Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 21 November 2019

ARTIKEL OPINI: PR Menyejahterakan Petani (KHUDORI)

Presiden Joko Widodo menunjuk Syahrul Yasin Limpo menjadi Menteri Pertanian.

Setelah diisi seorang profesional, Amran Sulaiman, penunjukan politikus Partai Nasdem ini membuat kursi Kementerian Pertanian kembali diisi politikus, mengulang dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain bukan politikus kemarin sore, Syahrul juga birokrat tulen.

Ia meniti karier dari bawah hingga terpilih jadi Gubernur Sulawesi Selatan dua periode. Sepertinya, Presiden Jokowi ingin pengalaman Syahrul mendobrak birokrasi Sulsel bisa disuntikan di Kementan. Syahrul tak suka rutinitas. Kini, beribu harapan jutaan petani ditumpukan di pundak Syahrul. Salah satu harapan penting adalah membenahi kesejahteraan petani. Diakui atau tidak, selama ini pertanian selalu dikonstruksi sebagai sektor produksi tanpa peduli kesejahteraan pelakunya.

Tidak salah mengonstruksi pertanian sebagai sektor produksi. Sebab, ketika produksi pangan meningkat ketahanan pangan lestari, stabilitas politik dan keamanan akan terjaga. Namun, menempatkan kesejahteraan petani di belakang selain tidak manusiawi dan zalim juga membuat kontinuitas produksi tak akan berkelanjutan.

Kemerdekaan petani

Untuk memeriksa apakah petani sejahtera atau tidak bisa didekati dari sisi paling riil: kemerdekaan petani. Jumlah petani saat ini 54 persen dari jumlah rakyat Indonesia. Logikanya, jika rakyat Indonesia merasakan kemerdekaan, otomatis kemerdekaan dirasakan petani. Kemerdekaan petani yang tecermin pada kehidupan yang kian sejahtera atau justru sengsara setidaknya bisa diukur dari tiga hal: tingkat pendidikan, aset ekonomi, tingkat kemandirian.

Menurut Sensus Pertanian (SP) 2013, kapasitas SDM pertanian amat rendah. Jumlah rumah tangga petani 26,14 juta, menurun 5,04 juta rumah tangga dari 2003. Sekitar 72 persen dari mereka yang bekerja di pertanian hanya berpendidikan atau tidak tamat SD, 26 persen lulus SMP, dan SMA dan hanya 1 persen lulus perguruan tinggi. Kapasitas pendidikan yang rendah membuat adopsi inovasi-teknologi jadi lambat.

Penguasaan modal (lahan dan pendanaan) petani amat terbatas. Menurut hasil Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018, sebanyak 15,8 juta rumah tangga petani (57,1 persen) gurem (kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar), naik dari SP 2013 sebesar 55,3 persen. Keterbatasan modal tanah membuat pertanian tak lagi jadi gantungan hidup dan bisa keluar dari jerat kemiskinan. Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian (SPP) 2013 BPS mendapati, rata-rata pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian hanya Rp 12,4 juta per tahun atau Rp1 juta per bulan, amat jauh dari upah layak buruh pabrik.

Pendapatan ini hanya mampu menopang sepertiga kebutuhan. Sisanya disumbang kegiatan di luar pertanian, seperti ngojek, berdagang, dan jadi pekerja kasar. Fakta ini menunjukkan tak ada lagi "masyarakat petani", mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu. Karena tak menjanjikan kesejahteraan, logis kiranya pertanian dijauhi kaum muda terdidik. Menurut Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2018, sebesar 64 persen petani berusia lebih dari
45 tahun. Pertanian terancam "gerontrokrasi".

Kebijakan negara yang menyerahkan harga komoditas pangan, kecuali beras dan gula, kepada mekanisme pasar membuat petani kian sulit dan terjepit. Petani tidak hanya terjerat rentenir, mereka tidak berdaya menghadapi tengkulak saat panen. Ketika harga pangan naik, semua pihak, termasuk petinggi negara, teriak-teriak karena takut inflasi. Saat harga pangan jatuh, tak satupun yang membela petani. Petani negeri ini menyubsidi orang kaya lewat penyediaan pangan murah.

Soal kemandirian, petani masih tergantung dari penyediaan pupuk fosfor, kalium, dan bibit ayam ras (DOC). Ketergantungan petani terhadap pestisida dan aneka bibit unggul yang dikuasai (hampir monopolistik) perusahaan multinasional juga masih tinggi. Bantuan pupuk dan bibit belum mampu memerdekakan petani dari ketergantungan input dari luar. Apa arti kemerdekaan jika dalam berproduksi semua input petani bergantung pada pihak lain?

Soal kerja keras, kerja petani tak tertanggungkan. Kerja mereka di sawah 10 sampai 20 kali lebih berat ketimbang rekannya di ladang gandum. Diperkirakan beban seorang petani padi di Asia sekitar 3.000 jam kerja setiap tahun. Dalam buku Outliers (2009), Gladwell menulis, tidak seorang pun yang bangun sebelum subuh selama 360 hari dalam setahun gagal membuat keluarganya kaya. Lalu, mengapa petani kita tetap miskin?

Kehadiran negara

Mereka miskin karena tak memiliki modal apa pun, kecuali tenaga. Dalam kondisi seperti itu, negara tidak hadir. Tak dibuka akses modal, lahan, pengetahuan, kredit, dan pasar. Luasan lahan kecil dan kualitas SDM rendah tak boleh dijadikan dalih membiarkan petani miskin. Meski berlahan sempit, mereka tetap harus hidup layak. Seperti diulas Gladwell, desa di China berpenduduk 1.500 orang bisa menghidupi dirinya dengan lahan seluas 180 hektar (sekitar 0,3 hektar per keluarga, ekuivalen lahan petani di Jawa). Indonesia ada dan kementerian dibentuk justru untuk membuat petani agar hidup layak.

Petani di negara lain makmur karena tugas petani dan keluarganya hanya bertani. Pemerintah membangun jalan raya dan jalan desa, menyediakan benih terbaik, pupuk dan pestisida/ herbisida yang cocok, irigasi yang tak pernah kering, kredit berbunga rendah, mesin pertanian yang murah dan bisa dicicil. Pemerintah menjamin kegagalan panen dengan asuransi, harga jual yang menguntungkan dan membatasi pasar dalam negerinya dari produk asing (Pambudy, 2010). Intinya, petani dan pertanian dimuliakan, dilindungi, dan tak diserahkan pada mekanisme pasar bebas yang sering kali mematikan dan tak bisa dikontrol.

Ini semua dilakukan bukan karena pemerintah kasihan kepada petani. Namun, ada kesadaran mendasar bahwa ketersediaan pangan (food), pakan (feed), sandang-papan (fibre), bahan bakar (fuel), serta bahan obat yang berkesinambungan dari petani sangat penting untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan) penduduk dan generasi mendatang. Ada kesadaran tak bergantung kepada pihak lain. Kemandirian itu, selain membuat kita berdaulat, juga menjamin keberlanjutan bangsa dan negara ini. Dengan kebijakan tepat, kebutuhan pangan, sandang, papan, bahan bakar, dan obat-obatan dapat dipenuhi petani dengan harga yang kompetitif. Pada saat yang sama, petani juga akan merdeka dan bisa hidup sejahtera karena usaha tani dijamin untung layak. Semoga mentan baru bisa mewujudkan harapan ini.

Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-sekarang)

Kompas, 21 November 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger