Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 31 Juli 2020

Seabad PK Ojong (1920-2020), Salah Seorang Pendiri ”Kompas” (HELEN ISHWARA‎)


PK Ojong, pendiri Kelompok Kompas Gramedia

Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama adalah dua serangkai pendiri Kompas Gramedia. PK Ojong lahir 25 Juli 1920 di Bukittinggi, Sumatera Barat, dengan nama Auw Jong Peng Koen. Putra saudagar tembakau dari Payakumbuh ini menjadi yatim saat berumur 13 tahun sehingga tidak dapat mewujudkan cita-citanya menuntut ilmu di Algemene Middelbare School (AMS, setara SMU kini) di Jawa.

Ia akhirnya masuk ke Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) di Meester Cornelis (kini Jatinegara) karena biayanya jauh lebih murah. Saat masih berumur belasan tahun, siswa kutu buku ini telah mengirimkan karya tulisnya ke dua koran besar berbahasa Melayu yang bersaingan, yaitu Keng Podan Sin Po. Ternyata, artikel yang ditulis Ojong dimuat.

Ojong ingin menjadi wartawan. Ia mengagumi Khoe Woen Sioe, wartawan dan Direktur Keng Po yang memiliki juga majalah mingguan Star Weekly. Pada zaman Jepang, Khoe dipenjara bersama sejumlah wartawan lain yang menganggap Jepang itu fasis.

Seusai penjajahan Jepang, Khoe menerbitkan kembali koran dan majalahnya. Ojong pun melepaskan jabatan kepala sekolah bruderan di Jalan Mangga Besar Raya, Jakarta, untuk menjadi anak buah Khoe (1946). Ojong lalu menjadi kuli tinta sambil kuliah. Begitu lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1951, ia diangkat menjadi pemimpin redaksi Star Weekly sampai majalah itu diberangus penguasa pada Oktober 1961.

KOMPAS/ YOHANES KRISNAWAN

Tulisan serial Perang Eropa yang ditulis PK Ojong di majalah Star Weekly, Juli 1959

Star Weekly adalah majalah mingguan tanpa kulit muka bahkan kertasnya, kertas koran. Namun, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta pernah menyumbangkan tulisan untuk edisi Setengah Abad Hari Kebangkitan Nasional Star Weekly pada Mei 1958. Mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir juga pernah menulis untuk majalah itu.

Penulis tetap politik luar negeri Star Weekly adalah mantan Menteri Luar Negeri RI Dr Ide Anak Agung Gde Agung yang juga Raja Gianyar. Ia menulis secara anonim atau dengan inisial M. Begitu pula dengan mantan Menteri Pertahanan TB Simatupang yang memakai nama samaran Yudhasiswa.

Orang-orang muda berbakat, seperti penyair WS Rendra, Goenawan Mohamad, Soe Hok Djin (Arief Budiman), Soe Hok Gie, Ajip Rosidi, Ramadhan KH, dibuat akrab denganStar Weekly. Ojong menghargai orang-orang muda dan senang melihat mereka berkembang.

Lewat Star Weekly, tua muda bisa berkenalan dengan Goethe ataupun Tulis Sutan Sati, dengan Gandhi ataupun Jenderal Rommel, dengan Ibn Battuta maupun Marco Polo, dengan Ibn Khaldun maupun Arnold Toynbee.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ

Sejarawan Ichwan Azhari menunjukkan koleksi koran kunonya, di Medan, Jumat (12/9/2014). Dia memburu koran-koran kuno sampai Jerman dan Belanda

Namun, lewat rubrik-rubrik di Star Weekly, pembacanya juga bisa belajar tentang gizi dan berbahasa Indonesia dengan baik selain menikmati cerita kriminalitas serta cerita silat! Bahkan, ada resep-resep makanan dan ruang yang bisa diisi anak/remaja.

Pertemuan dengan Jakob

Takdir mempertemukan Ojong dengan Jakob Oetama. Menurut Jakob, ia berkenalan dengan Ojong, yang 11 tahun lebih tua, sekitar tahun 1958.

"Saya bekerja pada mingguan Penabur. Ia pemimpin redaksi mingguan yang bermutu dan populer, Star Weekly. Saya datang, berguru kepadanya," kenang Jakob. "Ketika terbetik beritaStar Weekly akan ditutup, ia mendekati saya, apakah bersedia meneruskannya. Saya sedang menyelesaikan studi tahun terakhir pada Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada Jurusan Komunikasi Massa. Ia sempat ke Yogya, kami bersama menyaksikan Sendratari Ramayana di Prambanan," lanjut Jakob.

Saya datang, berguru kepadanya.

Namun, sebelum Star Weekly keburu berganti pimpinan, mingguan itu keburu dilarang terbit.

Awal tahun 1960-an, takdir kembali mempertemukan PK Ojong dengan Jakob Oetama. Kali ini, mereka sama-sama pengurus Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. Jakob ketuanya, Ojong bendaharanya. Mereka juga ikut gerakan pembauran bangsa.

KOMPAS/HASSANUDDIN ASSEGAFF

Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama (kanan) mendampingi Menteri Penerangan Harmoko dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan (tak tampak) saat peresmian bangunan rumah kudus Bentara Budaya Jakarta, 26 Juni 1986.

Mantan Pemred Star Weekly dan Pemred Penabur itu sering berbincang-bincang dan sepakat untuk menerbitkan majalah yang bertujuan meluaskan cakrawala pembaca Indonesia. Mencerdaskan bangsa adalah obsesi kedua mantan guru ini.

Saat itu pembaca terkucil karena hampir tidak ada media luar negeri diperkenankan masuk. Untuk menerobos isolasi yang tidak sehat itu, lahirlah Majalah Intisari pada 17 Agustus 1963. PT Kinta (eks Keng Po) yang dipimpin Khoe Woen Sioe, menyediakan fasilitas seperti ruang kantor, tenaga administrasi dan sirkulasi. Majalah itu maju dengan pesat.

Itulah cikal bakal dari Kompas Gramedia. Intisari bahkan disusulKompas, 28 Juni 1965. Kompasawalnya sering diejek komt pas morgen, besok baru datang. Kompasmemang sering telat karena harus antre giliran naik cetak.

"Sekalipun PK Ojong motor dan penggeraknya, namanya tidak tampil dalam Majalah Intisari maupun dalam Harian Kompas. Namanya tabu untuk periode politik masa itu. Di sini tampak ciri wataknya yang lain. Ia tidak mempunyai ambisi yang tidak sehat. Nama dan status tidak penting. Yang pokok baginya bekerja dan berprestasi," kenang Jakob.

Ketika terjadi yang disebut G-30-S, Gerakan 30 September 1965, Kompasbaru berumur tiga bulan. Keesokan harinya, saat Ojong berdua Jakob pergi ke Percetakan Masa Merdeka, tempatKompas dicetak waktu itu, mereka mendengar penguasa baru menginginkan koran-koran memuat pernyataan kesetiaan kepada Dewan Revolusi.

Menurut Jakob, pendirian Ojong tegas, prinsipiil: "Jakob, kita tidak akan melakukannya. Sama saja ditutup sekarang dan juga mungkin menderita sekarang atau beberapa hari lagi."

"Baiklah," ujar Jakob. Kompas tidak memuat pernyataan kesetiaan ataupun pengumuman Dewan Revolusi.Kompas hanya memberitakan Presiden Soekarno selamat. Situasi ternyata berbalik hari itu juga, momentum yang ikut menunjang pertumbuhan koran baru itu.

Saran yang berharga

Intisari dan Kompas melahirkan majalah anak-anak Bobo, majalah remaja Hai, toko buku Gramedia, hingga Radio Sonora. Ojong lantas memusatkan perhatiannya untuk mengelola perusahaan, sedangkan Jakob mengurusi redaksi.

Meski Ojong tidak memimpin redaksiKompas, ia tetap menulis. Rubrik Kompasiana yang diisi oleh Ojong diKompas sangat populer. Ia memberi saran yang berharga, di antaranya mengusulkan penghijauan kota Jakarta.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Sejumlah polisi melintas di depan pagar Gedung Lembaga bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Senin (18/9/2017). Pasca-penyerangan oleh massa aksi sehari sebelumnya, polisi masih berjaga di sekitar gedung untujk mencegah aksi susulan.

Ia juga mengritik hal-hal yang dianggapnya tidak benar serta membela yang tertindas. Karena itulah ia, antara lain, menjadi anggota Dewan Kurator Lembaga Bantuan Hukum (LBH)/ Lembaga Pembela Umum Jaya.

Cita-citanya untuk mencerdaskan bangsa membawanya ikut mendirikan Universitas Tarumanegara dan Yayasan Obor yang nirlaba untuk memuaskan orang yang "lapar buku". Ia juga membantu Pengurus Pusat Serikat Penerbit Surat Kabar, bahkan bergabung dengan beberapa organisasi pers internasional.

Minatnya akan kebudayaan dan seni menjadikannya bendahara Lingkaran Seni Jakarta dan bendahara Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah kebudayaan Horison. Ojong juga menjadi ketua Yayasan Retina Blastoma di Jakarta untuk meringankan penderitaan pasien penyakit mata itu dan pernah menjadi anggota Badan Pimpinan Pusat Partai Katolik.

Semasa di Star Weekly, Ojong pernah bergabung dengan Partai Baperki, tetapi kemudian keluar karena ketidaksesuaian ideologi. "Beruntung organisasi yang berhasil menariknya," tulis Jakob. "Ia tidak akan peduli dengan status, tetapi sekali berkata, ya, tugas yang diterima akan ia lakukan benar-benar, tidak setengah-setengah," ditambahkan Jakob.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Majalah Horison dari masa ke masa koleksi Pusat Informasi Kompas, Senin (25/7/2016). Majalah sastra tersebut terbit pertama kali pada Juli 1966 dan mengakhiri edisi cetaknya pada 26 Juli 2016. Majalah Horison akan bermetaformosis menjadi Horison Online.

"Kompas" dibredel

Lalu datanglah musibah. Tanggal 21 Januari 1978, Kompas dibredel. Dua hari sebelumnya, berturut-turut tajukKompas mengulas gerakan mahasiswa yang menginginkan Presiden Soeharto tidak mencalonkan diri lagi.

Menurut Jakob, Ojong terpukul. "… tetapi tidak menyesali saya. Sebaliknya, ia berkata, ia bangga kepada saya dan kalau ia berada di tempat saya, akan melakukan tindakan yang serupa," ujar Jakob.

"Kompas bukan satu-satunya media massa yang dibungkam, tetapi yang paling lama, sampai dengan 5 Februari 1978. Untuk bisa terbit kembali, pimpinan media mesti menandatangani surat pernyataan akan memenuhi sejumlah persyaratan. Ojong ragu-ragu menerima persyaratan itu," cerita Jakob.

Ditambahkan Jakob, "Seperti kita ketahui, baginya segala sesuatu itu kalau tidak hitam, ya, putih. Saya katakan, biar saya saja yang nekenpersyaratan itu. Dengan masih hidup, kita masih bisa bergulat, masih bisa bergerilya menegakkan demokrasi, asal kita tidak menggadaikan suara hati saja. Ojong kemudian menghormati keputusan saya."

Peristiwa itu menginsafkan Ojong dan Jakob, betapa mudahnya penguasa dapat menghilangkan nafkah ribuan wartawan dan karyawan koran ataupun majalah.

Mereka lantas memutuskan untuk serius melakukan diversifikasi ke bidang usaha lain, seperti perhotelan. Supaya kalau koran atau majalah diberangus, mereka dapat menyalurkan karyawan ke perusahaan mereka yang lain. Lahirlah hotel-hotel Santika dan sebagainya meski ada perusahaan yang sukses, ada pula yang tidak sukses.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Potret kolam renang di Hotel Santika Cirebon, Kota Cirebon, Jawa Barat, Kamis (12/12/2019).

Dalam brosur Falsafah Perusahaan, yang merupakan warisan Ojong bagi perusahaan yang dipimpinnya, ia menyatakan: "Meskipun tak bermaksud berusaha untuk tujuan utama membuat laba, sebegitu jauh sebagian besar dari usaha-usaha kita memberi laba. Apa sebabnya? Sebagian orang akan mengatakan 'tangan dingin', karena hoki. Jawaban yang tepat rasanya: 'Berkat kemurahan Tuhan'. Carilah dulu kerajaan Allah dan yang lainnya akan dilimpahkan kepadamu".

"Iman menjadi motivasi usahanya yang disertai kerja keras. Disiplin dan sederhana," ujar Jakob.

Menurut Falsafah Perusahaan, dalam memilih pemimpin, syarat utamanya adalah watak yang baik, jujur, rajin, sederhana, rasional, berinisiatif, bersedia menerima pendapat orang lain, seimbang, adil dalam memperhatikan kepentingan anak buah, pandai mendelegasikan pekerjaan dan mengawasinya. Suku, ras, agama, maupun tidak berijazah sarjana, bukan rintangan untuk menjadi pimpinan.

Irawati Suwandhi SH, mantan pimpinan Kompas Gramedia, yang bergabung dengan Majalah Intisarisejak 1963 pernah mengatakan, "Pak Ojong berpesan, syarat kejujuran itu mutlak. (Sementara) kemampuan bisa diasah, pendidikan bisa ditambahkan."

KOMPAS/ MEDIA CARD/ KOMPASDATA

Terbit sejak 1965, Kompas adalah nama yang diberikan Presiden Soekarno pada koran ini.

Karyawan dianggap aset yang berharga dan kemakmuran perusahaan harus tecermin dari kesejahteraan karyawannya. Bahkan, Ojong memikirkan kesejahteraan karyawan di masa tua. Mungkin, banyak orang heran karena uang makan untuk Ojong dan Jakob sama jumlahnya dengan uang makan untuk petugas kebersihan kantor. Ojong juga pantang memakai mobil mewah.

Orang baik meninggal

Tidak pernah terlintas dalam pikiran Jakob Oetama bahwa mulai 31 Mei 1980, beban mengelola perusahaan pun tiba-tiba dijatuhkan ke atas pundaknya.

Pagi itu, Catherine Ojong menemukan suaminya meninggal di ranjang dengan buku terbuka dan kacamata di sebelahnya. Padahal, beberapa waktu sebelumnya, Ojong masih menelepon sekretarisnya dan berbicara dengan sopirnya sambil menandatangani surat-surat di ruang tamu.

Mungkin, Ojong mendapat serangan jantung. Umurnya belum genap 60 tahun. Ia meninggalkan enam anak: Harly, Handy, Sasongko, Irwan, Sri Melani, dan Sri Mariani.

Mohamad Roem, mantan diplomat kawakan RI, mantan menteri dalam negeri dan tokoh Masyumi yang melawat Ojong ke rumahnya berkata, "Itulah cara orang baik meninggal". Ketika dalam tahanan politik di Madiun karena tidak setuju dengan Demokrasi Terpimpin, Mohamad Roem, Syahrir, Ide Anak Agung Gde Agung, hingga Soebadio Sasrosatomo kerap mendapat pasokan buku-buku terbitan luar negeri lewat Ojong.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Putri bungsu almarhum PK Ojong, Sri Mariani Ojong, memberi sambutan dalam acara ziarah karyawan ke makam PK Ojong di Pemakaman Tanah Kusir, Jakarta. Minggu (28/6/2020). Bersama Jakob Oetama, almarhum Petrus Kanisius Ojong mendirikan harian Kompas pada 28 Juni 1965. Acara ziarah tahun ini hanya diikuti oleh sekitar 50 orang, sesuai dengan protokol kesehatan.

Tidak ada orang lain yang dapat menggambarkan Ojong setepat Jakob. Dalam obituari untuk Ojong, Jakob menulis: "Almarhum adalah orang Indonesia keturunan berasal dari Bukittinggi. Saya orang Indonesia suku Jawa yang dibesarkan di Yogyakarta. Ia rasional dan pembawaannya keras. Ia kurang peka terhadap nuansa-nuansa dalam watak orang maupun perkembangan masyarakat."

Namun, ditambahkan Jakob, "Pergaulan, pengalaman dan pertumbuhan usia mengubahnya menjadi pribadi yang hampir-hampir optimal. Kepribadiannya yang rasional, kuat, disiplin, prinsipiil, diperkaya oleh kepekaan-kepekaan manusiawi. Ia semakin bisa menerima setiap orang seperti apa adanya, dengan segala kelebihan, kekurangan dan terutama kemacamragamannya."

Terkait kepergian Ojong, Mochtar Lubis, mantan pemimpin redaksi koran Indonesia Raya, dalam majalah kebudayaan Horison XV/183 menulis, "Hidupnya penuh dengan kegiatan untuk masyarakat dan bangsanya. Sebagai manusia, pribadi Ojong adalah seorang teman yang penuh setia kawan, yang suka menolong kawan yang berada dalam kesulitan. Bagi saya, kepergian Ojong yang begitu cepat dari tengah kita telah meninggalkan kekosongan yang sukar diganti, tidak saja sebagai kawan pribadi yang amat dekat, tetapi juga sebagai pejuang dan anak Indonesia yang amat cinta pada bangsa dan Tanah Air ini".

Buku Biografi PK Ojong

Goenawan Mohamad, yang waktu itu pemimpin redaksi majalah mingguanTempo, dalam obituari untuk Ojong menulis, "Beberapa belas tahun yang lalu, tinggal seorang kenalan asing di sebuah desa di luar Paris. "PK", demikian ia menyebut Pak Ojong, yang menjadi sahabatnya seumur hidup, "punya sesuatu yang bisa disebut kebangsawanan hati". Saya kemudian tahu apa maksudnya: seseorang yang mempunyai harga diri cukup dan karena itu tidak punya ego yang besar; seseorang yang terutama hadir untuk melayani, bukan dilayani".

"Seorang rekan yang bekerja dengan dia sejak masa Majalah Star Weekly, bercerita bagaimana pemimpin redaksi itu tidak juga mengganti mesin tik yang dipakainya, sementara redaksi lain sudah memakai yang baru. Itu hanya satu contoh," tulis Goenawan.

Goenawan masih menulis, "Bayangkan. Dia orang No 1 dalam organisasi besar yang menerbitkanKompas (sekitar 300.000 eksemplar tiap hari) dan Intisari (di atas 100.000 eksemplar tiap bulan). Tapi, dia dengan bersemangat mengurusi langsung keuangan Horison (tak sampai 6.000 eksemplar sebulan), berkala yang tiap kali harus mengatasi krisis. Singkatnya ia tetap seperti dulu: di zaman "Demokrasi Terpimpin" yang penuh tekanan, ia dengan rajin melayani teman-temannya, mengirimi mereka bahan bacaan yang tetap bisa dipakai memelihara kemerdekaan berpikir…"

(Helen Ishwara, Pemred Intisari, Penulis Buku P.K. Ojong Hidup Sederhana, Berpikir Mulia)

Kompas, 25 Juli 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger