Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 12 September 2019

Ibu Kota Baru Layak Wisata//Asal Kata Blasteran//Benur dan Nelayan (Surat Pembaca Kompas)


Ibu Kota Baru Layak Wisata

Pemerintah telah mengumumkan secara resmi calon ibu kota baru, yang berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur. Karena menjadi etalase negara, maka untuk membangun ibu kota baru perlu kajian mendalam pada semua faktor, yang mendukung ataupun tidak. Salah satu faktor adalah aspek visual atau wajah kota.

Wilayah Indonesia sangat luas, kaya dengan sumber daya alam, dan memiliki keragaman budaya dengan masyarakat yang heterogen. Maka, ibu kota baru, selain menjadi pusat pemerintahan, juga diharapkan dapat menampilkan pesona Nusantara dan menarik wisatawan.

Saya mengusulkan agar semua gedung pemerintah yang akan dibangun di setiap departemen (kompleks perkantoran) terdiri atas gedung bertingkat dalam berbagai bentuk dengan gaya arsitektur modern. Gedung tinggi dipadu dengan gedung-gedung rendah berlantai satu atau dua dengan gaya arsitektur tradisional dari sejumlah daerah di seluruh Indonesia.

Setiap lokasi dilengkapi dengan alam lingkungan, hutan, relief (bukit), sungai, dan sebagainya, sebagai latar belakang, sekaligus oase dan paru-paru kota. Semua konsep lanskap tersebut untuk mendapatkan aspek visual "kontras yang saling menguatkan" (Landscape Architecture, John Ormsbee Simonds).

Maka, dalam suatu area pembangunan (departemen), gedung-gedung tinggi akan tampak megah dan menonjol3, serta gedung-gedung rendah, yang tradisional, tampak lebih unik dan kuno. Sementara hutan, bukit, dan sungai memberi latar belakang yang alami. Dengan demikian, ibu kota baru juga menjadi tujuan wisata yang menarik.

Rauyan M Amidjojo
Tegalmulyo, Karanganyar, Jawa Tengah


Asal Kata Blasteran

Di Indonesia, orang hasil perkawinan campuran ras sering disebut blasteran. Tahukah Anda asal-usulnya?

Kata blasteran berasal dari kata bahasa Belanda, laster, yang berarti tak pantas/hina. Orang yang dikatakan hina itu adalah orang belasterd.

Pada zaman penjajahan Belanda, di Nusantara tak sedikit terdapat orang-orang berdarah campuran Belanda dengan pelbagai suku Nusantara. Mereka jadi berkelas lebih rendah, apalagi kalau bukan berasal dari perkawinan yang sah.

Mereka disebut belasterd atau belasteren. Kata belasteren kemudian dalam lafal orang Indonesia jadi blasteran. Mengingat asal-usul kata blasteran itu, sebaiknya
kata blasteran tidak digunakan lagi.

Saya pun keturunan campuran orang Malabar dari India Selatan dan orang Maluku Tenggara. Daripada disebut blasteran, saya lebih suka disebut keturunan "gado-gado" atau "nasi goreng".

Willibrord Fadir
Jalan Raya Ciburuy,
Kampung Sukamaju,
Padalarang, Kabupaten
Bandung Barat

Benur dan Nelayan

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengimbau Pemerintah Singapura agar menolak benur dari Indonesia yang akan diselundupkan ke Vietnam.

Mengingat petugas Karantina dan Pabean Singapura taat aturan alias antisuap, maka jika benur diterima artinya didukung dokumen ekspor asli. Itulah yang harus diusut!

Menurut saya, operasi mafia benur harus dicegah dari hulu, dari tempat asal benur. Penjual benur awal adalah nelayan. Bayangkan benur sebesar 2 sentimeter ujung lidi dihargai setara 1 kilogram beras. Siapa yang tak tergiur?

Lalu siapa tengkulak yang membelinya? Rasanya bukan orang asing yang berani menanggung risiko ditangkap.

Jadi, orang-orang itulah yang menjadi perhatian. Khusus nelayan miskin yang berprinsip stomach can not wait tentu perlu bantuan agar tidak menjual benur lagi. Sebaliknya, tindak tegas tengkulak.

Last but not least, segera bangun koperasi nelayan sesuai Pasal 33 UUD 1945.

Suyadi Prawirosentono
Selakopi, Pasir Mulya,

Bogor

Kompas, 12 September 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger