Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 18 September 2019

Data Hutan//Selamatkan KPK (Surat Pembaca Kompas)


Data Hutan

Data hutan mulai muncul tahun 1967, sejak penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri mengelola hutan Indonesia.

Data hutan Indonesia dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, secara de jure, luas hutan dilihat dari aspek hukum. Kedua, secara de facto, luas hutan didasarkan pada fakta di lapangan. Greenpeace Indonesia mempermasalahkan hutan yang kian berkurang selama moratorium izin baru di hutan alam primer dan gambut (Kompas, 9/8/2019) meski perlu dicek akurasinya.

Kendati ada moratorium, wajar tutupan hutan berkurang karena banyak hal. Nyatanya, hutan konservasi dan lindung yang tidak boleh diganggu banyak dijarah.

Greenpeace mencatat, deforestasi di hutan lindung di area moratorium (2012-2018, 1,2 juta hektar) lebih tinggi ketimbang sebelum moratorium (2005-2011, 800.000 hektar). Menurut PP No 62/1998, pengelolaan hutan lindung diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dan pengelolaan taman hutan raya diserahkan kepada provinsi. Sementara menurut UU No 23/2014 tentang Otonomi Daerah, hutan lindung dan taman hutan raya diserahkan kepada provinsi.

Maka, dengan atau tanpa moratorium, deforestasi di hutan lindung akan terus terjadi. Pemerintah daerah kabupaten/kota ataupun provinsi tak mempunyai perangkat, sumber daya manusia, dan anggaran yang memadai. Bahkan, hutan alam primer 33,3 juta hektar dan hutan gambut 6,5 juta hektar belum jelas masuk hutan apa.

Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan KLHK, Villa Bogor Indah Ciparigi, Bogor


Selamatkan KPK

Yang terhormat Presiden Joko Widodo, kami mohon selamatkanlah KPK, jamin kepastian hukum dan ekonomi.

KPK adalah tonggak penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Setelah puluhan tahun bergulat dengan korupsi, kehadiran KPK sebagai bayi reformasi 1998 memberi harapan besar Indonesia terbebas dari penyakit kronis itu.

Cita-cita mencapai Indonesia yang adil dan makmur sulit terwujud jika korupsi belum diberantas. Banyak studi mencatat korelasi tingkat korupsi yang tinggi dengan kesulitan mengentaskan orang miskin.

Dalam perjalanannya, KPK selalu ditentang pihak-pihak yang merasa dirugikan, yakni mereka yang antireformasi dan kaum oligarki yang melindungi kekuasaannya. Terakhir, DPR menginisiasi revisi UU KPK, 5 September 2019.

Pelemahan KPK akan berdampak langsung terhadap menurunnya kepercayaan publik terhadap negara, hilangnya kepastian hukum dan menurunnya tingkat kepercayaan penanam modal. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Anti-Korupsi (The United Nations Convention Against Corruption) yang kemudian diadopsi oleh Indonesia dalam hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.

Kemitraan sebagai organisasi yang mendorong penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance) perlu memastikan agar independensi KPK tidak berkurang. Oleh karena itu, kami mohon kepada Presiden Joko Widodo agar mengecam bentuk-bentuk serangan dan pelemahan pada KPK dan menolak usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi yang diusulkan DPR.

Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Maka, Kemitraan mendorong agar Presiden tidak menyetujui usulan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi dan membuka ruang dialog bersama masyarakat untuk membahas relevansi revisi UU KPK dan pelbagai upaya pelemahan KPK lain.

Besar harapan kami, Presiden tetap menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik menuju Indonesia yang adil, lestari, dan sejahtera.

Monica Tanuhandaru

Direktur Eksekutif Kemitraan

Kompas, 18 September 2019 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger