Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 24 April 2020

PANDEMI COVID-19: Pencegahan Covid-19 Versus HAM (HAMID AWALUDIN)


KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Uskup Agung Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko berdiri di depan altar saat membuka ibadah Jumat Agung di Gereja Katedral, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (10/4/2020). Ibadah itu berlangsung tanpa umat yang datang ke gereja untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19. Umat Katolik mengikuti ibadah selama Tri Hari Suci Paskah melalui televisi dan daring.

Pandemi Covid-19 datang mengentak dan melumat. Seisi dunia ketar-ketir dibuatnya. Sudah ratusan ribu nyawa terenggut dan jutaan orang positif mengidap virus. Warga planet Bumi hidup tidak sekadar dalam kecemasan dan ketidakpastian, tetapi juga harus menjaga jarak, bahkan mengisolasi diri, satu dari yang lainnya.

Kegiatan hidup warga dunia dihentikan, minimal sangat dibatasi. Sejumlah agenda dunia dibatalkan, seperti Olimpiade. Kegiatan ekonomi seolah lumpuh total. Kegiatan keagamaan pun ikut kena imbas. Serba dibatasi.

Pandemi ini menembus dinding-dinding negara, tak mengenal negara adidaya, negara sedang berkembang, hingga negara kecil di pelosok belahan dunia, yang susah sekali diketahui. Semuanya tertaklukkan. Indonesia bukan pengecualian dari itu semua.

Ikhtiar untuk menaklukkan virus ini tampaknya seragam secara global: melakukan pembatasan interaksi sosial. Kebebasan bergerak dan berkumpul sangat dibatasi. Indonesia menyebut ikhtiar ini dengan terminologi pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Di tengah ikhtiar kita semua membendung penyebaran virus dan menghentikan laju angka kematian manusia, tiba-tiba ada saja yang mempersoalkan ikhtiar kita itu atas nama hak asasi manusia (HAM). Mereka menganggap bahwa pembatasan bergerak adalah bentuk pelanggaran HAM karena mengangkangi kebebasan individu untuk leluasa bergerak kian kemari, dan memereteli kebebasan berkumpul yang dijamin dalam instrumen hukum HAM.

Di tengah ikhtiar kita semua membendung penyebaran virus dan menghentikan laju angka kematian manusia, tiba-tiba ada saja yang mempersoalkan ikhtiar kita itu atas nama hak asasi manusia (HAM).

Bencana umum

Pembatasan berkumpul dan bergerak dalam konteks Covid- 19 bukan hanya tidak melanggar segala ketentuan yuridis yang berkaitan dengan HAM, melainkan justru mutlak dilakukan oleh negara untuk melindungi warga negara.

Covid-19 adalah bencana dunia yang nyata-nyata hadir dan mengancam keselamatan manusia. Dalam konteks ini, Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966, dengan Indonesia menjadi salah satu negara penanda tangan konvensi, dengan jelas dan tegas menyatakan pada Pasal 4, dalam keadaan bencana umum, atau darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa, negara peserta konvensi bisa mengambil kebijakan yang mengesampingkan kewajiban mereka yang diatur dalam konvensi.

Yang dimaksud dengan kewajiban di sini ialah menjamin dilaksanakan atau diimplementasikannya hak-hak warga negara. Definisi bencana umum atau darurat umum harus memenuhi dua unsur utama, yaitu memengaruhi seluruh penduduk dan mengancam integritas fisik penduduk. Kedua unsur tersebut telah dipenuhi oleh penyebaran Covid-19.

Pengecualian tersebut harus diiringi beberapa persyaratan utama. Pertama, negara yang mengambil kebijakan pengecualian tersebut tidak boleh melakukan diskriminasi berdasarkan etnis, ras, agama, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, dan asal-muasal warga.

Persyaratan kedua, negara harus mengumumkan kepada publik mengenai kondisi yang membahayakan dan mengancam kehidupan warga negara, yang menjadi dasar pengecualian kewajiban-kewajiban tersebut.

Ketiga, negara harus mengumumkan jenis kebijakan atau tindakan yang dilakukannya, untuk mencegah, mengurangi laju, atau menghentikan bahaya yang mengancam tersebut. Dan, tindakan negara itu harus didasarkan pada hukum.

Keempat, organ atau pejabat yang mengumumkannya haruslah pejabat yang memiliki otoritas dari negara, yang memang berkaitan dengan kondisi yang membahayakan dan tindakan atau kebijakan yang diambil oleh negara.

Persyaratan kelima, kendati negara memiliki peluang untuk mengambil kebijakan yang tidak sejalan dengan kewajiban-kewajibannya yang diatur dalam konvensi, negara tetap tidak boleh mengesampingkan hak-hak yang mutlak (non-derogable rights).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Wartawan merekam pidato pengantar Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas Lanjutan Pembahasan Antisipasi Mudik dengan sejumlah menteri dan kepala daerah melalui telekonferensi video di ruang wartawan Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Kamis (2/4/2020).

Konvensi internasional mengenai hak-hak sipil dan politik ini secara detail dan jelas mengatur jenis-jenis non-derogable rights itu: hak untuk hidup, hak untuk tidak dijadikan budak ataupun diperbudak, tidak boleh ada penyiksaan atau diperlakukan secara tidak manusiawi, tiap orang harus diakui sebagai subyek hukum di mana pun ia berada, tidak dibolehkannya menghukum seseorang dengan hukum berlaku surut, tidak melarang ataupun membatasi kebebasan berpikir, hati nurani, serta agama.

Lantas ada yang menganggap bahwa non-derogable rights, khususnya kebebasan beragama, telah dilanggar oleh negara karena rakyat dilarang atau dibatasi secara ketat untuk berkumpul di masjid, gereja, pura, dan wihara. Kebijakan pembatasan atau larangan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebebasan beragama.

Negara hanya membatasi, atau melarang warga negara untuk sementara waktu, beribadah di masjid, gereja, pura, dan wihara karena di tempat-tempat itulah penularan Covid-19 secara masif terjadi dan sangat membahayakan hidup warga negara juga.

Sanksi

Yang patut kita beri kekhawatiran adalah pemberian sanksi yang berlebihan terhadap warga negara yang tidak mematuhi PSBB. Sebagaimana yang kita saksikan melalui layar televisi, ada aparat negara di daerah yang mengancam warganya yang melanggar PSBB dengan pukulan rotan. Tindakan berlebihan (excessive) itu bisa jatuh dalam kategori penyiksaan atau penganiayaan yang dilarang keras oleh konvensi (non-derogable rights).

Kebijakan pembatasan atau larangan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebebasan beragama.

Di atas segalanya, melarang dan membatasi pergerakan warga dalam kaitan Covid-19 merupakan ikhtiar pemerintah negara menjalankan kewajibannya: "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia" (Pembukaan UUD 1945).

(Hamid Awaludin

Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

Kompas, 24 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger