Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 20 Juli 2020

EPILOG: Kelepak Kata di Sayap Sapardi (PUTU FAJAR ARCANA)


Putu Fajar Arcana, Wartawan Kompas

Ketika memasuki ruang duka ada yang berbisik di telingaku: //berjalan di belakang jenazah angin pun reda/jam mengerdip/tak terduga betapa lekas/siang menepi, melapangkan jalan dunia…//

Aku lihat seseorang sedang terbaring berselimut putih. Tubuhnya ringkih, tetapi wajahnya teduh seperti mengulum senyum damai. Ada angin yang memukul-mukul jendela kaca. Tetapi kau tak ada lagi, cuma larik-larik sajakmu mendesir menggoyangkan gorden di kamar.

Ada isak tangis seorang perempuan. Beberapa yang lain berdiri kaku seperti cemara. Cuaca di sini seperti tiba-tiba beku. Sonya berbisik kepadaku, "Jam delapan tadi Bapak masih sadar minta teh, tapi cuma sehirup. Ia tak mampu lagi…" Tiba-tiba pukul 09.13 seorang suster berkata, "Tidak ada reaksi…."

Deg, jantungmu Sonya seperti dipukul gada yang mahaberat. Kau tahu kelanjutan kisahnya, tepat pukul 09.17 lelaki kurus yang kini terbaring itu telah dinyatakan pergi.

Seketika burung-burung penyap menjadi dinding, beku, dan kaku. Suaramu parau seperti jeritan perempuan tua di kejauhan cakrawala. Tubuh-tubuh berdiri dalam siluet cahaya senja yang meredup, perahu-perahu mengalir di bayang-bayang yang menjauh. Menuju ke manakah pengembara tua yang memanggul keranjang kata di bahunya?

Sambil sesegukan Sonya masih berkisah, bahwa Bapak sudah genap 12 hari dirawat di Eka Hospital BSD Tangerang Selatan. Aku dengar, baru beberapa hari kau dipindahkan dari ICU ke ruang perawatan bernomor 9199 di lantai 9.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Sastrawan Sapardi Djoko Damono

Aku tak tahu pasti mengapa angka-angka ini menunjuk sembilan semuanya? Sejak kamar, lantai, tanggal, sampai jam kepergianmu, semuanya berawal dan berakhir dengan sembilan. Sementara kau juga sedang menjalani usiamu menuju 81 tahun, dan itu pun jumlahnya akan menjadi sembilan.

Kau barangkali tak jua segera percaya kalau aku kutipkan sajak berikut ini:

Berjalan di Belakang Jenazah

berjalan di belakang jenazah angin pun reda

jam mengerdip

tak terduga betapa lekas

siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala

di atas: matahari kita, matahari itu juga

jam mengambang di antaranya

tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya  

Bukankah sejak judul sampai baris-baris berikutnya juga berjumlah sembilan? Sudah pasti kau tak bakal percaya soal tahayul, sebagaimana pula kau tak percaya bahwa angka sembilan adalah puncak dari perhitungan. Kau memang sudah mencapai puncak perhitungan setelah kata-kata luluh dalam lidahmu.

Ketika segala sesuatunya mencapai sembilan, maka perhitungan akan dimulai dari nol, dari kekosongan seperti juga katamu, "tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya".

Aku tahu, kosong tak berarti berakhir, justru menandakan perjalanan baru saja dimulai. Bukankah, kau juga yang bilang, "pada suatu hari nanti/ impianku pun tak dikenal lagi/ namun di sela-sela huruf sajak ini/ kau tak akan letih-letihnya kucari//.

Kau sedang memulai perjalanan jauh, yang tak pernah diceritakan oleh para penyair. Aku hanya mendapatkannya dari kisah-kisah para rasul yang berbicara dengan Tuhan, bahwa kematian bukanlah perhentian, tetapi garis mula yang memanjang sampai ke pintu nirwana.

KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO

Penyair Sapardi Djoko Damono

Soal ini, aku ingat kau pernah menggoreskan pena di atas kertas usang, lalu meluncurlah kata-katamu, "hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput/ nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini/ ada yang masih ingin kupandang yang selama ini senantiasa luput/ sesaat adalah abadi sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi".

Kau sedang mengajarkan kepadaku, bahwa kehidupan itu seperti selembar daun. Pada saatnya, ketika musim gugur tiba ia akan terlepas dan melayang, sebelum akhirnya jatuh di rerumputan. Hijau atau gersang tanahnya, selembar daun akhirnya memberi kehidupan yang panjang setelah menghancurkan tubuhnya menjadi zat bernama humus. Bukankah ketiadaan itu berarti permulaan hidup bagi yang lain?

Sajak-sajakmu, Sapardi, seperti kelepak sayap kata yang menggugurkan bunga-bunga, dan hinggap di hati banyak pencintamu. Secara bergurau kau sering bilang, "Mungkin mereka tak pernah melihat bukunya," katamu.

Bahkan, bagi banyak pencinta sajakmu, tak penting siapa penulisnya, yang utama adalah kata-kata itu sampai kepada para penghayatnya. Bisa saja, katamu lagi, sajak-sajak itu diberi nama Kahlil Gibran, atau para penghayat membubuhkan namanya sendiri untuk kemudian dikirimkan sebagai surat cinta kepada pacar-pacar mereka.

"Ah itu biar saja. Pada saatnya mereka akan tahu siapa penulis sesungguhnya," katamu. Aku terenyak. Kau tak pernah merasa dihinakan walau sajak-sajakmu dihayati begitu dalam, tetapi namamu tak pernah sedetik pun dicatat dalam ingatan. "Sajak itu membawa peruntungannya sendiri," ujarmu.

KOMPAS/M HILMI FAIQ

Ari dan Reda saat melagukan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono di Taman Ismail Marzuki dan ditonton ratusan anak muda pada Mei 2016. Lewat lagu-lagu mereka ini, puisi Sapardi makin membumi.

Pada titik ini, aku teringat Reda Gaudiamo, Ari Malibu, AGS Arya Dwipayana, Umar Muslim, Nana Soebianto, serta para muridmu yang menyanyikan puluhan sajak-sajakmu. "Kalau tak ada mereka mungkin sajak-sajak saya tetap tak dikenal," katamu.

Lagu-lagu yang diciptakan oleh anak-anak "ideologismu" ini kini menjadi seperti himne yang selalu dikumandangkan saat-saat kami merayakan puisi sebagai cara kami merawat kewarasan.

Kini kau terbaring di sini, di kamar beku dengan selimut putih yang kebesaran untuk ukuran tubuhmu yang ringkih. Sonya bilang, kau tak bersedia meneruskan perjalanan dari tanah kuburan yang sesak.

Katanya, kau takut diinjak-injak para pelayat yang menggebu-gebu memetik bunga kamboja di atas makammu. Lalu tubuhmu yang ringkih itu terjepit di antara kaki-kaki yang kadang jauh melimpas kelakuannya dari sebuah puisi.

Kau minta izin memulai hari barumu dari Taman Pemakaman Giritama, Giri Tonjong, Kabupaten Bogor. Sebuah taman yang inspiratif untuk memulai segala sesuatunya dari nol kembali. Usiamu akan berjalan terus, sebagaimana pula dengan sajak-sajakmu yang terus membuat perhitungan, kini dan nanti.

Aneh, aku ingat Chairil Anwar, si binatang jalang itu. Dalam baris sajaknya "Derai-derai Cemara", ia tuliskan, "Aku sekarang orangnya bisa tahan/ Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi/ Tapi dulu memang ada satu bahan/ Yang bukan dasar perhitungan kini…//

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Penyair Sapardi Djoko Damono (kiri) dipandu moderator Tony Thamrin berbicara dalam diskusi Peluncuran Buku dan Musikalisasi Puisi 77 Tahun Sapardi Djoko Damono di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (22/3). Bertepatan dengan usia ke-77, Sapardi menerbitkan 7 buku, antara lainPingkan Melipat Jarak (novel kedua dari Trilogi Hujan Bulan Juni), Ada Berita Apa Hari IniDen Sastro?Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita,KolamNamaku SitaDuka-Mu Abadi, dan Ayat-ayat Api.

Dasar perhitungan kini ada dalam semua sajakmu, Sapardi. Mereka bukan sekadar sekumpulan kata yang tumpuk-menumpuk dalam gudang kesusastraan, tetapi susunan imaji peristiwa yang terus-menerus akan menjadi monumen ingatan bagi perjalanan sejarah bangsa ini. Dalam sajak-sajakmu, kata-kata berumah dan menebar keharuman pada setiap hati yang membacanya.

Ketika jasadmu dibopong menuju lantai bawah tanah rumah sakit, pelan-pelan dadaku jadi sesak. Kau cuma jasad yang kecil, tak lebih dari 40 kilogram, kata Sonya yang setia menjagamu. Mungkin dengan cara itu kau sudah bersiap diri melakukan perjalanan jauh dari rahim pertiwi.

Bukankah ayat-ayat menyebut, segala yang berasal dari tanah akan kembali menjadi tanah. Dan, kau tahu, tanah adalah asal dari segala hidup sebelum cuaca dan angin mengembara di dalam tubuhmu.

Seorang penyair yang mengagumimu pagi ini mengirim coretan sajakmu yang sudah lama kau tulis. Bahkan, ia membacanya dengan napas tertahan karena rasa duka.

Coba kau ingat ini: "Ia tak sempat bertanya kenapa dua kali dua/ hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar/ dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang pada angka nol/ Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat/ kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam ketika/ ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah/ dan di halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum neneknya/ Dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat sumur itu dan lalu kencing saja di kasur/ Sungguh sejak semula ia hanya mempercayai angka nol//.

Sajak ini berjudul "Catatan Masa Kecil, 4" termuat dalam bukumu, Ayat-Ayat Api, mengapa kau selalu suka angka nol? Setelah bersijingkat menghitung angka-angka dan menggubahnya menjadi bayang-bayang kata, kau selalu kembali pada angka nol. Bukankah sudah kukatakan tadi, bahwa setelah mencapai puncak dari segala pengembaraan ke relung kata, semuanya akan berawal dari nol.

Hari ini, hari pertamamu melangkahkan kaki dari nol kilometer, sebuah langkah yang kupastikan tak terhalang deraan angin atau sapuan badai di tepian sana. Sapardi, pernah kubayangkan kita berperahu kertas mengarungi laut mahaluas sambil membacakan sajak-sajakmu. Kulihat camar sesekali melintas di tiang perahu dan melayang kembali setelah diguncang gelombang.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ

Joko Pinurbo dan Sapardi Djoko Damono saat berbincang tentang sastra di Taman Ismail Marzuki dan ditonton ratusan anak muda pada Mei 2016.

Mungkin itu dirimu, yang mengepakkan sayap menjauh ke batas senja. Ada guguran kata-kata yang menderas seperti petang yang sebentar lagi melintasi cakrawala. Di atas perahu kertas itu, aku dan para penghayat kata berhasrat akan menampanya menjadi setumpuk senyawa kemuliaan. Akan kami tebarkan di setiap muara sungai, di mana orang-orang akan menghirupnya sebagai zat yang dipenuhi doa kesucian.

Begitulah kami, Sapardi, merasa kehilangan sudah pasti. Tetapi aku, dan banyak para penghayat kata, harus melepasmu di pelabuhan, dengan mengenakan topi pet dan jas hitam yang kedodoran bersama sebuntal kata sebagai bekal memulai pengembaraan baru. Sebagai akhir dari obituari ini akan kutitipkan puisi karya penyair pengagummu Joko Pinurbo.

Rumah Kontrakan

Untuk ulang tahun SDD

Tubuhku adalah rumah kontrakan yang sudah sekian waktu

aku diami sampai aku lupa bahwa itu bukan rumahku

Tiap malam aku berdoa semogalah aku lekas kaya supaya bisa

membangun rumah sendiri yang lebih besar dan nyaman,

syukur dilengkapi taman dan kolam renang.

Kompas, 20 Juli 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger