Aspek pertahanan harus jadi salah satu pertimbangan penting langkah pemerintah memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur mulai 2024. Pertahanan yang kurang kuat dapat membuat ibu kota jatuh atau terganggu, baik oleh ancaman militer maupun ancaman hibrida (campuran), seperti terorisme, serangan siber ke infrastruktur vital, dan sistem keuangan/pembayaran.

Risiko ancaman militer terlihat dari relatif dekatnya jarak calon ibu kota di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara dengan perbatasan RI- Malaysia. Jarak lurus Tenggarong, ibu kota Kutai Kartanegara, ke perbatasan darat RI- Malaysia sekitar 342 kilometer. Jarak Penajam ke lokasi sama 412 km. Lokasi lain di Kutai Kartanegara atau Penajam dan perbatasan darat kedua negara berjarak serupa.

Jarak 300-400 km bukan ukuran jauh untuk invasi darat dengan memakai tank, misalnya. TNI memang sudah menempatkan tank tempur utama Leopard di sekitar perbatasan darat meskipun itu dilakukan sebelum ada wacana pemindahan ibu kota. Tank yang pernah dilecehkan karena dianggap amblas di lahan berlumpur malah jadi alat utama sistem senjata terdepan.

Namun, jumlahnya sangat terbatas dan rentan menghadapi helikopter serang dan rudal. Jika jarak tank dengan logistik, seperti BBM jauh, dan jumlahnya sedikit, kesiapan tempur tank di perbatasan juga bisa menurun. Konsekuensinya, secara taktis perlu penambahan alutsista darat di perbatasan dan memperkuat keterhubungannya dengan alutsista lain dan organisasi induk, baik dalam sistem komando, kendali, komunikasi, komputer, intelijen, pengamatan, pengintaian (K4IPP/ C4ISR), maupun logistik, pemeliharaan, dan perawatan.

Jarak Tenggarong ke pangkalan udara (lanud) Malaysia di Labuan, Sabah, dan Kuching, Sarawak, 676 km dan 775 km. Jarak Penajam ke kedua lanud Tentara Udara Diraja Malaysia (TUDM) itu 752 km dan 784 km. Jarak itu masih dalam jangkauan jet tempur generasi keempat semacam Sukhoi 30 yang dimiliki Malaysia. Namun, Malaysia menyimpan kekuatan pemukul itu di Semenanjung Malaya, tepatnya di lanud Gong Kedak. Ada risiko terhadap ibu kota jika Malaysia memindahkan sebagian atau menempatkan jet tempur barunya di Sarawak dan Sabah.

Secara kultural, Indonesia dekat dengan negara tetangga. Masalahnya, Indonesia pernah berselisih dengan Malaysia dalam perebutan Blok Ambalat yang terletak persis di perairan dekat Kalimantan. Tahun 2005, kapal TNI AL dan AL Malaysia pernah bersinggungan. Indonesia berpolitik luar negeri bebas aktif dan tak mengikatkan diri dengan satu pun aliansi pertahanan. Namun, Malaysia dan Singapura bersekutu dengan Inggris, Australia, dan Selandia Baru dalam Five Power Defence Arrangement (FPDA), misalnya. Filipina beraliansi dengan AS.

China pernah diwartakan memperoleh akses pelabuhan laut Kamboja meskipun dibantah oleh kedua negara itu. Namun, China telah memperkuat postur militernya di Laut China Selatan yang berbatasan dengan Kalimantan. Pada 18 Mei 2018, China sukses mendaratkan pesawat pengebom H-6K di Pulau Woody, Kepulauan Paracel. China, juga membangun hanggar untuk pesawat serupa di Kepulauan Spratly.

Rivalitas di kawasan

Indonesia memang bersahabat dengan AS, China, Inggris, dan terutama dengan negara tetangga. Namun, rivalitas strategis AS-China dan AS-Eropa tak dapat diabaikan. Ada indikasi rivalitas akan meningkat. Misalnya, rencana China yang dirilis pada Juli 2019 dalam buku putihnya untuk memodernisasi penuh militer sekitar 2.035 dan menjadi angkatan bersenjata kelas dunia pada pertengahan abad ke-21. Bersamaan dengan pengakhiran traktat nuklir jarak menengah AS-Rusia, Menhan AS Mark Esper meminta penempatan rudal menengah konvensional di kawasan Pasifik.

Imbas rivalitas strategis dapat meningkatkan pelayaran dan penerbangan militer asing melalui alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) II yang berbatasan dengan Kalimantan, terutama Kalimantan Utara, Timur, dan Selatan. Sesuai Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), pelayaran dan penerbangan militer asing dapat melalui ALKI dengan maksud baik (innocent passage).

Peningkatan pelayaran dan penerbangan militer asing, termasuk kapal induk, dengan rute ALKI II melewati Selat Lombok menuju Australia sudah cukup mengganggu keamanan ibu kota dan armada migas.

Penguatan postur pertahanan juga karena sejarah Perang Pasifik. Saat itu, Jepang tak menyerang Jawa lebih dulu, atau melalui Selat Malaka. Jepang merebut Kalimantan lebih dulu, yaitu Tarakan (11 Januari 1942) dan Balikpapan (24 Januari). Lalu, merebut Singkawang dan Pontianak (29 Januari) dan Banjarmasin (10 Februari) (Gin, 2011, The Japanese Invasion and Occupation of Borneo). Jepang selanjutnya menyusuri Selat Makassar (kini ALKI II) untuk menggelar pertempuran paling berdarah di Laut Jawa, lalu mengontrol Hindia Belanda.

Karena itu, pemerintahan Joko Widodo dan DPR harus memperkuat dulu postur pertahanan di Kalimantan mendekati postur di Jakarta dan sekitarnya. Terlebih, postur di sana lebih longgar daripada pulau besar lain. Sesudah merelokasi sebagian personel, menambah alutsista, membangun C4ISR dan sarana pendukung, seperti rumah sakit tentara, wilayah latihan, dan pengujian senjata, baru membangun kantor pemerintah dan sarana kehidupan lain. Jika melihat total biaya yang disampaikan Presiden saat mengumumkan lokasi calon ibu kota pada 26 Agustus sebesar Rp 466 triliun, hal itu mengindikasikan kajian Bappenas dan Kementerian Pertahanan/TNI belum sinkron.

Estimasi biaya Rp 466 triliun itu baru mencakup pembangunan kantor strategis TNI/ Polri dan rumah dinas anggota. Kajian Mabes TNI pada Agustus 2019 menghitung Rp 100 triliun lebih diperlukan untuk memperkuat pertahanan ibu kota di Kaltim, termasuk pembangunan kodam ibu kota, pembangunan/pengembangan pangkalan baru TNI AL dan AU, jet tempur dan rudal pengamanan ibu kota.