Gubernur Jenderal Daendels pada waktu membangun jalan raya Post (Groote Postweg) dari Anyer sampai Panarukan sederhana berpikirnya: bagaimana mengirimkan surat sampai ke alamat dalam waktu 3 kali 24 jam. Untuk itulah, pada 29 Mei 1808 Daendels memulai pembangunan jalan pos tersebut.

Dengan kerja paksa dan melibatkan seluruh aparat desa, maka dalam waktu setahun jalan sudah fungsional digunakan. Dampak dari pembangunan jalan tersebut ternyata sangat luar biasa.

Di sepanjang jalan tersebut muncul permukiman baru dan kemudian berkembang menjadi kota-kota yang menjadi pusat urbanisasi. Masa setelahnya, program tanam paksa pada tahun 1830-an dan pembangunan juga masif dilaksanakan di berbagai bidang, di antaranya membuka jalur kereta api. Jadi, sarana infrastruktur awal telah mempercepat pertumbuhan kawasan ekonomi di kota-kota di Jawa.

Pembangunan jalan raya telah mempercepat proses kotanisasi Pulau Jawa. Pembangunan jalan Anyer-Panarukan pada eranya telah dijadikan tagline arah baru pembangunan di Hindia Belanda. Tagline itu pada masa setelah kemerdekaan diubah menjadi dari Sabang sampai Merauke.

Tanam paksa dan juga pembangunan infrastruktur di Jawa ternyata telah mengubah lanskap alam di Jawa. Banyak tanaman hutan berubah menjadi tanaman industri perkebunan. Ada teh, tebu, dan kopi.

Perubahan lanskap Pulau Jawa ini tentu telah mengubah pula daya tahan dan kerentanan tanahnya. Contoh yang paling sederhana adalah daya tahan terhadap air. Kondisi ini pernah dilukiskan oleh sang maestro lukis Raden Saleh dengan judul lukisan "Watersnood op Midden Java" atau banjir di Jawa Tengah. Lukisan itu dikirim dari Batavia ke Belanda tahun 1862 dan kemungkinan ditempatkan di koleksi seni Huis van Oranje Nassau.

Namun, kini lukisan itu tidak diketahui siapa kolektornya. Warner Kraus, penulis buku Raden Saleh, memperoleh gambar tersebut dari foto lukisan tua dalam koleksi foto Koninklijk Instituut voor de Tropen di Amsterdam.

Lukisan itu menggambarkan drama hidup dan mati dari 17 orang yang putus asa dan saling berpegangan tangan satu sama lain dan memeluk erat  barang bawaan mereka. Di latar depan terdapat mayat seorang perempuan muda yang mengambang dan selanjutnya sisa orang di kelompok yang dalam ancaman maut itu mungkin menunggu nasib. Di atap paling atas muncul harapan, ada seorang laki-laki dan perempuan, memandang sebuah perahu menerobos jalan melalui air pasang. Mereka gelisah dan berbicara sambil menggerakkan tangan meminta bantuan.

Itu adalah narasi dari sebuah lukisan yang dibuat oleh Raden Saleh tentang banjir di Banyumas, Jawa Tengah, yang dibuat sekitar tahun 1860-an. Lukisan hasil karya seniman bisa saja dibuat karena imajinasi, tetapi bisa juga karena pengalaman kehidupan sehari-hari.

Jawa yang berkelanjutan

Kini ketika pembangunan secara masif dilakukan oleh pemerintah dengan pemerataan pendanaan dari desa-desa yang tersebar ke seluruh Indonesia, perlu mitigasi terhadap potensi kebencanaan baik lingkungan terutama berkaitan dengan sumber daya air, lingkungan, dan pelbagai sumber alam.

Air telah menjadi problem besar di Pulau Jawa, baik pada musim hujan maupun pada waktu musim kemarau. Untuk itu, seorang ilmuwan, WJ Blommestein yang lahir di Indonesia dan meraih gelar insinyur dan doktornya di Technische Hoogeschool, Bandung, merancang tata air di Jawa.

Perhatiannya terhadap tata air di Pulau Jawa sudah dimulai sejak muda. Untuk menangani tata air di Pulau Jawa dan Jakarta, ia mengeluarkan gagasan yang dimuat di majalah de Ingenieur in Nederlands Indies Nomor 4 dan 5 tahun 1949 dengan judul "Een Federal Welvaartsplan voor het Westelijk Gedeelte van Java".

Dalam tulisan tersebut, ia mengatakan bahwa dalam kurun waktu antara dua kali Perang Dunia (1914-1918 dan 1941-1945) produksi beras di wilayah Asia Tenggara meningkat hanya 10 persen, sedangkan jumlah penduduk pada waktu yang sama meningkat di atas 20 persen.

Saat Bloommestein menyampaikan gagasan pada pertemuan insinyur Koninklijk Instituut van Ingenieurs di Batavia, 18 Desember 1949, pikirannya masih tertuju pada Pulau Jawa bagian barat. Inti dari gagasan Blommestein adalah perlunya pembangunan waduk dan terusan (kanal) di Pulau Jawa. Terusan yang dimaksud adalah terusan dari ujung timur Pulau Jawa sampai Serang, Banten. Dengan adanya terusan tersebut, air dari selatan ditampung dalam terusan tersebut yang sambung-menyambung sehingga dapat menjadi sumber baku air bersih, transportasi, dan mencegah banjir. Namun, gagasan pembangunan terusan tidak terwujud karena biaya yang cukup besar, sedangkan waduk terbangun sebagian.

Kini, Pulau Jawa masih terus menjadi pusat ekonomi nasional. Pembangunan jalur tol Trans-Jawa dari Merak sampai Banyuwangi telah mendorong tumbuhnya pusat ekonomi dan kota-kota akan berkembang sangat cepat. Tentu ini sangat membanggakan, tetapi di lain pihak juga menjadi pekerjaan rumah lain untuk melestarikan alam Jawa yang berkelanjutan.

Aglomerasi kawasan

Dalam beberapa tahun ke depan, Jawa tak lagi pulau, tetapi sudah menjadi kota Jawa, menyerupai aglomerasi antar-kawasan yang saling menyambung dari ujung barat sampai ujung timur. Proses aglomerasi akan semakin cepat dengan terbangunnya jaringan jalan tol Trans-Jawa di pantura dan disusul jaringan jalan di bagian selatan dan jalur tengah.

Untuk itu, sudah waktunya dipersiapkan rencana induk tata ruang Pulau Jawa yang saling terintegrasi antar-kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Ini menjadi sangat penting untuk menjaga Jawa yang berkelanjutan sebagai sebuah pulau dan kota. Jika tidak direncanakan jauh-jauh hari, maka dalam masa 100 tahun ke depan Jawa sudah menjadi pulau yang sesak dan tidak sehat, terutama dalam hal ketersediaan air dan lahan terbuka.

Ide pemindahan ibu kota negara perlu juga dikaitkan dengan rencana induk pembangunan Pulau Jawa, tidak sekadar mengurangi beban Jakarta, tetapi sebagai upaya membangun Jawa yang berkemajuan dan berkelanjutan.