Teman saya, Dr Todung Mulya Lubis dan Prof Hikmanto Juwana, tiba-tiba bertanya kepada saya: "Layakkah penggabungan kedua kementerian itu?" Saya tukas: "Sangat layak". Pendapat saya tampaknya tak membuat mereka berkenan. Saya urai sedikit kesesuaian latar belakang hubungan substansial materi yang ditangani kedua lembaga. Perihal bahwa sumber daya hutan (SDH) adalah inti lingkungan hidup. Tentunya hal itu membuat orang awam menjadi bingung dalam menangkap hakikat permasalahan tersebut.

Institusi kehutanan dibentuk untuk mengelola ekosistem lingkungan (hidup). Hutan adalah sekumpulan (jenis) pohon dengan berbagai asosiasinya yang hidup, ataupun benda mati dan berbagai fungsi kehidupannya. SDH adalah sebuah sistem ekologi yang merupakan supporting system bagi kehidupan, "inti lingkungan hidup". Itu bahkan semestinya termasuk asosiasi sistem ekologi di bawah laut seluas 220 juta hektar yang pada 1988 saya sebut Wana Bahari. Maka melihat hubungan kasualistik itu, pernyataan agar tak ada dikotomi antara Kehutanan dan Lingkungan Hidup (Kompas, 29/10/2014) seharusnya memang tidak perlu.

Penggabungan kedua kementerian menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2014 menimbulkan reaksi yang sangat mendalam. Bahkan, sampai soal nama kementerian itu, siapa yang seharusnya di depan, "K" atau "LH". Rimbawan merasa resah, meski dalam praktiknya berangsur-angsur sebagian mulai menyatu dan "menerima". Yang tak termanifestasikan adalah rasa kecewa bahwa kementerian strategik-profesional itu jatuh ke tangan partai politik, hampir dua dekade terus-menerus, sampai saat ini.

Mengapa jadi dikotomi?

Meski tak memperoleh cukup perhatian pada debat capres 2019-2024, prinsipnya penggabungan kedua kementerian seharusnya tak jadi masalah. Sebab, memang kehutanan selayaknya mengurus lingkungan. Pandangan bahwa kehutanan hanya mengurus, apalagi menguras kayu, sangat tak benar, meski pada praktiknya itu yang terjadi. Namun, itu pun terjadi karena aspek ekonomi pemanfaatan nilai-nilai lingkungan adalah salah satu pilar fungsi hutan, antara lain untuk mendukung aktivitas konservasi, sosial, dan pembangunan.

Dengan sebutan Kementerian Kehutanan saja semestinya lembaga ini sudah termasuk mengurus masalah lingkungan. Persoalannya, masalah lingkungan yang diawali pengurusannya bersama masalah kependudukan (1980-an) telah melebar, menyangkut derivasi keterancaman lingkungan hidup. Sementara kehutanan tetap berfungsi sejati mengelola ekosistem, mengendalikan bencana dan tata air, konservasi alam hayati, melindungi diversitas fauna-flora langka dan plasma nutfah, mengurusi masyarakat di sekitar hutan. Fokus kerja masing-masing terasa terpisah.

Perkembangan dinamika kehidupan memang layak menyebabkan pelebaran fokus kegiatan. Pengurusan lingkungan pun melampaui batas-batas definisi ekosistem. Di luar masalah pemanasan global yang masih terkait aktivitas hutan, masalah limbah industri, sampah, pencemaran udara sampai persoalan kebisingan merupakan pemahaman lingkup lingkungan hidup yang mengakibatkan layak adanya dikotomi antara mengurus hutan dan mengurus lingkungan hidup.

Memisahkan  pengelolaan hulu dan hilir kehutanan

Tahun 2019 ini pikiran menyangkut KLHK yang menggabungkan dua fungsi besar pengelolaan hutan kembali mencuat. Menangani kehutanan yang mahaluas dan open access, penuh kompleksitas masalah tenurial, perambahan lahan, penjarahan hasil hutan, kebakaran dan asap, bencana banjir dan erosi, penataan konservasi alam dan biodiversitas, sampai masalah-masalah kependudukan di daerah jauh jangkauan semakin tidak mudah.

Masalah akut khususnya tekanan terhadap hutan baik secara komersial ataupun politik juga sangat berat bagi para pengelola hutan. Apalagi jika masih dibebani mengurus lingkungan hidup yang kian berkembang persoalannya, seperti masalah plastik, zat beracun dan lainnya. Perlu profesionalisme dan kepemimpinan kuat, bahkan bersih kepentingan, jika menghendaki sumber daya hutan lestari dan bermanfaat. Di samping itu disadari, penggabungan dua kementerian yang mencirikan orientasi hulu (kehutanan) dan hilir (lingkungan hidup) telah menyebabkan kerumitan tersendiri. Bahkan, berkembang bagaikan mencampur "air dan minyak".

Jika tetap memaksa mempertahankan penggabungan fungsi hulu-hilir pengelolaan kehutanan, secara integratif harus ditata ulang tugas dan fungsi KLHK secara sistematik dengan mempertimbangkan tugas-tugas kementerian lain yang searah. Tak ditutup kemungkinan ada tugas KLHK yang dipangkas masuk ke kementerian lain seperti masalah limbah beracun dan polusi udara. Namun, juga tak ditutup kemungkinan ditetapkannya KLHK yang bertanggung jawab soal perlindungan dan konservasi alam untuk memimpin misi awal pengaturan ruang daratan sebelum dilaksanakan badan lain.

Namun. masalah penggabungan "LH" dan "K" ini tampak kian sulit diteruskan berkait dengan kesulitan menerpadukan fungsi tugas dan sistem karier yang berkembang di setiap kementerian sejak lama. Dalam posisi ragu, tujuan pencapaian sasaran KLHK-pun jadi tak fokus. Dipisahkannya kembali pengelolaan kehutanan dan pengelolaan lingkungan hidup tampaknya lebih menjadi pilihan. Persoalannya pun bisa sangat sederhana, yakni memisahkan antara fungsi dan tugas pengelolaan di hulu dengan di hilir. Kehutanan akan melakukan kegiatan pokok perlindungan SDH dan ekosistem alam lingkungan, penataan fungsi ruang, dan pengendalian sebab-akibatnya. Sementara yang bersifat derivatif dan penanganan pengaruh negatifnya di kegiatan hilir dilakukan oleh lembaga lingkungan hidup. Bahkan, pemanasan global yang jadi dampak aktivitas manusia sebaiknya bisa diurusi lembaga "LH".

Pengaturan pengorganisasian dan penataan karier personel setiap kementerian juga akan jadi lebih mudah. Jika pada 2014 terdapat 13 eselon I pada eks Kementerian LH, dan 12 eselon I di eks Kementerian Kehutanan, ini akan diperas dalam satu kementerian. Pada 2019 ini, keputusan politik pemerintahan baru diharapkan dapat menata kembali tugas pengelolaan kehutanan dan lingkungan hidup berdasarkan kesesuaian dengan fungsi dan kapabilitasnya yang tepat.