Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 30 November 2019

TAJUK RENCANA: Mahdi dan Demo Anti-pemerintah (Kompas)


AFP/HAIDAR HAMDANI

Para pelayat menaikkan peti berisi jenazah pengunjuk rasa ke atap mobil sebelum dimakamkan di pemakaman di Najaf, Kamis (28/11/2019). Korban adalah pengunjuk rasa yang terbunuh dalam bentrokan antara demonstran antipemerintah dan pasukan keamanan Irak.

Jumlah korban akan terus bertambah. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta Irak menghentikan dan menginvestigasi penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Namun, permintaan itu seperti diabaikan pemerintahan Irak yang dipimpin Perdana Menteri (PM) Adel Abdel Mahdi.

Rabu dan Kamis merupakan hari kelam bagi demonstran di Irak. Setelah terjadi pembakaran konsulat Iran di Najaf, Rabu (27/11/2019), PM Mahdi meminta aparat militer memulihkan keamanan di beberapa provinsi yang bergejolak. Namun, sehari setelah konsulat terbakar, terjadi demo di Nasiriya, tempat kelahiran Mahdi, yang menyebabkan sedikitnya 40 orang meninggal, sebagian di antaranya ditembak di tempat oleh aparat militer (Kompas, 29/11/2019).

Mereka meneriakkan yel-yel yang meminta Mahdi mundur dari jabatannya.

Menyusul unjuk rasa itu, Mahdi memecat Jenderal Jamil Shummary. AFP melaporkan, bentrokan berlanjut hingga Kamis malam. Dalam pidato mingguannya, Jumat, ulama terkemuka Syiah, Ayatollah Ali Sistani, yang tinggal di Najaf, menyerukan munculnya pemerintahan baru. Sejak awal, ulama ini mendukung gerakan demonstrasi dan berulang kali menyerukan pemerintah tak menggunakan kekerasan.

Sebagian pengamat mengatakan, pembakaran konsulat Iran di Najaf menjadi pintu masuk pemerintah bertindak lebih keras terhadap pengunjuk rasa. Padahal, sebagian besar pengunjuk rasa adalah pemuda yang merasakan langsung dampak dari impitan ekonomi dan pengangguran. Pembakaran itu meningkatkan eskalasi kekerasan di Irak karena demonstran tetap meminta Mahdi turun.

Atas permintaan Irak, Iran mengutus Komandan Garda Revolusi Qasem Soleimani untuk membantu Irak mengatasi unjuk rasa yang meluas, khususnya di selatan Irak. Mereka meneriakkan yel-yel yang meminta Mahdi mundur dari jabatannya. Mahdi mengaku bisa mengerti mengapa warga Irak frustrasi dan terus menggelar unjuk rasa.

PHOTO BY AFP

Seorang wanita Irak meneriakkan yel-yel dan mengibarkan bendera negara selama protes anti-pemerintah di pusat kota suci Irak, Najaf pada (30/10/2019)

PM Mahdi baru menjabat setahun lalu, tetapi selama itu dia dinilai belum berbuat apa-apa. Susahnya lagi, dua ulama populer Syiah, Muqtada Sadr dan al-Sistani, punya pandangan berbeda terkait demo dan eksistensi PM Mahdi. Sadr yang ikut bertemu Soleimani menyetujui Mahdi tetap di posisinya.

Menurut lembaga Transparency International, sejak Saddam Hussein jatuh, sebanyak 450 miliar dollar AS telah lenyap dari kas negara Irak. Tingkat korupsi yang tinggi diduga telah menyebabkan pengangguran tinggi, kesulitan ekonomi, serta kelangkaan obat, air, dan listrik. Hampir tidak ada kegiatan ekonomi, terutama di Irak bagian selatan. Beberapa pengamat menyebut Irak nyaris jatuh ke jurang negara gagal.

Akankah pengunduran Mahdi menyelesaikan masalah? Atau, pengganti Mahdi dengan dukungan Iran akan kian keras menghadapi pengunjuk rasa. Ketika di area politik muncul perbedaan, kian sulit untuk menemukan solusi yang bisa ditawarkan, apalagi diterima rakyat Irak.

Kompas, 30 November 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger