Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 07 Februari 2020

OBITUARI: Gus Sholah, Ulama Visioner Itu, Berpulang (ROBIKIN EMHAS)


KOMPAS/AGUS SUSANTO

Ketua Umum Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdurrahman Wahid tertawa bersama mantan calon wakil presiden dari Partai Golkar, Salahuddin Wahid, sebelum dimulainya Musyawarah Kerja Nasional III PKB di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Selasa (31/8/2004).

Kakak adik, Gus Dur dan Gus Sholah, pernah berpolemik sengit pada 1998. Mereka saling bantah dan kritik melalui tulisan opini di media. Mereka bahkan diundang salah satu stasiun televisi atas perdebatan itu.

Topiknya kelas berat: relasi antara agama (Islam) dan negara, merujuk pada pemikiran sang ayah yang terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 22 Juni 1945, yang kemudian menghasilkan Piagam Jakarta.

Sang kakak mulanya menulis "A Wahid Hasyim, NU, dan Islam" pada 8-9 Oktober 1998. Delapan hari kemudian, sang adik menyanggah dalam artikel "KH A Wahid Hasyim, Pancasila". Mereka berpolemik hingga kemudian masing-masing menulis tiga artikel.

Kakak dan adik itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Salahuddin Wahid (Gus Sholah), berdebat terbuka dalam menafsirkan sikap sang ayah, Wahid Hasyim, yang ikut menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta hingga sila pertama Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Entah siapa yang menang atau lebih kuat argumentasinya. Para pembaca pastilah punya kesimpulan sendiri. Yang pasti, mereka tak berhenti di situ. Duo Wahid ini tetap saling kritik secara terbuka, dalam topik sejenis ataupun tema lain, sampai-sampai publik menganggap mereka bermusuhan.

Apalagi, keduanya juga bersimpang jalan dalam hal politik praktis: Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa, sementara Gus Sholah bersama pamannya, Yusuf Hasyim, mendirikan Partai Kebangkitan Umat.

Perselisihan dua cucu pendiri Nahdlatul Ulama, Hasyim Asy'ari, itu sesungguhnya hanya pada tataran ilmiah, paling banter pada perbedaan sikap politik. Meski sering berbeda pandangan, Gus Sholah tetap mencintai, menghormati, dan mengagumi Gus Dur sebagai seorang kakak sekaligus tokoh. Gus Dur, sebaliknya, juga menghormati Gus Sholah, sang adik serta mitra tanding dalam perdebatan ilmiah.

Ketika Gus Sholah memimpin Pesantren Tebuireng, pesantren yang didirikan sang kakek, Hasyim Asy'ari, di Jombang, Jawa Timur, Gus Dur berkali-kali mengunjungi adiknya sekaligus berziarah di makam kakeknya.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hajriyanto Y Thohari; pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Salahuddin Wahid; dan Wakil Ketua Komisi I Tubagus Hasanuddin (dari kiri ke kanan) menjadi pembicara dalam Dialog Pilar Negara di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2013). Diskusi menyoal rekrutmen ideal kepemimpinan nasional.

Sang teknokrat

Jika melihat reputasi, apalagi nasab sebagai keturunan darah biru Hasyim Asy'ari, tak salah apabila orang menganggap Gus Sholah adalah kiai atau ulama tulen. Membaca tulisan-tulisan ilmiahnya tentang kebangsaan dan keislaman, apalagi tentang demokrasi, orang juga menduganya cendekiawan politik.

Membaca tulisan-tulisan ilmiahnya tentang kebangsaan dan keislaman, apalagi tentang demokrasi, orang juga menduganya cendekiawan politik.

Sebenarnya Gus Sholah bukan cuma itu. Lebih seperempat usianya justru dihabiskan untuk bidang di luar itu. Gus Sholah adalah arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung. Ia pernah merintis karier di bidang kontraktor: menjabat direktur utama sebuah perusahaan konsultan teknik, sekretaris jenderal di Ikatan Konsultan Indonesia, associate directorperusahaan konsultan properti internasional, dan lain-lain. Sepanjang 1970-1997, sebagian besar aktivitasnya di bidang arsitektur dan konstruksi.

Namun, dia meninggalkan semua itu pada 1998 dan kembali menulis. Artikelnya tersebar di koran-koran nasional, menyoroti berbagai persoalan yang sedang dihadapi umat dan bangsa. Pada masa itulah, dia mulai kerap berpolemik dengan Gus Dur.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama memberikan sambutan sebelum menyerahkan penghargaan Cendekiawan Berprestasi 2013 kepada lima tokoh dan narasumber yang selama ini memberikan kontribusi pemikiran dan tulisan kepada Kompas di Jakarta, Kamis (27/6/2013). Kelima penerima penghargaan tersebut adalah Ahmad Syafii Maarif, Benjamin Mangkoedilaga, Budi Darma, Salahuddin Wahid, dan Karlina Supelli (kiri ke kanan).

Gus Sholah lantas bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) dan menjadi Ketua Majelis Pengurus Pusat ICMI 2000-2005, organisasi yang sering dikritik Gus Dur karena dianggap bentukan pemerintah Orde Baru. Sejumlah kalangan menganggap bergabungnya Gus Sholah ke ICMI mewakili komunitas NU, sementara Gus Dur dengan jutaan warga nahdliyin di belakangnya menentang organisasi itu.

Gus Sholah juga dikenal sebagai pegiat atau pembela hak asasi manusia (HAM). Tak lama setelah Gus Dur dilengserkan dari kursi kepresidenan, Gus Sholah terpilih sebagai Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2002-2007.

Di Komnas HAM, ia sempat memimpin TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) untuk menyelidiki kasus kerusuhan Mei 1998, menjadi Ketua Tim Penyelidik Ad Hoc Pelanggaran HAM Berat kasus Mei 1998, dan Ketua Tim Penyelidikan Kasus Pulau Buru.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Sejumlah tokoh agama, di antaranya (dari kiri ke kanan) KH Salahuddin Wahid; pendiri Maarif Institute, Buya Syafii Maarif; Pendeta Obednego Mauri; dan Pendeta Gomar Gultom; saat konferensi pers di Sekretariat Maarif Institute, Jakarta, Selasa (29/11/2011). Para tokoh lintas agama meminta dibentuknya sebuah tim independen untuk pengusutan berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.

Di tengah periode jabatannya, 2004, Gus Sholah mengundurkan diri setelah dipinang Wiranto untuk berpasangan sebagai calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu tahun itu. Gus Dur ternyata mendukung Gus Sholah.
Sayang, pasangan Wiranto-Gus Sholah terhenti di putaran pertama karena perolehan suara mereka di posisi ketiga setelah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi.

Memimpin Tebuireng

Sesudah bergelut dengan dunia politik praktis, Gus Sholah membuat keputusan yang mengubah kiprahnya. Pada Februari 2006, pesantren yang didirikan kakeknya, Tebuireng, membutuhkan tenaga dan pikirannya.

Waktu itu, Tebuireng dipimpin oleh sang paman, Yusuf Hasyim alias Pak Ud, yang mengundurkan diri setelah 41 tahun memimpin sejak 1965. Pak Ud menyerahkan estafet kepemimpinan kepada Gus Sholah dan sang kemenakan menyanggupinya.

Maka, Gus Sholah pun kembali ke habitat: mengurus pesantren dan umat. Dia mengerahkan segenap kemampuan dan latar belakang teknokratnya untuk mengelola pesantren warisan kakeknya. Di saat yang sama, ia kembali rajin menulis tentang masalah-masalah kebangsaan dan keislaman, mencurahkan perhatian pada NU, terutama dalam hal pentingnya NU menjaga khitah sebagai organisasi kemasyarakatan.

KOMPAS/DODY WISNU PRIBADI

Pondok Pesantren Tebuireng melalui pengasuhnya, KH Salahuddin Wahid, dan Komunitas Tebuireng, termasuk mantan Menteri Agama KH Tholhah Hasan, menyampaikan pesan kebangsaan Tebuireng demi mencermati kondisi mutakhir persatuan bangsa yang sangat memprihatinkan, juga tajamnya kesenjangan antara kehidupan kebanyakan rakyat dan cita-cita kebangsaan para pendiri bangsa. Pernyataan pesan itu disampaikan pada Minggu (5/2/2017) di Jombang, Jawa Timur.

Gus Sholah memodernisasi sistem pendidikan di Pesantren Tebuireng. Para guru diminta menyusun prosedur standar operasi bagi kegiatan belajar-mengajar setelah dilatih tim konsultan profesional. Sistem full day schoolditerapkan di semua unit pendidikan mulai 2007. Bahkan, para pembina santri dibekali pelatihan kedisiplinan dan psikologi sehingga mereka dapat menjalankan tugas dengan baik. Dibangun gedung-gedung baru sebagai sarana penunjang pendidikan.

Salah satu terobosan Gus Sholah ialah mendirikan lembaga pendidikan baru bernama SMA Trensains (akronim dari pesantren dan sains) pada 2013. Sekolah hasil kerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu menggabungkan sistem pendidikan agama ala pesantren dan nasional dengan sains. Kata Gus Sholah, pembelajarannya mengedepankan dialektika agama dengan sains agar lulusannya beriman dan takwa sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tidak banyak, bahkan nyaris tidak ada, pesantren dengan pola pendidikan demikian. Sejauh ini, pesantren memang lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan keagamaan meski belakangan telah banyak yang mengadopsi sistem pendidikan nasional. Kalaupun ada niat, biasanya hal itu ditentang banyak orang karena dianggap menyimpang.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Tokoh lintas agama, antara lain Franz Magnis-Suseno, Shalahuddin Wahid, D Situmorang, dan Andreas A Yewangoe (kiri ke kanan), memberi keterangan seusai bertemu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (11/1/2012), di Jakarta.

Namun, Gus Sholah berani membuat keputusan "menyimpang" dari tradisi sekaligus revolusioner bagi kalangan pesantren dan NU. Bagaimanapun, NU dan umat Islam secara umum harus menyiapkan generasi yang melek sains serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tak hanya mumpuni dalam bidang keagamaan.

Keputusan Gus Sholah mendirikan SMA Trensains itu memang visioner. Gus Sholah seolah sedang meramal bahwa masa depan santri ada di situ. Para santri harus mengisi peradaban dunia sebagaimana para ilmuwan Muslim terdahulu, Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Rusyd (Averoes), Al-Khawarizmi, Al-Kindi, Al-Biruni, Al-Farabi, dan lain-lain.

Gus Sholah sudah membukakan jalan bagi santri-santri generasi mendatang meski sejak awal dia tahu tak akan menikmati hasilnya. Tugas generasi sekarang merawat dan memajukan yang telah dia wariskan. Selamat jalan, Gus!

(Robikin Emhas, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)

Kompas, 5 Februari 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger