dream of mine to galvanize the
essential human element of
medical practice.

Eric Topol

Mimpi itu ditulis Dr Eric Topol di bukunya, Deep Medicine (Basic Books, 2019). Topol bukan sembarang dokter. Ia adalah pakar medis terkemuka dalam bidang kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Ia mengingatkan tenaga medis untuk tidak gegabah memanfaatkan teknologi tanpa menelaah kondisi klinis pasien. Topol mengutip William Osler, bapak kedokteran modern, yang mengatakan, "Dengarkan pasienmu, ia sedang memberi tahu kepadamu tentang diagnosis penyakitnya."

Ironisnya, Topol sendiri justru  menjadi pasien yang terabaikan dalam pelayanan medis. Topol, Direktur Scripps Research Translational Institute di La Jolla, California, mengalami komplikasi berkepanjangan pasca-operasi ganti lutut lantaran sang ahli bedah tulang yang mengoperasi abai memperhatikan riwayat dasar penyakit sendi osteochondritis yang ia derita. Alih-alih mendapat penanganan yang tepat, Topol malah diminta untuk minum obat antidepresi. Topol tak habis pikir mengapa ia menjadi "korban", padahal ia adalah "orang  dalam".

Kesehatan dangkal

Topol tidak sendirian. Ia mewakili  banyak pasien di Amerika (dan mungkin di dunia) yang mendapat pelayanan medis tidak semestinya karena sang dokter tidak menjalin relasi empati kepada pasien yang sedang menderita. Ia menyebut sebagai pendangkalan pelayanan medis (shallow medicine) terhadap gerakan reflektif  dokter yang tergesa memanfaatkan dan memercayai interpretasi teknologi diagnostik tanpa telaah keadaan klinis pasien. Hal itu dapat  memicu persoalan kesehatan serius dan membengkaknya biaya kesehatan.

Singh dan kawan-kawan, pada 2014 setelah menelaah tiga studi besar, menyimpulkan, ada  12 juta kesalahan diagnosis bermakna per tahun di Amerika. Smith-Bindman pada jurnal kedokteran terkemuka, JAMA (2018), mengestimasi 30-50 persen dari 80 juta pemeriksaan CT scan di Amerika sebenarnya tidak diperlukan.

Tes rutin mamografi untuk deteksi kanker payudara pada wanita usia 50 tahun  di Amerika menghabiskan biaya tak kurang dari 10 miliar dollar per tahun. Kesalahan hasil tes ini akan membuat pasien menjalani berbagai prosedur yang tidak perlu, termasuk biopsi, operasi, radiasi, hingga kemoterapi. Harga kesalahan yang tak terperikan adalah ketakutan dan kecemasan pasien atas sesuatu diagnosis dan terapi yang tidak semestinya.

Ikatan ahli bedah saluran kemih di Amerika tidak merekomendasi pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen) sebagai  tes penapis rutin kanker prostat, tetapi realitas memperlihatkan , tak  kurang dari 30 juta orang Amerika menjalani PSA yang sebagian besar sebenarnya tidak butuh dan sebagian lagi akhirnya harus menjalani biopsi karena hasil positif palsu.

Pelayanan kardiovaskular pun menghadapi hal yang sama. Tindakan kateterisasi jantung dan prosedur intervensi jantung termasuk pemasangan stent  yang tidak terindikasikan telah terlaporkan dalam berbagai studi.

Di Indonesia, sepanjang pengetahuan penulis belum ada pemaparan penelitian ke publik  terkait kesalahan diagnosis atau pemeriksaan kesehatan yang sebenarnya  tidak perlu, berikut dampaknya terhadap keselamatan pasien dan beban biaya kesehatan. Jika studi dilakukan, mungkin kita terkaget-kaget.

Kita hanya mendengar "perselisihan" pihak BPJS dengan berbagai asosiasi profesi medis terkait kepentingan diagnostik dan intervensi medis yang berbiaya tinggi. Kita juga  membaca ketidaksetujuan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terhadap kontroversi prosedur invasif "cuci otak" berbiaya puluhan juta kepada  banyak pasien.

Kesehatan mendalam

Problem pendangkalan pelayanan kesehatan, menurut Topol, akan teratasi oleh pelayanan kedokteran mendalam (deep medicine). Terdapat tiga komponen utama pelayanan kedokteran ini, yaitu  deep phenotypingdeep learning, dan
deep empathy and connection.

Dua hal pertama berkaitan dengan kecerdasan buatan. Pada deep phenotyping, teknologi kecerdasan buatan mampu menyisir problem penyakit hingga skala keunikan individu, termasuk tingkat genetik dan respons genetik terhadap terapi.

Dalam hal deep learning, maka  mesin komputer dengan  arsitektur jaringan saraf tiruan yang berlapis (deep neural network) dapat memproses beragam jenis data medis besar  dan menginterpretasi dengan kemampuan yang melebihi pakar terkemuka.

Penerapan kecerdasan buatan dalam pelayanan medis telah  terbukti meningkatkan presisi dan akurasi diagnosis serta terapeutik berbagai penyakit, baik kanker, abnormalitas irama jantung, maupun gangguan penyakit mata dan gangguan genetik. Kecerdasan buatan juga memiliki ketepatan tinggi dalam menganalisis hasil rontgen, CT scan, dan sayatan tipis jaringan tubuh. Tak seperti dokter manusia yang bisa lelah, memiliki hari-hari buruk, kesulitan konsentrasi akibat gangguan tidur, maka mesin kecerdasan buatan bisa bekerja 24/7 tanpa henti dan tak mengeluh.

Mesin  kecerdasan buatan mampu mencatat dan menginterpretasi data digital medis dengan akurasi tinggi. Bukan itu saja, mesin kecerdasan buatan juga mampu berperan sebagai The Virtual Medical Assistant yang dapat mengenali suara dan berkomunikasi serta memutuskan apa yang harus dilakukan dan kapan melakukannya.

Dokter tak sibuk lagi mengetik dan melihat layar komputer untuk mengisi rekam medis elektrik (electronic health record systems/EHRS) ketimbang menatap pasien. Ia memiliki waktu lebih leluasa untuk hadir menjalin hubungan dengan pasien dengan mengenali perasaan terdalam, berempati dan berinteraksi dengan pasien (deep empathy and connection).

Pada 2018, Institute for Public Policy Research memublikasi laporan panjang berjudul "Better Health Care for All", memproyeksikan  bahwa kecerdasan buatan berperan dalam menghemat waktu dokter hingga 25 persen.

Iklan komputer IBM-Watson  berteknologi kecerdasan buatan memajang seorang wanita cantik berjas putih dokter yang berdiri sambil mengatakan, "Saya dapat membaca 5.000 penelitian terbaru medis per hari dan masih punya waktu mengunjungi pasien."

Sejumlah pusat kesehatan terkemuka dunia di Amerika, Inggris, Kanada, Eropa, China, termasuk India, telah menggunakan kecerdasan buatan dalam  pelayanan medis mereka. Inggris bahkan mulai memanfaatkannya dalam sistem pelayanan kesehatan nasional mereka, yaitu National Heart Service (NHS).

Revolusi Industri 4.0 yang tengah dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia perlu selekasnya menyentuh bidang medis. Kita tidak ingin triliunan rupiah keluar dari kantong BPJS hanya memperkuat pendangkalan pelayanan medis.

Transformasi  pelayanan medis masa depan melalui kecerdasan buatan tidak hanya mereduksi kesalahan medis, tetapi juga akan meneguhkan  relasi erat dokter dan pasien.