Kalau hari Minggu, karena itu adalah jadwal untuk beribadah, sebisa mungkin saya mengerem untuk mengumpat dengan nama binatang berkaki empat. Tanpa harus saya rinci nama binatangnya, saya yakin Anda tahu binatang apa yang saya maksud. Apalagi kalau sedang berada di rumah ibadah itu tak akan pernah saya lakukan.

Buat saya, hari Minggu adalah hari untuk bermalas-malasan. Juga hari saat saya berusaha menjadi manusia yang diharapkan Tuhan, dan yang diharapkan teman-teman saya yang tak bosannya setiap hari mengirim ayat-ayat Alkitab. Bahkan, mereka tak bosan-bosannya mengingatkan saya untuk tidak lupa beribadah di hari Minggu. Saya yang menerima peringatan itu saja bosannya setengah mati.

Sakral

Itu adalah saya pada hari Minggu. Saya menjadi orang lain pada hari Senin sampai Sabtu. Saya merasa tidak bersalah untuk mengumpat pada hari-hari itu. Saya merasa wajar melakukan di enam hari itu. Kebiasaan mempunyai jadwal mengumpat telah berhasil membuat saya memiliki dua kepribadian dan menjalani hidup seperti sakelar.

Bisa mematikan yang tidak baik pada hari Minggu dan menyalakan yang tidak baik pada hari Senin sampai Sabtu. Mematikan yang baik pada Senin sampai Sabtu dan menyalakannya kembali pada hari Minggu. Jadi, hidup yang saya perjuangkan bukanlah sebuah hidup yang sakral, tetapi hidup yang sakelar.

Kalau saya pernah beberapa kali bercerita kejahatan yang pernah dan masih saya lakukan dalam bentuk mengumpat dan mengata-ngatai sesama manusia sehingga banyak teman-teman saya memberi predikat saya manusia yang tidak baik. Maka, semua perbuatan yang membuat saya sampai mendapat predikat itu saya lakukan dari hari Senin sampai Sabtu.

Kalau pada hari Minggu, apalagi kalau saya sedang beribadah, saya bisa menjadi manusia yang baik dan sabar. Saya bisa tersenyum kepada manusia yang tak saya kenal karena mereka juga tersenyum seperti sudah lama kenal saya.

Saya tak tahu apakah mereka tersenyum dan menyalami saya karena mereka munafik seperti saya. Atau mereka juga memiliki dua kepribadian, sungguh saya tak tahu. Kalau ada bayi menangis di rumah ibadah, saya bisa dengan sabar mendengarkan jeritan yang sejujurnya mengganggu hati saya.

Tokek

Kalau kejadian itu terjadi pada hari Senin atau Kamis, ceritanya bisa sungguh berbeda. Di rumah ibadah, tempat duduk saya diserobot orang pun saya bisa mengalah. Kalau pun ada rasa kesal yang menyelinap, saya masih dapat menenangkan diri dengan mengatakan sudahlah, yang waras yang mengalah.

Saya hanya mendisiplinkan diri hanya pada hari Minggu, persis seperti kalau saya hanya bisa disiplin di dalam stasiun MRT. Mengantre, menaiki tangga dengan tertib, mematuhi peraturan. Tetapi, begitu saya keluar dari stasiun kereta itu, saya bisa langsung menjadi orang lain yang tidak mempunyai disiplin, tidak bisa mengantre dan tak mematuhi aturan.

Padahal, aturan itu ada di dalam dan di luar stasiun dan yang menjalani aturan itu saya. Jadi, seharusnya mau di dalam atau di luar stasiun seharusnya saya adalah orang yang sama. Sama-sama dapat disiplin. Tetapi, tidak pada kenyataannya.

Saya dapat mengubah kepribadian dan perilaku saya dalam sekejap. Jadi, kalau saya mengatakan saya ini menjalani hidup seperti sakelar, itu 100 persen benar adanya. Kalau hidup yang sakral itu hanya hari Minggu dan di dalam stasiun MRT.

Rumah ibadah bukan satu-satunya tempat saya menjadi orang baik untuk sementara waktu. Di dalam rumah pun saya melakukan perbuatan yang mencerminkan manusia yang baik dan taat kepada yang Ilahi. Membaca Alkitab setiap hari, berdoa setiap hari. Bahkan, saya berdoa tak hanya untuk kebutuhan diri saya sendiri, tetapi juga untuk kebutuhan orang lain.

Kegiatan di atas itu setiap hari saya lakukan, artinya dari Senin sampai hari Minggu. Luar biasa, bukan? Tetapi, itu tak cukup untuk membuat saya menjadi manusia yang punya satu kepribadian saja.

Begitu keluar dari tempat tinggal, dan menemukan kejadian nyata yang membuat naik darah, maka isi doa saya yang salah satunya berkeinginan menjadi manusia yang sabar dan bijak hilang tak berbekas. Di dalam rumah saya berdoa untuk orang lain, di luar rumah saya membicarakan orang lain.

Fasilitas pengampunan dosa yang dilakukan di rumah ibadah, dan mulut yang komat-kamit setiap hari memohon ampun atas kesalahan yang telah dibuat, benar-benar saya manfaatkan sebesar-besarnya. Karena saya berpikir, kalau fasilitas pengampunan sudah disediakan, sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan, bukan?

Bagaimana cara memanfaatkan fasilitas pengampunan dosa itu? Satu-satunya cara termudah adalah dengan berbuat dosa, bukan? Maka, jadilah kehidupan saya itu seperti suara tokek. Memohon ampun pada hari Minggu, mengumpat pada hari Senin.