintah menjadi inisiator dalam menggunakan hasil-hasil penelitian anak-anak negeri akan jadi bagian penting dalam memperbaiki kualitas dan relevansi penelitian di Indonesia.

Pertumbuhan publikasi internasional tersebut signifikan dengan pertumbuhan patennya. Jumlah paten Indonesia yang terdaftar sekitar 1.000 (2015) menjadi 2.271 (2017). Angka 2017 itu meninggalkan capaian Singapura (1.609), Malaysia (1.166), dan Thailand (979). Bahkan, pada 2018 paten terdaftar Indonesia 2.842. Ini menunjukkan bahwa upaya untuk memberi insentif dalam biaya pemeliharaan paten melalui pembayaran nol rupiah selama lima tahun pertama setelah terdaftar mulai berbuah. Namun, sekali lagi, kita harus fokus pada hasil penelitian berupa paten yang produktif dan diminati industri. Sehingga upaya untuk memberikan kemanfaatan sosial dan ekonomi paten ke peneliti, seperti melalui pemberian royalti atau imbal jasa dapat menjadi pemicu untuk terus meningkatkan jumlah paten produktif yang terdaftar dan granted.

Pembiayaan negara

Selama empat tahun terakhir, banyak penelitian telah dibiayai negara. Salah satunya dikelola Kemristek dan Dikti melalui skema Sistem Informasi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (Simlitabmas). Sistem ini telah mengelola dan membiayai penelitian lebih dari 61.342 selama 2015-2018. Ini belum termasuk penelitian yang dibiayai melalui skema penelitian oleh PT, litbang, industri atau pihak lain.

Penelitian itu dilakukan oleh banyak dosen-peneliti yang menyebar dari Aceh sampai Merauke, mulai dari jenjang Asisten Ahli hingga Guru Besar. Sebaran variasinya mulai dari penelitian dasar, penelitian terapan, hingga penelitian pengembangan.

Cukup banyak produk hasil penelitian anak-anak negeri yang prototipenya telah diluncurkan kepada publik. Motor listrik GESITS, misalnya, yang dikomandani ITS, pesawat N-219 oleh LAPAN, e-Voting oleh BPPT, Sperma Sexing Sapi oleh LIPI, Konverter-kit oleh Swasta, Katalis Merah Putih oleh ITB, Stem-cell oleh Universitas Airlangga, Kapal Datar oleh UI, Padi Unggul IPB 3S, EWS Bencana Longsor oleh UGM, dan juga penelitian dalam bidang film animasi oleh Universitas Amikom yang mendapatkan penghargaan dari Holywood.

Hasil-hasil penelitian itu secara prototipe, technological readiness level (TRL)-nya sudah pada level 7, tingkatan yang sudah membuktikan bahwa hasil penelitian itu lolos uji pada kondisi lapangan atau medan sebenarnya.

Walau kelayakan ekonomis dari hasil-hasil penelitian tersebut masih harus dikaji lebih rinci, tetapi hasil-hasil tersebut merupakan contoh dari sekian banyak penelitian yang dapat didorong menjadi calon jenama bangsa. Sebagian dari ribuan penelitian tersebut ada yang berlanjut menjadi usaha rintisan. Hal itu terlihat dari data pertumbuhan Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi di lingkungan Kemristek dan Dikti dari 52 (2015) menjadi 956 (2018).

Memang potret tersebut masih sangat jauh beda jika dibandingkan dengan jenama bangsa dari beberapa negara yang disebut di atas. Akan tetapi, semangat mulai menggeliat tersebut yang perlu didorong terus untuk semakin membesar secara signifikan.

Untuk mendorong agar hasil-hasil penelitian kita lebih banyak yang dapat menjadi kandidat jenama bangsa, kita masih harus bekerja lebih ulet dan berkelanjutan, termasuk membangun ekosistem penelitian yang lebih kondusif melalui berbagai regulasi dan komitmen sungguh-sungguh dari pemerintah dan swasta.

Bersatupadunya triple-helix, berupa kesungguhan dan renjana (passion) peneliti, keseriusan dukungan pemerintah dan peran swasta/industri serta budaya semangat hidup-mati yang telah mengakar pada masyarakat untuk mau menggunakan produk anak negeri menjadi variabel utama penentu keberhasilan. Mendorong peran swasta menjadi sangat menarik karena peran swasta dalam penelitian akan menjadi sangat signifikan dalam pembangunan ekonomi Indonesia melalui penelitian, sebagaimana juga terjadi di beberapa negara lain.

Sebagai contoh di Korea, kendali pembangunan jenama bangsa sudah diambil alih oleh swasta. Pemerintah mendukung dan memfasilitasi regulasi yang diperlukan swasta. Para peneliti andal yang memang renjananya di situ berkarya sepenuh tenaga. Seperti Samsung pertama kali masuk ke pasar ponsel pintar dunia pada 2001, dengan teknologi sederhana layar sentuh Samsung SPH I300 berbasis sistem operasi Palm berjuang keras tanpa henti mengembangkan produknya dengan mengerahkan peneliti pada unit litbangnya.

Perjuangan tersebut terus secara konsisten berlanjut sampai saat ini, melalui perekrutan tenaga peneliti andal dan gelontoran dana penelitian yang sepadan serta luar biasanya dukungan pemerintah dan masyarakat Korea. Dalam salah satu masa pengembangannya, Samsung mengeluarkan anggaran penelitian luar biasa besar ketimbang anggaran penelitian di Indonesia. Pada 2011, misalnya, Samsung menginvestasikan 10,3 triliun won (sekitar Rp 128,75 triliun), tahun 2012 menggelontorkan 11,9 triliun won (sekitar Rp 148,75 triliun), dan tahun 2013 membangun lima pusat penelitian dan pengembangan dengan total biaya sekitar 4,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 63 triliun).

Sebagai referensi, pada 2016 anggaran penelitian negara Indonesia (Gross Expenditure for Research and Development) sebesar Rp 30,8 triliun rupiah untuk pengelolaan penelitian yang menyebar dan belum fokus. Sudah cukup lama kita tertidur, dan kini terlihat mulai menggeliat.