Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 01 Desember 2019

KATA KOTA: Cerdas Kotanya (NELI TRIANA)


What is the city but the people?Pernyataan, bukan pertanyaan, William Shakespeare dari The Tragedy of Coriolanus ini sengaja dicomot oleh Anthony M Townsend demi menggiring pembacanya bernalar, bahkan sejak awal memulai membuka karyanya, Smart Cities: Big Data, Civic Hackers, and The Quest for A New Utopia.

Segala sesuatu tentang manusia, perilaku, gaya hidup, hingga kebijakan pengelolaan yang diambil akan menjiwai serta menentukan ekspresi suatu kota. Apakah telah menjadi kota bahagia dengan kata lain warganya terpuaskan atau sebaliknya, sangat ditentukan dari terpenuhi atau belumkah kebutuhan penghuni kota itu.

Pelayanan publik yang baik, mulai pelayanan kebutuhan administrasi kependudukan, sistem keamanan kota, hingga sistem transportasi publik yang baik adalah sebagian dari kebijakan yang dapat memuaskan warga.

Marco Rubio, anggota partai Republik yang juga senator asal Florida, Amerika Serikat, dalam Time terbitan 25 November lalu menuliskan bahwa pelayanan publik bukan tentang menjadi headlines (pemberitaan di media massa atau media sosial), tetapi tentang memecahkan isu-isu nyata yang dihadapi warga yang hidup dan bekerja di komunitas atau kota kita.

Marco menuliskan itu sebagai pengantar pendapatnya tentang koleganya dari sesama partai, Wali Kota Miami Francis Suarez, yang menjadi salah satu dari 100 tokoh yang terpilih dalam Time Next 100. Francis, secara tersirat menurut Marco, telah berupaya keras dalam mencari pemecahan atas isu kenaikan muka laut dan ketahanan kota hingga solusi untuk kekerasan maupun kejahatan dengan senjata api. Perumahan publik pun dinilai mulai terpenuhi dengan hadirnya kompleks Liberty City di Miami.

Di Indonesia, pengelola kota juga terus berlomba menghadirkan pelayanan publik yang mumpuni. Di Kota Tangerang Selatan, misalnya, di tengah isu macet, kurang air bersih, lahan yang sebagian besar dikuasai pengembang swasta, kini warganya bisa sedikit berlega hati. Urusan administrasi kependudukan dilayani satu atap dan profesional. Setidaknya hak dasar warga yaitu diakui hak sipilnya dengan kemudahan mengakses dan mendapat legalitas sebagai warga negara terpenuhi.

Warga Tangsel yang ingin mengurus akta kelahiran, kartu induk anak, kartu keluarga dan berbagai administrasi kependudukan lain, sekarang tinggal mempelajari syarat-syaratnya via daring di situs Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Tangerang Selatan. Lengkapi segala persyaratan dan datang sesuai dengan jadwal janji temu di kantor disdukcapil seusai mendaftar secara daring.

Oktober lalu, merasakan benar terlayani oleh sistem yang jelas dan ada kuota jumlah warga yang bisa dilayani per hari. Antrean tidak terlalu panjang. Ruang tunggu cukup nyaman berpendingin ruangan. Datang sejak sekitar pukul 08.00, perbaruan kartu keluarga (KK) bisa diambil hari itu juga sekitar pukul 13.00. Demikian juga dengan kartu identitas anak (KIA). Tanpa calo, tanpa pungutan liar alias pungli. Ini wow banget bagi warga yang selama bertahun-tahun dipaksa biasa mengurus masalah administrasi kependudukan lewat calo dan bayar hingga ratusan ribu rupiah.

KOMPAS/NELI TRIANA

Suasana saat warga mengantre di Disdukcapil Tangerang Selatan, 1 Oktober lalu.

KOMPAS/NELI TRIANA

Suasana saat warga mengantre di Disdukcapil Tangerang Selatan, 1 Oktober lalu.

Jika datang sejak pagi, kartu keluarga baru bisa diambil hari itu juga sekitar pukul 13.00. Demikian juga dengan kartu induk anak (KIA). Tanpa calo, tanpa pungutan liar. Ini wow banget bagi warga yang selama bertahun-tahun dipaksa biasa mengurus masalah administrasi kependudukan lewat calo dan bayar hingga ratusan ribu rupiah.‎

Terobosan dalam pelayanan administrasi kependudukan dengan penerapan teknologi itu merupakan adopsi dari sistem serupa yang sudah banyak dilakukan di banyak kota cerdas lain di dunia juga di Indonesia. Era baru yang menjanjikan dan mungkin salah satu bagian penerapan konsep kota cerdas yang sudah cukup berhasil.

Akan tetapi, tidak semua konsep pengelolaan bisa diadopsi massal di semua kota. Saat ini, di Jabodetabek, boleh dibilang semua kotanya masih gagap dalam menyediakan layanan jaringan transportasi publik. Jakarta yang telah memiliki angkutan massal berbasis bus dan kereta dengan jangkauan paling luas serta daya angkut paling besar pun masih harus usaha ekstra keras agar warganya mau meninggalkan sepeda motor dan mobil pribadi, juga ojek dan taksi daring.

Konsep angkutan pengumpan, berupa armada bus sedang dan microbus yang seharusnya makin mendekati first mileatau titik awal keberangkatan penumpang dan last mile atau tujuan akhir penumpang, belum juga bisa memenuhi kebutuhan warga.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Trotoar dipenuhi kendaraan ojek daring yang tengah parkir sehingga memaksa pejalan kaki di Jalan Pluit Indah, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (30/10/2019), harus berjalan di badan jalan.

Bayangkan, ya, di sebagian Eropa atau Amerika Serikat, kota-kota besarnya berupa blok-blok dengan jalan-jalan lurus, trotoar lebar. Mereka tidak membutuhkan kendaraan sekelas mikrolet untuk menghubungkan dengan bus kota atau kereta komuter dari rumah mereka. Halte bus atau stasiun kereta bisa ditemukan kurang dari 1 kilometer bahkan 500 meter dari rumah atau tujuan mereka.

Di Jabodetabek, ada kawasan-kawasan yang sudah tertata layaknya di benua biru. Akan tetapi, di area lain, rumah warga bisa berada di tengah kawasan hunian dengan jalur akses kadang lurus, kadang meliuk-liuk, dengan lebar tak seberapa. Untuk mencapai jalan terdekat yang dilewati mikrolet saja bisa ratusan meter jauhnya.

Jabodetabek yang berada di kawasan tropis berarti cuaca panas tak terkira akrab saat kemarau atau hujan lebat pada musim hujan. Jalur pejalan kaki yang nyaman baru tersedia di area tertentu. Sementara kebutuhan bermobilitas itu terjadi setiap hari setiap saat di mana saja. Tidak perlu geleng-geleng risau jika sepeda motor yang mampu masuk ke gang sempit hingga jalan raya, jadi pilihan.

Jabodetabek yang berada di kawasan tropis berarti cuaca panas tak terkira akrab saat kemarau atau hujan lebat pada musim penghujan. Jalur pejalan kaki yang nyaman baru tersedia di area tertentu. Sementara kebutuhan bermobilitas itu terjadi setiap hari setiap saat, jadi tidak perlu geleng-geleng risau jika sepeda motor yang mampu masuk ke gang sempit hingga jalan raya, jadi pilihan.

Mungkin hanya yang berniat dan bermental baja yang akan memakai sepeda dari rumahnya ke tempat pemberhentian mikrolet yang masuk jaringan JakLingko, halte bus Transjakarta, atau stasiun kereta terdekat. Eh, tetapi ternyata belum semua atau bisa dikatakan sedikit sekali halte bus terkoneksi dengan lahan parkir sepeda atau kendaraan non-motor pribadi maupun yang disediakan pihak swasta. Di tempat berhenti angkutan JakLingko, apalagi.

Jadi wajar saja jika skuter listrik dan sewa sepeda di Jabodetabek lebih asik untuk sekadar senang-senang, jadi tren untuk bergaya swafoto, ketimbang menjadi alternatif alat mobilitas atau pengumpan jarak dekat. Apalagi fasilitas itu juga masih terpusat di lokasi-lokasi tertentu saja.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Warga mengendarai skuter listrik sewaan di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2019).

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Jalur khusus sepeda di Jalan Pramuka, tepatnya di depan Pasar Pramuka, Palmerian, Matraman, Jakarta Timur, telah berubah fungsi menjadi tempat parkir mobil, Kamis (21/11/2019).

Inilah Jakarta, inilah Jabodetabek, yang mungkin mirip dengan kota-kota di Asia lain yang masih dalam proses menuju kota maju, bagian dari upaya menuju negara maju. Karakteristik kota yang sedemikian majemuk perlu dikenali dan dipahami untuk bisa menentukan kebijakan pengelolaan yang tepat.

Sekadar mengadopsi berbagai konsep pengelolaan dengan penerapan teknologi maju, hanya akan menjadi pemulas semata biar terlihat modern dan cerdas. So, what is the city but the people? Benar, kan.



Kompas, 1 Desember 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger