Kendati bermutu, persilangan itu terlalu singkat. Ia menuntut elaborasi, terutama menyangkut dalamnya kekecewaan atas petahana dan tebalnya penolakan pada penantang.
Di sini kita terhela ke wilayah ambiguitas akibat benturan dua posisi yang sama-sama bajik, benar, dan berbobot. Kita berhadapan dengan ihwal hierarki, bukan antinomi. Maka penilaian salah- benar sulit diperlakukan. Untuk keluar dari dan mengatasi ambiguitas harkat setiap posisi, kita harus pertama-tama menerangi dan menyianginya, lalu menatap ke horizon politik—horison keadaban publik—dalam arti sesubstantif mungkin menurut konteks sejarah kita.
Perspektif moral
Kita bersyukur negara-bangsa kita tegak pada sistem demokrasi dalam keberagaman kental. Di situ selalu tersedia ruang lapang bagi deliberasi politik di mana segala yang ambigu bisa dibedah. "Politik, pada sisi terbaiknya," tulis William Connolly (1987), "adalah medium di mana ambiguitas-ambiguitas esensial bisa dibuka dan dibenahi." Tapi, harus segera ditambahkan tugas terpenting politik tak lain menemukan, mendaki, dan menekuni jenjang kebajikan di tengah keniscayaan keberagaman.
Menyiangi dan menerangi ambiguitas, selain tentu membongkar kebodohan laten, adalah salah satu jalan menuju keterpampangan pada medan kebajikan substantif yang jauh lebih luas dan tinggi. Itulah preokupasi utama para filsuf politik besar sepanjang zaman, sejak Aristoteles, Marx, Nietzsche, Arendt, hingga Rawls. Kita tahu sebagaimana halnya di ranah iman terdapat veils of darkness, di ranah politik terdapat veils of ignorance. Tugas kita pertama sekali adalah menguak tabir-tabir kegelapan dan kedaifan itu agar bisa menapak jalan yang kita sebut "dialektika akal budi".
Romo Magnis (RM) (Kompas, 12/3) menegaskan, hanya ada tiga kemungkinan penilaian atas seorang golput, "Bodoh; berwatak benalu; atau secara mental tak stabil, seorang psycho-freak." Kata-kata yang keras, vindictive, dan seperti tak lahir dari seorang empu filsafat. Tapi, memang begitulah tujuan risalah singkat itu ditulis. Mungkin terutama dalam pilpres ini, bagi RM tak ada ruang bagi sikap "abstain" dan/atau indecision. "Tak ikut memilih karena tak ada calon yang betul-betul sesuai cita-cita Anda adalah, maaf, tanda kebodohan." "Dalam suatu demokrasi kita wajib memberikan bagian kita." "Bukan wajib secara hukum, melainkan wajib secara moral."
Haris Azhar (HA) memilih menjadi golput dan keberatan terhadap simplifikasi bahwa siapa pun yang tak ikut memilih tak bermoral. Pemerintahan Jokowi memang tak termasuk dalam puluhan tahun siklus pelanggaran HAM berat di Tanah Air. Tapi, di sepanjang hampir lima tahun terakhir, pemerintahannya pun ditandai kesan ketakpedulian dalam keniscayaan menyelesaikan kasus HAM, jangankan yang dari masa puluhan tahun silam, yang di bawah hidung, seperti kasus Novel Baswedan, juga. Jokowi pun dinilai tak lolos dari ujian pembelaan terhadap sejumlah minoritas. Ini senegatif sikap komplisitasnya dalam politisasi agama meski by detour, secara tak langsung.
Justru dalam perspektif moral-lah, laku melanggar, laku membiarkan, dan laku tak peduli pelanggaran HAM serta laku ketundukan pada diktasi tirani mayoritas praktis sama buruknya. Seperti Munir, HA pun tegak di atas pemihakan mendasar kepada segenap korban pelanggaran HAM. Baginya, memilih golput justru merupakan penegasan sikap moral dan tanggung jawab.
Maka, dapat disimpulkan pemakaian pertimbangan moral sebagai bagian dalam rangkaian argumen RM menolak golput, khususnya dalam versi HA, tidaklah tepat. Bisa juga dikatakan posisi moral kegolputan HA melampaui posisi moral RM dalam penolakan terhadap golput. Posisi RM baru berpeluang terbebas dari "kelemahan" andaikata ia benar-benar "menulis dengan jelas" atau memberikan penjelasan singkat tentang mengapa "kedua capres sekarang jelas tak sama", terutama dengan menyingkap taruhan-taruhan politik ultimat yang bisa mentransendenkan pokok-pokok argumen perdebatan awal. Namun, itu tentu takkan kita temukan dalam suatu risalah singkat. Posisi RM juga baru berpeluang lebih kuat jika yang dinilai bukan hanya kedua capres per se, melainkan kedua capres beserta segenap gerbong kompleksitas ikatan yang menggayuti.
Dua taruhan politik
Dari nalar di atas, bisa dikatakan posisi HA yang semata-mata bertumpu pada pertimbangan moral juga kurang tepat. Sebab, besaran plus kompleksitas risiko yang kita hadapi di Pilpres 2019 sungguh bersifat lintas dimensi dan dengan skala risiko buruk yang bisa berlipat ganda dengan batas-batas jangkauan yang sulit diperkirakan—suatu persimpangan yang bisa bersifat radikal antagonistik. Mungkin persimpangan ini yang mengisi benak RM. Dengan kata lain, ada taruhan politik raksasa yang luput dari perhatian HA, tetapi tak diungkapkan terbuka oleh RM.
Mari kita masuki rentang skala persoalan lewat pendekatan genealogis dan dari situ berupaya mentransendenkan masalah. Saat ini bangsa kita sedang berhadapan dengan dua taruhan politik terbesar—dua taruhan politik yang akan membuat daya gugah rasionale kegolputan HA berkurang. Pertama, kita tahu, pada 20 Mei 1998 tak ada pergantian rezim. Bukan saja Soeharto lengser tanpa pertanggungjawaban pemerintahan, orang kedua Orde Baru justru jadi orang pertama era Reformasi. Maka, sirnalah peluang bagi penerapan transitional justice dan berlaku luaslah impunitas.
Dampak ikutannya ialah berlakunya tarik tambang politik (political tug of war) antara Barisan Reformasi dan Barisan Orde Baru. Negara-bangsa kita seperti dipatok terus berjalan terkunci dalam kelimbungan, perbauran, dan pertandingan antara korpus kenistaan rezim yang membusuk dan korpus kebajikan yang baru berkecambah ibarat tulah tak kenal akhir. Hampir semua kasus kekecewaan kepada Jokowi dari pendukung kuatnya di 2014 sejatinya terpulang pada fait accompli tarik tambang, termasuk akibat penularan pembusukan di tubuh lembaga-lembaga penegak hukum lantaran dimuliakannya impunitas akibat moda lengser Soeharto.
Dari ketiga rezim sebelum Reformasi, Orde Baru-lah yang de facto tersimpul sebagai pembawa maha malapetaka multidimensional bukan hanya atas seluruh bangsa kita, melainkan juga atas segenap sendi politik dan kenegaraan. Genosida Indonesia adalah yang terparah setelah Holocaust Nazi. Dan, sebagaimana dinyatakan John Bresnan (1999), kehancuran ekonomi Indonesia tak bertara sejak Malaise 1930-an. Kini, dengan Pilpres 2019, bangsa kita tergiring ke peluang berakhirnya dua dekade masa tarik tambang Reformasi-Orde
Baru. Kita sedang tegak persis di garis batas—titik di mana situasi tarik tambang bisa berlalu seketika dan negara- bangsa kita bisa kembali direnggut penuh oleh "Bablasan Orde Baru".
Kedua, taruhan politik yang jelas lebih buruk dan celakanya lagi-lagi bersenyawa dengan Orde Baru. Sejak 2016, pada sebagian umat Islam telah terjadi pengorakan masif, sistematis, dan terencana dari politik identitas yang mendaku kebenaran mutlak dalam beragama serta menyebarkan kebencian ke segala arah, termasuk ke internal umat Islam sendiri. Analogi dengan Orde Baru Soeharto jelas. Kita ingat betapa Ali Murtopo dulu memanfaatkan elemen- elemen garis keras di kalangan Muslim demi melanggengkan Orde Baru.
Aneka studi di Tanah Air menunjukkan bahwa proses radikalisasi Islam telah dimulai dua-tiga dekade lalu, bahkan resmi lewat sekolah-sekolah negeri tingkat menengah. Pada semua ini turut bekerja aliran dana dan diktasi pihak/ negara asing. Dalam tayangan GPS di CNN (7/4), Fareed Zakaria menyebut seorang tokoh 212 sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Arab Saudi dalam penyebaran ajaran Islam Wahabi di negeri kita. Semacam Talibanisasi. Karen Armstrong pernah membongkar gejala dan pelaku yang sama di negeri-negeri Muslim lain dengan negara pelaku sama. Dan, kita tahu betapa besar kehancuran politik yang ditimbulkan. Ajaran Islam sejuk lapang yang umumnya menandai kehidupan bangsa kita hingga beratus tahun ke masa silam dicampakkan, digantikan oleh ajaran sewenang-wenang sempit budi yang memutlakkan kebenarannya sendiri.
Termasuk dalam barisan paham Islam intoleran ini mereka yang terang- terangan hendak mengganti himpunan fondasi politik luhur tempat Republik kita tegak. HTI yang diperkirakan tetap aktif di bawah tanah adalah salah satu pentolannya. Dalam The Challenge of Fundamentalism (1998), Bassam Tibi menyatakan, yang pertama sekali hendak dihancurkan oleh kalangan Muslim intoleran tak lain adalah negara-bangsa dan/atau negara-demokrasi, yang mereka pandang sebagai produk sesat Barat. Mereka memanfaatkan setiap agenda demokrasi dan kebangsaan untuk mengeroposkan keduanya dari dalam.
Kebangsaan dan demokrasi adalah dua produk akal budi cemerlang dari zaman modern. Bung Karno memberi kita versi paham kebangsaan terpuji, yaitu seperti "lapang dan luasnya udara". Para Bapak Bangsa juga memberi kita rumusan demokrasi yang jitu "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan," bukan yang digiring paksa dengan mobilisasi identitas.
Kebijaksanaan moral
Dalam Pilpres 2019, akal budi menuntut kita meninggalkan aneka pertimbangan sempit demi meraih dan/atau menjangkau milestones dari kebajikan- kebajikan substantif seluas dan semulia mungkin. Ia mengimbau kita untuk mewaspadai hierarki kenistaan dan menjunjung hierarki kebajikan atas dasar pemahaman akan himpunan fondasi negara-bangsa kita, termasuk dialektika perkembangan sejarahnya hingga kini.
Akal budi menuntun kita untuk kapan saja mewaspadai perangkap progresi dan perangkap regresi politik dalam Pilpres 2019. Kita wajib mewaspadai segala tipu daya yang memberhalakan modal dan yang merayakan kaum oligark, sama seperti kita wajib mewaspadai politik pemaksaan identitas serta segala khayalan konyol perihal kekhilafahan.
Di sini pilihan kita tak lagi didasarkan melulu pada merit pribadi seorang capres, melainkan dari hitungan kebijaksanaan yang sanggup membaca kaitannya dengan aneka kondisi, koneksi, dinamik, dialektik, dan perangkapnya bagi kehidupan politik bangsa kita. Dalam menyongsong Pilpres 2019 kita harus bisa memastikan keterjaminan kesetaraan dalam keberagaman, keteguhan ber-Pancasila, dan kelestarian bernegara-bangsa serta bernegara-demokrasi.
Pada titik inilah kita melintasi ranah moral wisdom tempat HA dan RM sama-sama bertumpu dan memasuki ranah yang disebut Aristoteles, practical wisdom. Kebijaksanaan lugas (practical wisdom) berada di seberang dan di atas kebijaksanaan moral (moral wisdom). Ia kebijaksanaan yang bisa holistik-intuitif menangkap totalitas kebajikan (overall virtues). Di sini moralitas ditransendenkan oleh virtue atau kebajikan dalam arti seluas-luasnya menurut dialektika sejarah politik negara-bangsa kita.
Dalam proses transendensi itulah "tabir kegelapan" dan/atau "tabir kedaifan" terkuak. Tegak semata pada pembelaan atas mereka yang dilanggar HAM-nya atau pada kemuakan terhadap percumbuan dengan tirani mayoritas atau lantaran kekecewaan pada capres yang semula dipuja (dan karena itu memilih menjadi golput) bisa merupakan tabir kedaifan yang berisiko membuat kita abai pada bahaya perluasan eksponensial dari potensi pelanggaran HAM plus persekusi aneka minoritas lantaran penolakan kita untuk memilih. Pertimbangan kebijaksanaan moral hanya melihat satu dimensi. Pertimbangan kebijaksanaan lugas melihat kebajikan dalam aneka dimensi. Pertimbangan kebijaksanaan moral mementingkan konsumsi moralitas dalam kehidupan demokrasi-bangsa. Pertimbangan kebajikan lugas mementingkan konsumsi totalitas cita-cita luhur dalam keterjaminan kelangsungan demokrasi-bangsa.
Kita meyakini bukan hanya bahwa prinsip kebangsaan dan prinsip demokrasi sama-sama mutlak di zaman modern, melainkan juga bahwa yang satu mustahil tegak berharkat tanpa yang lainnya. Demokrasi Terpimpin mencampakkan demokrasi dan membuka jalan bagi Orde Baru untuk mencampakkan baik bangunan demokrasi maupun bangunan kebangsaan. Di balik tipuan retorika mereka, persis itu pulalah kehendak kalangan fundamentalis agama pengorak politik identitas.
Tulisan ini hanyalah satu versi kebenaran menurut kumulasi dan/atau jenjang-jenjang akal budi yang mendasarinya. Ia sama sekali tak mengklaim kebenaran mutlak, yang pasti mustahil dimiliki manusia mana pun. Ia hanyalah produk dari upaya pengerahan akal budi maksimal untuk berwasiat-wasiat dengan kebenaran, yang keniscayaan keterbatasannya mewajibkan kita untuk juga berwasiat-wasiat dengan kesabaran. Dengan kedua wasiat itu, kita sebaiknya tetap terpanggil untuk memilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar