Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 08 Agustus 2020

CATATAN URBAN: Merawat Memori Kolektif Pandemi Itu Penting (NELI TRIANA)


Kota memiliki kemampuan menyediakan segalanya untuk semua penghuninya, hanya karena dan hanya jika kota diciptakan oleh dan untuk semua orang. (Jane Jacobs, The Death and Life of Great American Cities)

Dalam The City of Collective Memory, M Christine Boyer mengeksplorasi bagaimana citra kota berhubungan dengan memori kolektif dan pengalaman warga perkotaan setiap hari. Boyer menyatakan, perbedaan antara sejarah dan ingatan adalah ketika ingatan tidak lagi memiliki hubungan langsung dengan pengalaman hidup, ia direduksi menjadi sejarah yang terfragmentasi di masa lalu.

Di sisi lain, sudah menjadi hal biasa bahwa kita cenderung menghubungkan ingatan dengan masa lalu. Namun, sejatinya memori berfungsi melampaui itu. Memori adalah penghubung antara masa lalu dan masa yang tengah kita jalani. Memori kolektif bisa berkenaan dengan keluarga, kelompok tertentu, atau berbagai hal lain di alam semesta.

Memori kolektif membentuk karakteristik esensial sebuah kota yang bisa disebut sebagai jiwa kota itu sendiri. Memori kolektif adalah juga pemberi referensi untuk memahami masa kini dan mengingatkan pada fenomena dasar yang selalu terjadi dalam kehidupan manusia, yakni terus berubah.

Tanpa ingatan, setiap perubahan, baik kecil maupun besar, yang berdampak pada semua warga atau kelompok tertentu saja akan terlupakan. Setiap tindakan menjadi sekadar reaksi mekanis, mengabaikan masa lalu atau sejarah kita sendiri. Hal ini turut berlaku saat berbicara tentang negara atau bangsa.

Sayangnya, pengabaian atas memori kolektif ini selalu terjadi. Ingatan atas suatu peristiwa memudar seiring dengan waktu yang berputar. Apakah ini berarti kota-kota, juga negara, banyak yang sekadar berjiwa hampa?

KOMPAS/UCSF.EDU

Ilustrasi saraf otak.

Memudarnya memori yang diiringi ketidaksiapan menghadapi bencana disinggung oleh praktisi dan ahli Manajemen Risiko Perkotaan dan Bencana untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik, Abhas Jha. Jha berbagi ide dan pengalamannya dalam lamanWorld Bank Blogs pada 20 Februari lalu.

Menulis laporan sebelum Covid-19 mengguncang—disusun atas permintaan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa pada September 2019—Jha memperingatkan bahwa ada ancaman yang sangat nyata dari pandemi yang menyebar ke seluruh dunia dan berpotensi memusnahkan hampir 5 persen populasi global.

Sebelumnya, ahli biologi molekuler pemenang Hadiah Nobel Joshua Lederberg memperingatkan, virus merupakan ancaman tunggal terbesar bagi kelanjutan dominasi manusia di planet ini. Dalam konteks pandemi yang dipicu virus korona baru SARS-CoV-2, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Ghebreyesus, di Konferensi Keamanan Muenchen, 15 Februari lalu, mengatakan, dunia sudah terlalu lama beroperasi dalam siklus kepanikan dan pengabaian.

Banyak penelitian secara konsisten menemukan bahwa bencana besar hanya mengendap di ingatan publik sekitar satu setengah generasi saja.

Jha memberi contoh, ada pejabat atau pemimpin suatu kawasan menghadapi pilihan membelanjakan modal untuk kesiapan menghadapi bencana yang mungkin terjadi atau menggunakan dana tersebut untuk prioritas lain yang lebih terlihat.

"Bukti menunjukkan, para pemilih memberi penghargaan kepada partai berkuasa atau orang yang sedang menjabat karena memberikan bantuan bencana, tetapi tidak untuk berinvestasi dalam kesiapsiagaan bencana. Jadi, tidak ada gunanya menebak prioritas investasi si pemimpin tersebut," katanya.

Padahal, menurut Jha, atas dasar perhitungan biaya dan manfaat yang rasional, berinvestasi dalam kesiapsiagaan, baik untuk pandemi maupun bencana alam, merupakan salah satu penanaman modal terbaik yang dapat dilakukan tiap pemerintah di tingkat kota atau negara di mana pun.

Tiap 1 dollar AS yang dihabiskan untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana setara dengan kerugian 15 dollar AS akibat kerusakan di masa depan. Dengan kata lain, nilai kerugiannya 15 kali lipat dari nilai investasi kesiapsiagaan.

Dalam kasus pandemi, laporan Bank Dunia pada 2017 menemukan bahwa setiap tahun dibutuhkan pembiayaan kurang dari 1 dollar AS per orang di seluruh dunia untuk menerapkan mekanisme antisipasi dini guna menghadapi pandemi berikutnya yang tak terhindarkan. Untuk itu, pandemi kali ini hendaknya menjadi ajang bagi semua agar dapat memetik pelajaran berharga, yaitu jangan membiarkan krisis serius ini lagi-lagi memakan korban sia-sia.

Riset terkait bencana besar, menurut Jha, menunjukkan ada potensi reformasi kebijakan besar dan investasi kesiapsiagaan dalam minggu-minggu dan bulan-bulan pertama setelah bencana. Ini menjadi peluang, yang meskipun kecil tetapi pasti ada, bagi para pemangku kepentingan untuk dapat menempatkan struktur kelembagaan yang bisa membuat perencanaan kesiapsiagaan menghadapi bencana, pascabencana, serta jika ada bencana berikutnya.

Menanam ingatan

Namun, yang terjadi sering kali adalah sebaliknya, yaitu kita cenderung menafikan peluang yang ada. Banyak penelitian secara konsisten menemukan bahwa bencana besar hanya mengendap di ingatan publik sekitar satu setengah generasi saja.

Setelah satu setengah generasi, ingatan publik mulai memudar seiring dengan lengsernya prioritas untuk berinvestasi dalam kesiapsiagaan bencana. Agar tidak terjadi dan ingatan kolektif itu tetap hidup, publik lagi-lagi didorong segera sadar dan berinvestasi berupa infrastruktur ataupun cerita atau dongeng untuk menjaga ingatan kolektif tentang bencana itu.

Jepang, misalnya, telah menghidupkan warisan bencana berupa monumen dan dongeng tradisional untuk menjaga kenangan bencana dari berabad lalu. Pantai Jepang dihiasi lempengan-lempengan batu yang disebut sebagai batu tsunami. Batu itu menunjukkan gempa bumi dan tsunami di masa lalu.

Di Aceh, memori kolektif nestapa tsunami besar yang merenggut nyawa lebih dari 200.000 jiwa pada Desember 2004 bersanding dengan keyakinan mendasar: takdir. Rumah-rumah berikut fasilitas penunjang permukiman kembali didirikan di lahan bekas tersapu bersih tsunami hingga 15 tahun lewat (Kompas.id, 26 Desember 2019).

Untuk Jakarta, garis merah terang tergurat di dinding atau monumen khusus di tengah kota, cocok sebagai representasi tanda tingginya luapan air pada saat banjir besar. Ini dapat menjadi perangkat memori yang sangat berguna sekaligus target bagi kebijakan pemerintah ataupun publik untuk mencegah banjir serupa tidak akan terjadi lagi.

Kembali ke kasus pandemi yang masih berlangsung dan entah kapan berakhir, mengingatkan akan bahaya penyakit dan efek dominonya bagi masyarakat perlu terus dilakukan. Kegiatan semacam hari kesiapsiagaan pandemi layak dilakukan berkala. Kegiatan dimaksud bisa dengan bersih-bersih lingkungan, kegiatan di posyandu dengan sisipan edukasi terkait wabah, berbicara dengan pasien yang sembuh juga keluarga pasien yang meninggal, dan tak lupa merekam pengalaman mereka yang mengalami isolasi mandiri. Cerita kerja keras para petugas kesehatan hingga penggali makam pun bisa terus diperbarui dan diunggah kembali.

Pembiasaan budaya bermasker dan menjaga jarak harus menjadi bagian dari latihan dan simulasi tak henti dalam upaya memutus persebaran virus korona baru serta penularan Covid-19.

Dengan keandalan teknologi informasi yang makin terjangkau siapa saja, upaya menanamkan memori baru terkait bencana dan kesiapsiagaan dini seharusnya bukan perkara sulit. Memori itu bisa disisipkan di mana saja, mulai dari iklan digital di sepanjang tepian jalan, melalui pesan ke gawai kita, gim realitas virtual, masuk dalam pelajaran dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, bahkan dalam keseharian di tempat kerja, termasuk ruang publik, seperti pasar, taman kota, dan mal.

Kota yang mampu memenuhi kebutuhan warganya, termasuk agar aman dari bencana, hanya akan terwujud jika kita sendiri yang mengupayakannya secara maksimal.

Di kota-kota tempat wabah global banyak menyerang, tidak ada salahnya jika didedikasikan tempat khusus seperti museum atau ruang publik dilengkapi monumen dan juga fasilitas yang memungkinkan warga berbagai usia secara interaktif mengenal pandemi. Di masa damai nanti, saat pandemi mereda, tempat khusus itu sekaligus tempat wisata edukasi menjadi sebuah pusat perawatan ingatan warga kota.

Intinya adalah mengampanyekan bahwa penyakit yang mewabah ini telah begitu dekat bahkan sudah sampai ke diri kita. Peluang akan ada pandemi lain yang dipicu virus lain pun terbuka lebar. Kesiapsiagaan itu perlu tumbuh dari diri sendiri, tertanam hingga ke alam bawah sadar, dan terwujud dalam sikap kita sehari-hari.

Kemajuan teknologi informasi saat ini turut memungkinkan merekam memori hingga sedetail mungkin. Kondisi ini menjadi pendorong untuk menekankan pentingnya menyiapkan sistem berbagi data yang cepat dan efisien. Dunia yang saling terhubung harus mencakup informasi risiko global, bukan hanya soal terorisme berbasis ideologi tertentu.

Pada awal Januari, Jha mengatakan, para ilmuwan tidak tahu apa-apa tentang virus tersebut. Dalam waktu dua minggu, berkat rilis cepat genom virus awal di China, ada 18 genom yang terhubung dengan virus korona baru yang dibagikan dan dipelajari oleh para ilmuwan di seluruh dunia.

"Di era big data, ketika sumber data nontradisional dapat memberikan wawasan prediktif yang berharga, penting untuk memiliki sistem yang memungkinkan berbagi data tidak hanya antarlembaga dan kementerian, tetapi juga lintas batas internasional," kata Jha.

Merujuk lagi pada pernyataan urbanis Jane Jacobs, kota yang mampu memenuhi kebutuhan warganya, termasuk agar aman dari bencana, hanya akan terwujud jika kita sendiri yang mengupayakannya secara maksimal. Dengan kata lain, derita nestapa pandemi atau bencana apa saja bisa diminimalkan jika kita disiplin merawat ingatan, merefleksikannya, hingga membagikan kisahnya setiap saat hingga lintas generasi.

Kompas, 8 Agustus 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger