Dungu sebagai pelabelan yang dinyatakan di depan umum dianggap masalah oleh khalayak karena bahasa Indonesia adalah bagian dari pandangan-dunia dan titik-pandang masyarakat Indonesia yang bukan hanya tak memisahkan, melainkan juga bahkan tak membedakan, penilaian terhadap orang dan tindaknya.
Pandangan-dunia—dipopulerkan Sukarno dalam istilah Jerman: Weltanschauung—yang umum dianut masyarakat Nusantara tersirat dan teringkas di dalam istilah tunggal yang menggabungkan dua makna eksistensial: perilaku. Pandangan-dunia itu tidak membedakan budi bahasa atau tindak umum atau peri seseorang selama suatu masa yang panjang dalam hidupnya—bisa dinamai jatidiri atau karakter—dengan kata atau tindak atau laku tertentu seseorang yang bersifat sesaat.
Peri bersifat langgeng, terdiri dari laku konsisten, walaupun kadang ditingkahi kekecualian dan kekhilafan. Filsuf Will Durant memadatkannya dalam kalimat bernas: We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit,yang kira-kira berarti: Kita adalah apa yang selalu kita lakukan. Dengan demikian, yang terbaik dari kita bukanlah satu tindakan, melainkan satu kebiasaan. Sedangkan laku sesaat itu, apabila berbeda dari peri seseorang, bisa disebut anomali atau kekhilafan.
Misal ekstrem dari titik-pandang yang tidak membedakan peri dan laku: si Anu seumur hidup melayani orang banyak, sekali waktu berucap "brengsek". Reaksi umum: "Wah, penista! Penjarakan dia!" Si Ano 20 tahun hidup sebagai preman gentayangan. Suatu siang memberi sedekah. Reaksi am: "Aduh, baiknya! Jadikan pemimpin kita!"
Dalam jargon sok filosofis, bisa dikatakan bahwa bagi Indonesia, dungu adalah pernyataan yang mengarah pada form, bukan matter; pada noumenon, bukanfenomenon (Kant). Atau, dalam filsafat tradisional noneksistensialisme, padaesensi bukan eksistensi.
Dalam tataran praktis, dungu selalu (dianggap) dilabelkan pada orang atau pada orang dan tindak sekaligus, tak pernah pada tindak saja. Itu sebab, bagi kita, dungu adalah selalu eksklamasi, tak pernah deskripsi; cacian. bukan ucapan; penistaan, bukan penyebutan.
Tak pernah netral, dungu adalah penghinaan dan selalu dianggap penghinaan. Menyatakan tindak seseorang dungu sama dan identik dengan mengata-ngatai orang itu dungu. Jauhlah pandangan-dunia ini dari alam filsafat Barat yang memungkinkan seri bukuIdiot's Guides dan For Dummies laris manis.
Begitu pula bohong selalu melekat pada orang, bukan kata, data, atau fakta. Ketika fiksi dianggap bohong, bukan hanya penyusunan kata-katanya secara harfiah dianggap tidak sesuai dengan realitas, intisarinya pun dianggap bohong. Bahkan, fiksi dianggap "kesengajaan" berbohong, diciptakan untuk menyebarkan kebohongan, hanya terdiri dari kebohongan, dan tidak lain daripada kebohongan. Namun, ini adalah gambaran dan hakikat hoaks. Fiksi lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar