Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 07 Februari 2020

EPILOG: Teater Raja-raja Gadungan (PUTU FAJAR ARCANA)


Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas

Sudah pasti Idrus bin Pohon dan Markonah tidak mengenal Moliere. Dramawan Perancis yang hidup antara 1622-1673 itu dikenang karena lakon-lakon komedinya yang menggelitik; memancing tawa sekaligus mengkritik realitas absurd masyarakat pada abad ke-17.

Namun, Idrus dan Markonah ibarat seorang aktor yang sedang memainkan lakon "Dokter Gadungan" di atas panggung sejarah Indonesia.

Aktingnya yang meyakinkan berhasil mengelabui Presiden Soekarno, wali kota, anggota DPRD, serta jajaran pemerintah daerah di Jawa. Kedua aktor itu bahkan dijamu Wali Kota Jakarta Sudiro dalam satu acara makan malam bersama para anggota DRPD.

Mereka kemudian dikawal untuk bertemu dengan beberapa kepala daerah di Jawa. Idrus dan Markonah mengaku sebagai raja dan ratu dari Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi.

Konon, ia memiliki istana dalam goa besar yang berisi harta karun. Akhirnya, kisah lakon "komedi" ini berujung tragis. Idrus dan Markonah ditangkap CPM (Corp Polisi Militer) di Madiun. Kedok mereka terbongkar.

KOMPAS/AGNES THEODORA

Lakon "Dokter Gadungan" yang dibawakan Teater Katak dari Universitas Multimedia Nusantara di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (22/3/2014). Drama ini adaptasi dari naskah Perancis karya Moliere (1622-1673) berjudul "Le Medecin Malgre Lui".

Idrus tak lain hanyalah seorang warga biasa, ada pula yang menyebutnya bekerja sebagai tukang becak dan Markonah seorang PSK asal Tegal. Keduanya berjumpa saat Idrus dan lima pengawalnya melakukan perjalanan di Jawa Tengah. Lalu mereka "menahbiskan" diri sebagai raja dan ratu Suku Anak Dalam.

Sganarelle punya kisah sedikit berbeda. Ia dipaksa istrinya, Martine, menjadi dokter gadungan untuk mengobati putri Raja Gerone, Lucinde, yang sedang sakit aneh.

Sudah beberapa pekan Lucinde tidak bisa berbicara. Ketika Sganarelle hadir, dalam sekejap ia tahu bahwa Lucinde "hanya" melakukan aksi bisu karena ayahnya ingin menjodohkannya dengan Horatio.

Sebenarnya Lucinde sangat mencintai pacarnya, Leandre. Namun, hubungan itu dilarang Gerone karena lelaki idaman putrinya memiliki status sosial rendah alias miskin.

ARSIP KOMPAS

Moliere (kanan) yang dianggap perintis "Comedie Francaise" tampak menemani sarapan pagi Raja Perancis Louis XIV. Adegan ini adalah lukisan Jean Leon Gerome.

Ketika Sganarelle "berhasil" menyembuhkan Lucinde, pasangan yang saling mencintai itu kemudian melarikan diri. Sganarelle harus bertanggung jawab. Ia dijatuhi hukuman gantung oleh Raja Gerone.

Istrinya, Martine, buru-buru datang ke istana dan menjelaskan bahwa suaminya hanya seorang tukang kayu. Ia memaksanya menjadi dokter sebagai upaya balas dendam karena lelaki itu sering memukulnya.

Demikian kisah Moliere dalam "Dokter Gadungan", lakon yang sampai sekarang masih sering dimainkan. Kisah komedi yang tragis bukan?

Tentu kita dengan segera akan ingat kisah "raja dan ratu" bernama Sinuhun Totok Santoso Hadiningrat dan Kanjeng Ratu Dyah Gitarja dari Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah.

Keraton "raja dan ratu" yang sedang dalam pembangunan itu begitu meyakinkan publik dengan bongkahan batu besar bertatahkan prasasti dengan huruf-huruf Jawa.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Warga mendatangi lokasi yang disebut kompleks Keraton Agung Sejagat (OKAS) di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Selain itu, sebagai legitimasi publik, Totok Santoso dan Fanni Amanadia (nama asli Ratu Dyah Gitarja) mengadakan kirab bregada kerajaan lengkap dengan seragam dan bendera kebesaran, senjata, serta kuda.

Kirab prajurit ini benar-benar tampak "nyata" seperti kirab-kirab keraton di Nusantara. Arak-arakan seperti ini mengingatkan kita pada ritus-ritus upacara yang digelar raja-raja pada abad ke-19 di Bali.

Antropolog Clifford Geertz menelitinya untuk kemudian didokumentasikan dalam buku monumental berjudulNegara, The Theatre State in Ninteenth-Century Bali.

Buku ini kemudian diterjemahkan dengan judul yang tak kalah dramatis: Negara Teater. Geertz intinya berpendapat bahwa eksistensi kekuasaan raja-raja dikukuhkan lewat ritus-ritus upacara di mana raja dan pangeran bertindak selaku impresario, para pendeta adalah sutradara, dan para petani adalah aktor pendukung, penata panggung, sekaligus menjadi penonton.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Pentas Mahabharata: Asmara Raja Dewa oleh Teater Koma di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (22/11/2018).

Panggung pentas teater raja-raja abad ke-19 itu selalu menggunakan ruang publik sehingga mudah diakses oleh rakyat jelata sekalipun. Mitos tentang raja-raja pada masa lalu yang selalu memiliki silsilah "kekerabatan" dengan para dewa atau bahkan jelmaan para dewa itu sendiri, dilakonkan dengan sangat baik melalui teater besar bernama upacara.

Dengan demikian, upacara sendiri tak lain adalah medium untuk mengukuhkan wibawa raja di hati rakyat. Bukankah pementasan teater upacara semacam ini masih berlangsung sampai saat ini?

Setelah teater satu babak dari Totok dan Fanni berhasil dibongkar kedoknya sebagai ulah para penipu, fenomena ini tidak berhenti. Ia justru merembet memunculkan "negara-negara agung" seperti Sunda Empire, yang mengklaim tatanan negara besar bernama Sunda Nusantara.

Wilayah negaranya meliputi 54 negara di dunia, seperti Benua Australia, Papua Niugini, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, China, dan Rusia. Para pemimpinnya mengaku telah mendapatkan legitimasi dari lembaga dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Barang bukti berupa bingkai foto pada pengungkapan tindak penipuan melalui pendirian kerajaan Keraton Agung Sejagat, di Mapolda Jateng, Kota Semarang, Rabu (15/1/2020).

Oleh sebab itulah, Sekretaris Jenderal Sunda Empire Ki Agung Raden Rangga Sasana merasa perlu memakai atribut PBB. Struktur pemerintahan Sunda Empire bahkan dilengkapi perdana menteri yang dijabat oleh Nasri Bank dan kaisar dijabat Raden Ratna Ningrum.

Fenomena serupa muncul pula di Tangerang dengan sebutan Indonesia Mercusuar Dunia dengan rajanya bergelar King of The King Mr Dony Pedro. Kelompok ini memiliki skenario serupa dengan Idrus.

Mereka mengklaim memiliki kekayaan yang tersimpan di beberapa bank di dunia, termasuk bank di Swiss dengan jumlah kekayaan mencapai Rp 60.000 triliun. Jumlah seluruh kekayaan itu cukup untuk melunasi utang-utang Indonesia kepada bank-bank dan negara-negara di dunia.

Jika Idrus dan Markonah pada tahun 1958 "hanya" ingin menikmati hidup mewah dan dihormati, para petinggi Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, dan Indonesia Mercusuar Dunia memiliki modus melakukan penipuan bermotif investasi. Mereka mengiming-imingi "rakyatnya" dengan keuntungan berlipat ganda asal menyetorkan sejumlah duit.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Kapolda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Rycko Amelza Dahniel (depan, kedua dari kiri) mengungkap tindak penipuan melalui pendirian kerajaan Keraton Agung Sejagat, di Mapolda Jateng, Kota Semarang, Rabu (15/1/2020).

Meski sudah berjalan beberapa abad, kita tak pernah belajar dari Moliere. Jauh hari ia sudah mengolok-olok seorang raja yang dengan mudah diperdaya oleh seorang tukang kayu.

Namun, hari-hari belakangan ini, munculnya raja-raja gadungan dalam pentas teater kehidupan sehari-hari tak juga membuat kita segera tersentak adanya skenario besar yang dipenuhi tipu daya.

Pada masa Orde Lama, aksi muslihat bisa dengan mudah dilakukan karena kekurangan informasi. Keberadaan Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi belum banyak diekspos dalam berbagai jurnal penelitian.

Selain itu, pasca-kemerdekaan pemerintahan Soekarno sedang dihadapkan berbagai persoalan rumit. Ia harus menghadapi separatisme PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera bagian utara serta kebuntuan keuangan untuk melakukan operasi perebutan Irian Barat.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Kelompok HM Prodi Seni Teater IKJ mementaskan naskah "Si Bakhil", adaptasi karya Moliere di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (8/2/2013).

Maka, kehadiran Idrus dan Markonah yang menjanjikan harta karun, disambut secara gegap gempita. Masalahnya menjadi agak berbeda di masa kini. Totok Santoso dan Rangga Sasana terlihat sangat "lihai" menggunakan kekuatan media massa dan media sosial untuk memviralkan apa yang sedang mereka pentaskan.

Viral adalah bagian dari skenario untuk menunjukkan eksistensi mereka di hadapan publik. Bukankah itu yang dimaksudkan Geertz ketika meneliti tingkah raja-raja pada abad ke-19?

Fakta-fakta dan kemudian teori yang dibangun oleh antropolog dari Amerika itu telah menemukan kebenarannya di masa kini. Totok Santoso, Rangga, Fanni, Nasri, Ratna Ningrum, termasuk Idrus dan Markonah, bukanlah orang-orang yang sedang berhalusinasi.

Mereka juga tidak sedang menderita sakit jiwa. Mereka adalah orang-orang "sehat" dengan logika berpikir yang "sehat" dan kemudian menggunakan "kesehatan" berpikirnya secara sadar untuk melakukan manipulasi.

KOMPAS/EDDY HASBY

Keturunan Raja Puri Agung Ubud, Tjokorda Gde Agung Ichiro Sukawati, ditandu dari Puri Saren Agung Ubud, Kecamatan Gianyar, Bali, saat akan menjemput calon istrinya, Cokorda Istri Julyana Dewi, Selasa (15/4/2014).

Gejala yang tampak pada rakyat Bali sejak abad ke-19 sampai kini, meski raja-raja telah bertumbangan, tetap menumpukan kepercayaannya kepada ritus. Bahwa upacara adalah bagian penting dari pengukuhan.

Jika dulu pengukuhan itu diperoleh oleh para raja, kini "dimainkan" secara licik oleh para politisi. Jangan heran jika setiap saat terjadi pengukuhan dukungan kepada seorang politisi, hampir selalu melalui berbagai ritus upacara.

Dengan kata lain, kebenaran dan kesempurnaan itu terus-menerus bisa dibangun lewat berbagai gelaran upacara, termasuk upacara "kontemporer" di media sosial, yang disebut branding.

Diam-diam saya merasa membutuhkan Moliere. Dialah yang bisa menertawakan skenario gadungan, yang membuat seorang raja tak berkutik di hadapan seorang tukang kayu.

KOMPAS/AGNES THEODORA

Adegan pertunjukan "Dokter Gadungan" oleh Teater Katak dari Universitas Multimedia Nusantara di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (22/3/2014). Drama komedi ini adaptasi naskah Perancis karya Moliere berjudul "Le Medecin Malgre Lui".

Sganarelle memang dijatuhi hukuman gantung, tetapi ia selamat karena Leandre bukanlah seorang pengecut. Ia kembali dan menemui raja Gerone untuk melamar Lucinde.

Bukankah dalam "kegadungannya", Sganarelle berhasil meruntuhkan tradisi perjodohan yang dipegang teguh oleh para raja? Bukankah pula ia telah mempersatukan cinta sejati antara Lucinde dan Leandre?

Perjodohan adalah cinta gadungan yang dipaksakan pemilik kuasa terhadap yang dikuasai. Di tangan Moliere, kegadungan tidak berarti hitam putih.

Kemunculan Idrus, Markonah, Totok, Fanni, Nasri, dan Ratna Ningrum dibangkitkan oleh kondisi sosial ekonomi dan politik yang mengerucut hanya kepada beberapa kelompok elite.

KOMPAS/AGNES THEODORA

Pertunjukan "Dokter Gadungan" oleh Teater Katak dari Universitas Multimedia Nusantara di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (22/3/2014).

Dalam keelitean itulah justru, kulturpatronage dimanipulasi oleh orang-orang yang ingin berada dalam zona nyaman berkuasa dan menikmati privilese kekuasaan meski untuk waktu yang singkat.

Oleh sebab itu, pementasan teater dengan skenario besar tentang raja-raja gadungan masih sangat mungkin terus terjadi, sepanjang kenyamanan berkuasa itu hanya dinikmati segelintir elite.

Kompas, 5 Februari 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger