Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 13 Maret 2019

ARTIKEL OPINI: Indonesia (Tidak) Bubar (AGUS SUWIGNYO)

Sejak berdiri tahun 1945, negara Indonesia telah menjadi perdebatan di kalangan pengamat. Pertanyaan yang selalu diajukan adalah apakah negara ini akan tetap ada atau akan bubar?

Dalam buletin Far Eastern Review edisi April dan Mei 1958, sejarawan Justus van der Kroef mengatakan, Indonesia akan segera bubar akibat gerakan regionalisme yang marak tahun 1950-an. Masyarakat "Indonesia", kata Kroef, akan kembali menjadi kumpulan suku yang terserak-serak di ribuan pulau.

Pernyataan Kroef didukung penjelasan Jayashri Deshpande pada 1981 melalui buku Indonesia: The Impossible Dream.

Menurut Deshpande, bertahannya Indonesia sebagai sebuah negara melulu karena campur tangan Amerika Serikat, yang berkepentingan atas sumber daya alam di Indonesia dan (waktu itu) kontestasi Perang Dingin. Tanpa AS, kata Deshpande, Indonesia pasti bubar.

Pasca-tumbangnya Orde Baru, indonesianis Edward Aspinall dan Mark T Berger (2001) memprediksi Indonesia segera pecah akibat proses restrukturisasi politik yang terseok-seok. Menurut Marcus Mietzer (2008), kontestasi kekuasaan yang mengaduk-aduk politik identitas akan berujung perpecahan.

KOMPAS/AMBROSIUS HARTO
Pementasan ketoprak turut mewarnai kegiatan Kemah Kebangsaan di Kedaton Tawangsari, Kedungwaru, Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu (23/2/2019) malam.

Sejarawan Anne Booth (2011) menunjuk pemekaran wilayah administrasi yang marak pada 2000-an sebagai proses bubarnya Indonesia secara perlahan-lahan karena melebarnya jurang kesejahteraan antardaerah. Para peneliti ini melihat Indonesia pasca-Orde Baru akan berakhir seperti Yugoslavia atau Uni Soviet yang bubar di ujung Perang Dingin.

Pada sisi yang lain, keberadaan negara Indonesia juga melahirkan analisis-analisis bernuansa kekaguman. Pada 1971, Duta Besar AS untuk Indonesia Howard Palfrey Jones menerbitkan buku Indonesia: The Possible Dream. Menurut Jones, Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Ikatan sejarah dan budaya merupakan modal persatuan yang kuat.

Sejarawan John Legge (1990) menulis, "Dari semua negara-bangsa di Asia Tenggara yang lahir pasca-Perang Dunia II, Indonesia merupakan bukti kemahiran intelektual para desainernya."

Adrian Vickers menyebut integrasi Indonesia telah merangkul semua perbedaan, meskipun sebagian berdarah-darah. Menurut Anthony Reid (2011), Indonesia lahir melalui periode revolusi yang meletakkan fondasi inti persatuan, menolak kolonialisme dan membongkar feodalisme.

KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA
Kirab Kebangsaan "Berjuta Warna Satu Jiwa Indonesia" dalam rangka haul ke-9 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (23/2/2019).

Begitulah! Existing dan masa depan Indonesia terus diperdebatkan. Bahkan, pada 2015, ahli strategi PW Singer dan August Cole meramalkan Indonesia akan bubar pada 2030, pada 2015 pula ahli ekonomi Hal Hill justru meyakini bahwa pada 2030 itu Indonesia akan menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia.

Sifat "Indonesia"

Yang luput dalam semua perdebatan tersebut adalah jika Indonesia bertahan atau bubar, itu dalam arti apa?

Jika bertahan apakah artinya "Indonesia" sebagai satu institusi kekuasaan yang memiliki sistem ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan itu? Jika bubar, apakah berarti kesatuan semua sistem tersebut buyar dan kembali menjadi kelompok suku bangsa dalam kerajaan atau kesultanan seperti sebelum Proklamasi 1945?

Ketika berbicara tentang "Indonesia", orang cenderung merujuknya sebagai bentuk wadah kelembagaan sistem pemerintahan. Secara hukum formal, wadah ini dikuatkan oleh unsur-unsur tata negara, yaitu rumusan ideologi, konstitusi, dan sistem perundangan-undangan.

Wadah formal negara Indonesia dijaga ketat oleh Tentara Nasional Indonesia dengan seluruh armadanya dan oleh aparat keamanan yang memastikan perlindungan jiwa-raga setiap warga negara. Inilah "Indonesia" dalam sisi makna yang "keras".

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Anggota Skuadron 400 Pusat Penerbangan TNI Angkatan Laut Mayor Sensa berdoa di depan helikopter yang akan diawakinya saat acara penyambutan kedatangan 5 Helikopter Phanter AS 565 MBe anti kapal selam di Base Ops Lanudal Juanda Surabaya di Sidoarjo, Senin (28/1/2019). Kelima helikopter yang baru tiba tersebut melengkapi 11 helikopter sejenis yang dipesan dari PT Dirgantara Indonesia.

Dalam sisi arti yang "keras" itu, ramalan tentang bubarnya Indonesia adalah gagasan yang mengada-ada. Jika "Indonesia" dipahami sebagai wadah formal pemerintahan negara, bubarnya Indonesia berarti bubarnya semua sistem formal yang selama ini jadi "penjaga" negara, yaitu ideologi, sistem perundangan-undangan, TNI/Polri, dan jaringan-jaringan ekonomi politik. Hal itu kemungkinan sangat kecil.

Apalagi penduduk kepulauan ini terkenal sebagai bangsa yang memiliki rasa nasionalisme sangat besar. Mungkin paling heroik di Asia Tenggara. Rasa nasionalisme yang besar dipastikan akan mencegah bubarnya "Indonesia" dalam sisi makna "keras", yaitu sebagai wadah formal pemerintahan negara.

Penduduk kepulauan ini terkenal sebagai bangsa yang memiliki rasa nasionalisme sangat besar.

Meski demikian, "Indonesia" juga memiliki sisi arti "lembut". Dalam sisi ini, "Indonesia" adalah ide, gagasan, semangat dan cita-cita. Dalam arti ini, pertanyaan yang tepat bukan "apa atau siapa itu Indonesia" melainkan "seperti apakah Indonesia itu?" "Indonesia" dalam sisi makna yang lembut berarti "sifat Indonesia".

Perdebatan tentang "bertahan" atau "bubarnya" Indonesia, sayangnya, tidak pernah menyentuh "sifat Indonesia". Telah terbukti bahwa "Indonesia" terus bertahan dan tetap ada sampai sekarang.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Sejumlah peserta melewati Gedung Lawang Sewu, dalam Ngontel Kebangsaan, di Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (23/12/2018).

Namun, apakah "Indonesia" yang bertahan dan ada itu adalah "Indonesia" yang memiliki "sifat Indonesia" sebagaimana dicita-citakan dan digagas dalam semua pemikiran tentang kondisi faktual bangsa-bangsa di kepulauan ini?

Lahirnya "Indonesia" sebagai kesatuan wadah pemerintahan negara adalah buah dari kesepakatan tentang "sifat Indonesia". Artinya, "wadah Indonesia" itu terbentuk karena "sifat Indonesia" yang disepakati bersama.

Jika "wadah Indonesia" itu ada, tetapi "sifat Indonesia" yang melekat padanya tidak lagi seperti yang dicita-citakan, maka itu bukan "Indonesia" yang dulu disepakati untuk ada. Dalam arti ini, sebenarnya "Indonesia" itu telah bubar sifatnya. Yang ada dan tinggal hanya "Indonesia" dalam arti "wadah sistem pemerintahan".

Kata kunci

Untuk menggali lebih jauh, kita dapat menelisik tiga kata kunci yang membentuk "sifat Indonesia". Kata kunci pertama adalah menghormati dan mengakui perbedaan. Dari dimensi apa pun, dulu ataupun sekarang, bangsa-bangsa yang membentuk "Indonesia" ini sangat berbeda-beda. Terbentuknya "Indonesia" dilandasi kesepakatan tentang pengakuan dan penghormatan atas semua dimensi perbedaan itu. Apakah keberagaman masih diakui dan dilindungi oleh negara?

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Drama kolosal tentang pertempuran Palagan Ambarawa memeriahkan peringatan Hari Juang Kartika di Lapangan Jenderal Soedirman, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (15/12/2018). Drama Palagan Ambarawa tersebut mengisahkan kembali tentang perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme kebangsaan.

Saat ini tantangan terbesar dalam "menjaga Indonesia" adalah kuatnya politik identitas. Politik identitas mengoyak ruang publik bukan hanya lewat media sosial, juga melalui produk hukum positif yang terang- terangan dilandasi semangat "peliyanan" (othering).

Laman BBC.com mencatat, misalnya, bahwa sejak 1998 di berbagai wilayah Indonesia telah disahkan 443 peraturan daerah syariah (data 21 Februari 2017, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39033231).

Peraturan daerah syariah kemudian "berbalas" perda injil di daerah-daerah tertentu (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46813787).

Hadirnya perda berbasis hukum agama menunjukkan semakin jauhnya "wadah Indonesia" hari ini dari "sifat Indonesia" yang dulu dicita-citakan. Dulu, saat negara ini didirikan, kesepakatan atas "sifat Indonesia" itu berbunyi "melindungi segenap bangsa Indonesia." Siapa pun dia dan di mana pun dia berada.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Peserta Sekolah Kebangsaan menghiasi wajah mereka dengan stiker merah putih di Tugu Pahlawan, Surabaya, Kamis (25/10/2018). Sekolah Kebangsaan yang diselenggarakan di sejumlah tempat bersejarah di Surabaya itu dilakukan untuk menyambut Hari Pahlawan.

Perda berbasis hukum agama telah meliyankan warga tertentu di suatu daerah yang bukan dari kelompok agama yang diatur di dalam perda itu. Perda berbasis agama jelas tak mencerminkan "sifat Indonesia" dan jauh dari semangat untuk menjadi "Indonesia banget".

Sultan Hamengku Buwono X dalam wawancara dengan Harian Kompas (22/4/2007) mengingatkan bahaya "bubarnya Republik ini" akibat kebijakan-kebijakan yang minus perspektif kebangsaan, antara lain perda berbasis agama.

Kata kunci kedua dari "sifat Indonesia" adalah "sejahtera bersama". "Bersama" maksudnya "bareng-bareng". Cita-cita yang disepakati sebagai "sifat Indonesia" dalam hal ini adalah sosialisme berbasis gotong royong. Artinya, negara tidak boleh memasrahkan kesejahteraan sekelompok warga miskin pada sekelompok warga tertentu yang kaya. Negara harus membuat setiap warga berdaya dan mampu untuk sejahtera secara mandiri.

Negara harus membuat setiap warga berdaya dan mampu untuk sejahtera secara mandiri.

"Sejahtera bersama" dalam konsep sosialisme gotong royong tidak akan terwujud jika kebijakan yang diterapkan berlandaskan teori trickle-down effect. Proyek-proyek besar dan kebijakan strategis yang semata-mata dilandasi penghitungan ekonomi makro adalah contoh skema trickle down.

Kebijakan yang membuat sebagian kecil warga menguasai sebagian besar sumber kekayaan dengan asumsi kekayaannya yang besar akan memberikan penghidupan bagi rakyat banyak adalah contoh lain kebijakan trickle down.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Mal Plaza Indonesia, Jakarta, memeriahkan perayaan hari kemerdekan RI, salah satunya dengan memasang poster yang bertema kebangsaan.

Seolah-olah sejahteranya rakyat banyak itu sekadar efek remah-remah atau klepretan dari kekayaan segelintir warga. Model ekonomi trickle down effect jelas bukan "sifat Indonesia" yang dulu disepakati dalam cita-cita kesejahteraan bersama negeri ini.

Kata kunci ketiga dari "sifat Indonesia" adalah berdaulat. Sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa kedaulatan merupakan prasyarat mutlak terbentuknya "Indonesia".

Pembangunan besar-besaran jalan raya, jembatan, jalur kereta api, ribuan sekolah, dan pusat kesehatan masyarakat oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-20 telah menstimulasi kemajuan dan modernisasi masyarakat. Namun, efek kemajuan itu bagi rakyat hanya bersifat klepretan.

Baca juga : Menuju Jalan Tol 4.0

Infrastruktur menciptakan peluang mobilitas vertikal dan kemakmuran hanya bagi usaha "orang-orang besar", yang waktu itu kebanyakan berbangsa Eropa. Meskipun infrastruktur-infrastruktur modern itu secara fisik ada di depan mata rakyat setiap hari, tetapi rakyat hanya dapat menikmati kemajuan-kemajuan itu dari remah- remah keuntungan yang jatuh dari "meja tuannya".

KOMPAS/EDDY HASBY
Ruas jalan tol Batang-Semarang di kilometer 335+200 terlihat dari ketinggian di sekitar dikawasan PLTU Batang, Jawa Tengah, Senin (17/12/2018).

Para nasionalis Indonesia tidak mau sekadar menjadi maju dan modern. Bahkan, ketika pemerintah kolonial menawarkan otonomi untuk meredam gerakan perlawanan yang semakin luas, kaum nasionalis tetap menuntut kedaulatan. Hanya dengan kedaulatan ada kemerdekaan sejati.

Jadi, menjadi maju, modern dan mandiri itu tidak cukup. "Sifat Indonesia" yang mau diwujudkan adalah maju dan mandiri secara berdaulat. Berdaulat artinya memiliki daya sepenuhnya untuk menentukan sendiri cara mencapai dan memanfaatkan kemajuan demi kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini pernyataan yang sesuai "sifat Indonesia" bukan "NKRI harga mati", melainkan "kedaulatan harga mati".

Akhirnya, harus dikatakan, perkara "bertahan" atau "bubarnya" Indonesia terlalu sederhana jika ditempatkan hanya dalam konteks kampanye pertarungan kekuasaan. Sebab, yang terjadi kemudian sekadar olok-olok "Indonesia bubar", lalu dijawab "bubar saja sendiri jangan ajak-ajak".

Perkara "bertahan" atau "bubarnya" Indonesia membutuhkan pemikiran kenegarawanan yang, sayangnya, semakin sulit dijumpai dewasa ini.

Agus Suwignyo Pedagog cum Sejarawan Pendidikan Fakultas Ilmu Budaya UGM

Kompas, 13 Maret 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger