ARIS SETIAWAN YODI

Koordinator ICW Adnan Topan Husodo usai acara konferensi pers LSI tentang temuan survei nasional "Korupsi, Religiusitas, dan Intoleransi" di Jakarta, Rabu (15/11)

Survei Lembaga Survei Indonesia atau LSI, Desember 2018, menunjukkan asa yang masih besar terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Survei yang diberi tajuk "Survei Nasional Pemberantasan Korupsi" itu menyoroti beberapa hal fundamental dalam kebijakan dan strategi antikorupsi untuk dapat bekerja lebih efektif dan mendapat dukungan publik luas. Salah satu yang jadi catatan penting dari survei itu: tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, mencapai 84 persen dari total 1.220 responden secara nasional.

Sementara Presiden menempati urutan kedua sebagai lembaga negara yang dipercaya publik (79 persen). Tren positif ini perlu dijadikan modal penting bagi Indonesia guna membangun soliditas yang lebih kokoh dalam upaya pemberantasan korupsi secara bersama-sama.

Kerja sama dan kolaborasi adalah kata kunci untuk memoles perlahan-lahan kepercayaan antara Presiden dan KPK yang selama ini terkesan tak dapat terbangun, baik karena guncangan politik nasional maupun cara pandang yang berbeda dalam melihat persoalan bangsa.

Salah satu yang jadi catatan penting dari survei itu: tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, mencapai 84 persen dari total 1.220 responden secara nasional.

Prioritas pragmatis Presiden untuk bergandengan tangan dengan pihak-pihak tertentu dalam lingkarannya untuk meredam masalah-masalah aktual bangsa, seperti radikalisme dalam derajat tertentu, telah meminggirkan peran strategis KPK. Bahkan, Presiden seakan dijerumuskan kalangan tertentu untuk menjauhi KPK karena KPK dianggap menyulitkan hubungan politik yang harmonis dengan pendukung utamanya, terutama karena sepak terjang operasi tangkap tangan (OTT) dan penegakan hukum korupsi yang melibatkan kalangan politisi dan pengusaha kakap.

Namun, pertimbangan dan kalkulasi keuntungan politik pada tingkat tertentu tak dapat dikompensasikan dengan agenda pemberantasan korupsi yang harus tetap berjalan efektif. Jika kedua hal itu diukur berdasarkan cost and benefit untuk keberlanjutan kekuasaan, bisa jadi KPK memang perlu dijauhi atau bahkan "dikendalikan". Namun, jika perhitungannya adalah perbaikan dan kemajuan dalam berbangsa dan bernegara, faktor- faktor yang dapat menghambat kemajuan itu yang harus disingkirkan, termasuk korupsi yang masih menjadi masalah struktural yang mengancam kemaslahatan masyarakat banyak.

Di sini, masyarakat akan menilai apakah pernyataan Presiden Joko Widodo terakhir saat Pilpres 2019 usai, "Saya tidak memiliki beban apa pun", sebagai sebuah pernyataan politik yang valid atau hanya sekadar pembangunan citra politik sebagai orang kuat.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo menerima kunjungan Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capim KPK) Yenti Garnasih (tiga kanan) bersama anggota Pansel Capim KPK, Hendardi (kiri) serta Indriyanto Seno Adji (dua kiri), di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/9/2019). Pada kesempatan itu, Pansel Capim KPK secara resmi menyerahkan 10 nama capim KPK yang telah disaring melalui serangkaian seleksi.

Namun, pertimbangan dan kalkulasi keuntungan politik pada tingkat tertentu tak dapat dikompensasikan dengan agenda pemberantasan korupsi yang harus tetap berjalan efektif.

Mandat rakyat

Posisi Presiden sebagai lembaga yang paling strategis dalam pemberantasan korupsi juga lahir karena adanya mandat langsung dari pemilih. Salah satu aspirasi publik yang masih kuat berkumandang adalah pemberantasan korupsi, di samping masalah ekonomi, kemiskinan, dan kesehatan. Secara implisit ataupun eksplisit, pemilih Jokowi adalah kelompok masyarakat yang menaruh harapan besar terhadap Jokowi untuk dapat memimpin pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dengan demikian, mandat politik ini tidak bisa dinafikan begitu saja karena agenda pemberantasan korupsi juga jadi bagian dari janji Nawacita, baik Nawacita 1 maupun 2. Selain itu, dukungan politik Presiden dalam pemberantasan korupsi juga jadi fondasi kokoh untuk menyediakan sumber daya yang dibutuhkan KPK, kekuatan politik yang memadai untuk menghalau pelemahan dan teror, serta jaminan independensi bagi KPK untuk bekerja dengan profesional  tanpa gangguan dan ancaman kriminalisasi.

Salah satu jejak yang bisa ditelusuri untuk menilai keseriusan pemerintahan memberantas korupsi adalah evaluasi global Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Dengan skor nol dipersepsikan paling korup dan 100 paling bersih, harus diakui selama pemerintahan Jokowi-JK jilid 1, pergerakan IPK Indonesia tak terlalu menggembirakan. Selama lima tahun pertama, pemerintah menyumbang kenaikan 0,4 poin, dari skor 34 di 2014 menjadi 38 di 2018. Kenaikan ini tak terlalu menggembirakan dibandingkan dengan berbagai paket reformasi bidang ekonomi yang digelontorkan, kebijakan reformasi birokrasi dan program nasional pemberantasan korupsi.

KOMPAS/SHARON PATRICIA

Koalisi Masyarakat Sipil Darurat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) #CicakVSBuaya4.0 meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak meloloskan calon pimpinan KPK yang dinilai bermasalah, di Jakarta, Jumat (30/8/2019).

Dengan skor nol dipersepsikan paling korup dan 100 paling bersih, harus diakui selama pemerintahan Jokowi-JK jilid 1, pergerakan IPK Indonesia tak terlalu menggembirakan.

Jika kita bandingkan dengan capaian SBY-JK pada periode pertama pemerintahannya, kenaikan skor IPK Indonesia mencapai 0,6 poin, dengan skor 20 di 2004 dan 26 di 2008. Meski berbagai macam kebijakan dan program antikorupsi yang telah diupayakan pemerintah itu tetap harus dianggap sebagai perwujudan kemauan politik negara, tren positif kenaikan IPK sejak 2004 hingga hari ini tak dapat dilepaskan dari peran KPK, sebagaimana diakui sendiri oleh Transparansi Internasional sebagai penyusun indeks. Jokowi bisa mendorong kenaikan IPK menjadi lebih baik apabila dukungan politik Presiden terhadap KPK bisa ditingkatkan.

Seleksi capim dan politik pemberantasan korupsi

Momentum Presiden untuk menempatkan secara lebih jelas dukungannya terhadap upaya pemberantasan korupsi ada pada seleksi calon pimpinan (capim) KPK. Karena peran KPK dalam pemberantasan korupsi sangat strategis, dan secara nyata dianggap telah memberikan sumbangan bagi kenaikan skor IPK Indonesia, sudah sepatutnya Presiden melindungi lembaga ini dari upaya pelemahan atau "kendali" dari pihak-pihak tertentu yang ingin membatasi ruang gerak KPK.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mural dan graffiti bertema korupsi di Kebon Nanas, Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis (29/8/2019).

Salah satu cara terbaik, menempatkan capim KPK yang tak memiliki catatan buruk dan reputasi kotor. Publik sangat yakin Presiden telah mendapat informasi lengkap mengenai capim KPK yang lolos 10 besar. Hasil pansel capim KPK yang telah usai itu menyisakan batu ganjalan yang cukup besar, dan di sini Presiden perlu mengambil sikap tegas dan berani untuk mencoret mereka-mereka yang secara jelas punya masalah integritas dan cacat etis.

Momentum Presiden untuk menempatkan secara lebih jelas dukungannya terhadap upaya pemberantasan korupsi ada pada seleksi calon pimpinan (capim) KPK.

Presiden sebenarnya memiliki waktu yang cukup sebelum menyerahkan 10 nama capim KPK ke DPR. Namun, sepertinya Presiden mengabaikan masukan dari masyarakat dengan tetap menyerahkan 10 nama capim KPK ke DPR sesuai hasil seleksi Pansel Capim KPK.

Indonesia akan mencatat, apakah di tangan Presiden Jokowi yang terpilih untuk kedua kalinya ini KPK akan semakin kuat, ataukah justru sebaliknya, semakin kerdil.