Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 November 2019

TRANSFORMASI EKONOMI: Urgensi Transformasi Ekonomi Jokowi (AGUS HERTA SUMARTO)


KOMPAS/ALIF ICHWAN

Aktivitas bongkar-muat di pelabuhan peti kemas, Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (11/11/2019).  

Pada pidato pelantikan presiden-wakil presiden terpilih 20 Oktober 2019, Jokowi menyampaikan lima strategi besar ekonomi yang akan digunakan selama masa pemerintahan keduanya, lima tahun ke depan. Lima strategi ini merupakan rencana strategis (renstra) Jokowi beserta tim ekonominya guna menjadikan Indonesia lima besar kekuatan ekonomi dunia pada 2045.

Targetnya pun cukup ambisius: penurunan tingkat kemiskinan hingga mendekati nol persen dan produk domestik bruto (PDB) mencapai 7 triliun dollar AS dengan pendapatan per kapita per tahun Rp 320 juta.

Kelima strategi besar ekonomi itu, pertama, pembangunan sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang terampil dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, melanjutkan pembangunan infrastruktur di sejumlah daerah, terutama untuk mendukung kawasan-kawasan industri. Ketiga, melakukan penyederhanaan regulasi (deregulasi) berbagai peraturan yang dinilai menghambat investasi dan sektor industri.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto aerial pekerjaan konstruksi Jalan Tol Jakarta-Cikampek II (Elevated) atau Jalan Tol Jakarta-Cikampek Layang Km 43 di Telukjambe Barat, Karawang, Jawa Barat, Selasa (19/11/2019).  

Keempat, melakukan penyederhanaan birokrasi (debirokratisasi) yang selama ini terlalu panjang dan rumit. Kelima, melakukan transformasi ekonomi: mengubah struktur pendapatan ekonomi dari semula mengandalkan sumber daya alam menjadi sektor industri manufaktur yang berdaya saing, modern, dan bernilai tambah tinggi.

Dari kelima strategi besar itu, transformasi ekonomi sebenarnya menjadi gong dan ruh bagi keempat strategi sebelumnya. Transformasi ekonomi melalui penyesuaian struktural merupakan strategi inti yang menjadi dasar dari strategi-strategi lain serta memiliki dampak sistemik ke sektor-sektor lainnya.

Dari kelima strategi besar itu, transformasi ekonomi sebenarnya menjadi gong dan ruh bagi keempat strategi sebelumnya.

Transformasi ekonomi dengan menjadikan sektor industri pengolahan menjadi faktor pendorong perekonomian nasional memiliki berbagai prasyarat yang harus dipenuhi. Yang paling utama adalah lingkungan ekonomi yang ramah terhadap perkembangan sektor industri dan investasi. Transformasi ekonomi melalui penyesuaian struktural akan mampu menciptakan sistem ekonomi yang lebih efisien, berdaya saing, dan produktif sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkeadilan.

KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR

Sekitar 6.000 tenaga kerja konstruksi pada acara peluncuran sertifikat elektronik tenaga kerja konstruksi di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (12/03/2019).

Tiga pilar

Setidaknya terdapat tiga pilar utama yang harus dilakukan pemerintah dalam lima tahun ke depan, yaitu ketersediaan infrastruktur yang memadai, regulasi dan birokrasi yang ramah investasi, dan ketersediaan SDM berkualitas. Pembangunan infrastruktur oleh pemerintahan Jokowi–JK lima tahun terakhir merupakan langkah tepat. Namun, infrastruktur tersebut masih memerlukan infrastruktur yang mendukung dan menyangga infrastruktur utama.

Pelabuhan dan kawasan industri memerlukan infrastruktur jalan raya yang memadai dan mendukung proses transportasi yang menghubungkan antara pusat industri dan pelabuhan. Sampai saat ini, beberapa infrastruktur pendukung itu belum sepenuhnya tersedia dengan baik sehingga beberapa infrastruktur yang telah dibangun belum bisa berfungsi optimal.

Pilar kedua, regulasi dan birokrasi yang ramah terhadap perkembangan industri dan investasi. Menurut Indeks Kemudahan Berusaha 2019 versi Bank Dunia, salah satu permasalahan utama lingkungan ekonomi yang menghambat perkembangan industri dan investasi adalah regulasi dan birokrasi.

KOMPAS/ AGUS SUSANTO

Foto aerial konstruksi tiga proyek infrastruktur nasional yang bersinggungan dengan Simpang Susun Cikunir di Kota Bekasi, Jawa Barat, Minggu (17/11/2019).

Masalah birokrasi dan regulasi ini terkait aspek penegakan kontrak/perjanjian (enforcing contract) dan aspek memulai usaha (starting business), yaitu prosedur, biaya, dan waktu yang dibutuhkan untuk melalui berbagai birokrasi dan regulasi itu. Jika masalah birokrasi dan regulasi ini tak dapat dihilangkan dengan baik, proses industrialisasi berdaya saing menuju ekonomi yang maju akan kian jauh dari harapan.

Setidaknya terdapat tiga pilar utama yang harus dilakukan pemerintah dalam lima tahun ke depan, yaitu ketersediaan infrastruktur yang memadai, regulasi dan birokrasi yang ramah investasi, dan ketersediaan SDM berkualitas.

Pilar ketiga, ketersediaan SDM yang produktif. Salah satu syarat dalam meningkatkan produktivitas SDM Indonesia saat ini adalah dengan meningkatkan kualitasnya. Saat ini, kualitas SDM kita masih kalah dibandingkan beberapa negara besar ASEAN.

Peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, bahkan Filipina. Indonesia di peringkat ke-116 dunia, sedangkan Singapura (9), Brunei Darussalam (39), Malaysia (57), Thailand (83), dan Filipina (113). Artinya, daya saing SDM kita dalam persaingan global masih sangat rendah.

Jika tiga pilar tersebut bisa ditingkatkan secara baik dan komprehensif, langkah Jokowi dan tim ekonominya untuk melakukan transformasi ekonomi dengan mendorong sektor industri manufaktur akan tercapai dengan baik, yaitu industri yang berdaya saing, bernilai tambah, dan memiliki orientasi digital (digital oriented). Indeks daya saing Indonesia saat ini masih kalah dibandingkan dengan Singapura (peringkat ke-1), Malaysia (ke-27), dan Thailand (ke-40).

KOMPAS/RIZA FATHONI

Pekerja memproduksi ban di pabrik PT Multistrada Arah Sarana Tbk di kawasan Lemahabang, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (20/11/2009).

Namun, di sisi lain, penciptaan industri berdaya saing harus diikuti dengan strategi pemasaran yang kuat dan baik. Pembangunan sektor industri yang berdaya saing seharusnya diarahkan pada peluang pasar ekspor yang tersedia. Untuk membaca peluang pasar ekspor, pemerintah perlu meningkatkan fungsi kecerdasan pemasaran (marketing intelligence) sehingga bisa mengetahui kebutuhan dan peluang pasar di setiap negara.

Pemerintah juga harus bisa lebih memanfaatkan kebijakan nontarif (NTM) sebagai instrumen melindungi dan meningkatkan daya saing produk nasional yang selama ini belum dimanfaatkan dengan baik. Bahkan, selama ini, perdagangan Indonesia sering kali dirugikan oleh ketentuan NTM negara lain, sementara Indonesia belum memanfaatkan NTM untuk kepentingan industri dan perdagangan dalam negeri.

Untuk membaca peluang pasar ekspor, pemerintah perlu meningkatkan fungsi kecerdasan pemasaran(marketing intelligence)sehingga bisa mengetahui kebutuhan dan peluang pasar di setiap negara.

Jika output sektor industri bisa diarahkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor, kebutuhan dan peluang pasar global, industri dan sektor perdagangan bisa saling menguatkan. Tak akan ada lagi masalah defisit neraca perdagangan yang selama ini selalu menghantui neraca transaksi berjalan Indonesia.

(Agus Herta Sumarto, Dosen Universitas Mercu Buana dan Peneliti Indef)

Kompas, 23 November 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger