Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 29 November 2019

PERTAHANAN NEGARA: Militerisasi Sipil (AL ARAF)


KOMPAS/SHARON PATRICIA

Al Araf

Pengesahan UU ini sangat mengejutkan karena terjadi di tengah hiruk-pikuk politik serta di ujung masa DPR periode 2014-2019. Alhasil, substansi UU ini menyisakan berbagai persoalan dalam sektor pertahanan, khususnya terkait dengan keterlibatan warga sipil sebagai komponen cadangan pertahanan negara.

Secara historis, RUU ini dahulu bernama RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN), lalu kemudian berganti menjadi RUU PSDN dengan ruang lingkup yang lebih luas. UU PSDN ini mengatur empat hal yaitu komponen cadangan, komponen pendukung, bela negara dan mobilisasi. Pada masa lalu, RUU KCPN yang menjadi cikal bakal RUU PSDN mendapatkan penolakan dari publik terkait dengan perekrutan warga sipil dalam pelatihan dasar kemiliteran yang bersifat wajib untuk menjadi bagian komponen cadangan.

Alhasil, substansi UU ini menyisakan berbagai persoalan dalam sektor pertahanan, khususnya terkait dengan keterlibatan warga sipil sebagai komponen cadangan pertahanan negara.

Kritik UU PSDN

Secara substansi, perekrutan warga sipil sebagai bagian dari komponen cadangan yang diatur dalam UU PSDN bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat 2. Warga sipil yang akan menjadi bagian komponen cadangan akan mengikuti latihan dasar kemiliteran yang sifatnya wajib selama tiga bulan (Pasal 35 Ayat 1) dan mereka yang bisa ikut berumur 18 hingga 35 tahun (Pasal 33 Ayat 2). Pasca-pelatihan dasar kemiliteran mereka wajib ikut dalam masa pengabdian dengan status aktif (masa pelatihan, penyegaran dan mobilisasi) dan masa tidak aktif yakni masa pengabdian dengan melakukan pekerjaan semula. Masa pengabdian sebagai komponen cadangan dengan usia paling tinggi 48 tahun (Pasal 47).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menyerahkan tanggapan pemerintah terkait hasil pembahasan RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara menjadi Undang-undang kepada Wakil Ketua DPR Agus Hermanto dalam rapat paripurna DPR RI ke-11 Masa Sidang Tahun 2019-2020, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/9/2019).

Dalam UU ini, setiap komponen cadangan yang menghindari panggilan mobilisasi akan dikenakan sanksi hukuman pidana selama paling lama empat tahun (Pasal 77 Ayat 1). Bahkan setiap orang yang membuat komponen cadangan tidak memenuhi panggilan mobilisasi terancam hukuman penjara dua tahun (Pasal 77 Ayat 2). Hal ini tentu menyalahi prinsip consentious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya) yang merupakan prinsip kardinal dalam pelibatan warga sipil dalam pertahanan di berbagai negara yang sudah diakui dalam hukum HAM internasional.

Secara umum, dalam UU PSDN ini, kategori ancaman dibagi tiga yakni ancaman militer, ancaman non militer dan ancaman hibrida (Pasal 4 Ayat 2). Secara lebih khusus, penggunaan komponen cadangan digunakan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida (Pasal 6 ayat 4 jo Pasal 29). Pelibatan komponen cadangan untuk menghadapi ancaman hibrida menimbulkan multitafsir karena tidak ada definisi dan penjelasan tentang ancaman hibrida dalam UU tersebut.

Dalam UU ini, jenis ancaman militer, non militer dan hibrida meliputi ancaman yang berwujud agresi, terorisme, komunisme, separatisme, pemberontakan bersenjata, bencana alam, kerusakan lingkungan, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian sumber daya alam, wabah penyakit, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, serangan siber, serangan nuklir, serangan biologi atau wujud ancaman yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan bangsa (Pasal 4 Ayat 3).

Pelibatan komponen cadangan untuk menghadapi ancaman hibrida menimbulkan multitafsir karena tidak ada definisi dan penjelasan tentang ancaman hibrida dalam UU tersebut.

Pelibatan warga sipil yang sudah menjadi komponen cadangan dalam menghadapi ancaman non militer dan/atau hibrida dapat menimbulkan masalah serius dalam tata kelola keamanan di Indonesia. UU ini melegalisasi suatu proses militerisasi sipil yang juga dapat digunakan untuk menghadapi kelompok-kelompok dalam masyarakat di negeri sendiri sehingga rentan memicu konflik horizontal.

Dalam sejarah Indonesia, proses militerisasi sipil oleh kekuasaan pernah digunakan oleh penguasa secara diam-diam untuk mengamankan kekuasaan yang sering menimbulkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Pada saat sebelum jajak pendapat di Timor Timur 1999, kekuasaan menciptakan sejumlah kelompok pamswakarsa atau lebih dikenal sebagai milisi. Sebelumnya, pada tahun 1998, kelompok-kelompok pamswakarsa menghadapi demonstrasi besar mahasiswa yang menolak Sidang Istimewa. Di Aceh pada 2003 hingga 2004, penguasa menciptakan banyak kelompok pamswakarsa selama operasi darurat militer.

Dalam aspek pertahanan, hakikat atau raison d'etre militer adalah untuk menghadapi perang. Di negara demokratis yang memiliki angkatan bersenjata, fungsi dan tugas utama mereka adalah untuk menghadapi perang. Tugas selain perang bagi militer adalah perbantuan. Dalam konteks itu, pelibatan warga sipil sebagai komponen cadangan harusnya hanya ditujukan untuk menghadapi perang (ancaman militer). Penggunaan komponen cadangan untuk menghadapi ancaman non militer-hibrida adalah sesuatu yang menyalahi dari prinsip dan hakikat dibentuknya militer itu sendiri.

Selain itu, penggunaan komponen cadangan untuk mobilisasi kepentingan darurat militer adalah sesuatu yang kurang tepat (Pasal 63). Karena status darurat militer kecenderungannya lebih ditujukan untuk menghadapi ancaman dari dalam negeri sebagaimana pernah diterapkan di Aceh pada 2003-2004. Berbahaya sekali jika komponen cadangan dilibatkan dalam status darurat militer karena itu akan menimbulkan konflik horizontal dengan masyarakat.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersama Wakil Menteri Pertahanan Wahyu Sakti Trenggono (kiri) saat rapat kerja dengan anggota Komisi I DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/11/2019). Rapat ini merupakan rapat kerja perdana Menteri Pertahanan dengan Komisi I DPR. Rapat ini antara lain untuk mendengar rencana kerja Kementrian Pertahanan, membahas mengenai industri pertahanan, dan situasi keamanan terkini.

Berbahaya sekali jika komponen cadangan dilibatkan dalam status darurat militer karena itu akan menimbulkan konflik horizontal dengan masyarakat.

Dalam aspek pertahanan, cara pandang UU PSDN dalam membaca ancaman masih belum bergeser dari cara pandang lama yang masih melihat secara inward looking. Sehingga komponen cadangan juga dapat digunakan untuk menghadapi ancaman internal. Hal ini menjadi kontradiktif dengan gagasan Presiden Jokowi yang outward looking dengan membangun negara maritim.
Dengan format politik hukum UU PSDN ini akan menimbulkan intrusi negara terhadap kehidupan warga sipil. Tanpa adanya aturan pelibatan (rules of engagement) yang rinci dalam melibatkan warga sipil, UU ini dapat digunakan untuk menghadapi kelompok masyarakat sipil yang kritis dengan dalih demi kepentingan keamanan dan keselamatan bangsa.

Secara sosiologis, mereka yang dilatih secara kemiliteran selama tiga bulan juga perlu dilihat dampak kelanjutannya. Mereka yang sudah terlatih dengan dasar kemiliteran jika tidak terkontrol tentu dapat berdampak pada aspek keamanan. Jangan sampai latihan dasar kemiliteran nanti justru menjadi tempat dan ajang untuk pelatihan gratis bagi para pelaku kejahatan seperti kelompok terorisme, separatisme dan kelompok kejahatan lainnya.

Masalah lainnya adalah berkait komponen cadangan berupa sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional di mana prinsip kesukarelaan yang diadopsi UU PSDN diabaikan. Untuk menjadi komponen cadangan, kedua sumber daya serta sarana dan prasarana yang dikelola baik oleh warga negara maupun swasta tersebut hanya melewati verifikasi dan klasifikasi (Pasal 51) oleh Kementerian Pertahanan tanpa kesukarelaan dari pemilik. Dengan demikian, UU ini tidak memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak properti yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Menyalahi aturan

Substansi dalam UU PSDN ini juga menyalahi tata peraturan perundang-undangan yang ada. UU PSDN mengatur anggaran yang didapat dari APBN, APBD serta sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 75). Padahal, menurut Pasal 25 UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Pasal 66 UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI,  sumber anggaran pertahanan hanya melalui APBN.

Selain itu, penerapan hukum militer terhadap komponen cadangan pada masa aktif yaitu saat pelatihan, penyegaran dan mobilisasi dalam situasi darurat militer adalah kurang tepat (Pasal 46). Dalam situasi bukan dalam darurat perang, semua warga sipil harus tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum. Hukum militer tidak dapat berlaku dalam situasi bukan dalam darurat perang. Dalam situasi damai hukum militer hanya berlaku untuk komponen utamanya yakni TNI.

Hukum militer tidak dapat berlaku dalam situasi bukan dalam darurat perang. Dalam situasi damai hukum militer hanya berlaku untuk komponen utamanya yakni TNI.

Presiden perlu menimbang ulang terkait dengan penerapan UU PSDN ini karena masih terdapat substansi pasal-pasal yang bermasalah. Masih ada waktu untuk Presiden melakukan legislative review terhadap UU ini sebelum UU ini diimplementasikan. Pembentukan komponen cadangan tanpa pengaturan yang lebih rinci dan lebih benar akan menimbulkan masalah sendiri bagi keamanan, kebebasan dan kehidupan demokrasi di Indonesia.

Al Araf, Direktur Imparsial dan mahasiswa program doktoral Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Kompas, 29 November 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger