Keseriusan Korut kembali dipertanyakan setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korut Kim Jong Un gagal mencapai kesepakatan tentang kepastian proses denuklirisasi pada konferensi tingkat tinggi (KTT) di Hanoi, Vietnam, Februari lalu. Semula masyarakat dunia mengharapkan KTT pertama AS-Korut pada Juni 2018 di Singapura akan menghasilkan kesepakatan penting dalam mengakhiri program senjata nuklir Korut.

Pertemuan itu tidak hanya dinilai penting dalam upaya mengakhiri permusuhan kedua negara, tetapi sekaligus dipandang dapat membuka jalan bagi proses denuklirisasi di Semenanjung Korea. Kedua negara memang bermusuhan sejak Perang Korea 1951-1953 karena AS mendukung Korea Selatan. Korut didukung Uni Soviet. Ketegangan hubungan bertambah karena Korut mengembangkan persenjataan nuklir.

Kondisi hubungan memburuk karena AS serta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjatuhkan sanksi ekonomi dan militer kepada Korut. AS dan sekutunya menegaskan akan mencabut total sanksi jika Korut menghentikan seluruh program nuklirnya. Sebaliknya, Jong Un dalam KTT Hanoi hanya menawarkan penutupan pusat nuklir di Kompleks Yongbyon jika sanksi dicabut. Sikap penguasa Korut itu dipandang AS dan dunia internasional sebagai petunjuk negara Stalinis tersebut tidak mempunyai komitmen jelas untuk menghentikan program senjata nuklir.

Tidak ada tanda-tanda Korut akan menghentikan uji coba senjata nuklirnya. Tak mengherankan jika berbagai kalangan mulai merasa terkecoh atas isyarat denuklirisasi yang sempat terlihat pada pertemuan Jong Un dan Trump di Singapura. Tentu sikap penguasa Korut yang tak berubah menimbulkan kecemasan terus-menerus tentang bahaya nuklir sebagai senjata pemusnah massal yang mengancam keamanan dan perdamaian di Semenanjung Korea, Asia, dan dunia.

Tidak habis-habisnya pula negara-negara Barat mempertanyakan mengapa Korut terus mengembangkan program senjata nuklir yang menguras banyak dana dan energi, sementara kesejahteraan rakyatnya terkesan diabaikan. Namun, penguasa Korut sering berdalih, rakyatnya menderita kelaparan dan kekurangan gizi kronis karena embargo ekonomi internasional. Padahal, sumber persoalannya, menurut para pengamat, terletak pada manajemen kekuasaan yang kurang mengutamakan program kesejahteraan rakyat.