Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 08 Agustus 2020

KELUARGA: Urgensi Pembinaan Keluarga (AGUS TRIDIATNO)


KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Salah satu karikatur yang ditampilkan pembicara pada Ramadhan Bincang Anak di jakarta, Selasa (14/6/2016). Bincang anak bertema "Menyorot Realitas Napi Kekerasan Seksual Anak Terbesar Ke-3 Jadi Penghuni Lapas" tersebut menghadirkan pembicara dari Komnas Anak, KPAI, dan Kemekumham. Salah satu pembicara, Seto Mulyadi, menjelaskan bahwa keluarga menjadi benteng yang efektif untuk melindungi anak dari kekerasan seksual.

Tidak sekali dua kali, tetapi berkali-kali saya mendengarkan sharing dari mahasiswa-mahasiswi tentang pengalaman mereka tidak dicintai oleh ayah atau ibu mereka. Seorang mahasiswi menceritakan pengalamannya sejak kecil hingga sekolah menengah atas disiksa oleh ayahnya.

Ia dipukul, dijambak, diiris dengan pisau hingga berdarah-darah, bahkan hingga tulangnya tampak. Ayah itu tetap menyiksa anak gadisnya tersebut meskipun istrinya telah mencegah dan melerainya. Mengapa ayah itu tega menyiksa anak kandungnya sendiri?

Kisah lain tentang seorang mahasiswa yang sangat benci dengan ibunya karena ia merasa tidak dicintai ibunya seperti saudaranya yang lain. Mahasiswa itu bertahun-tahun tidak mau pulang karena merasa bahwa ibunya tidak bakal menerimanya. Berulang kali ia diajak dan dibujuk oleh teman-temannya, tetapi tetap tidak mau pulang. Benarkah tidak ada cinta dari seorang ibu kepada anaknya?

Banyak kisah sedih diberitakan di media massa; ayah kandung menelantarkan, bahkan membunuh anaknya sendiri, ibu kandung menjual anaknya, anak membunuh ayahnya, dan lain-lain. Begitu burukkah gambaran tentang keluarga masa kini? Kisah-kisah romantis tentang sebuah keluarga dengan sepuluh anak yang semuanya berhasil lulus sarjana dan mendapatkan pekerjaan yang bagus hanya dongeng yang tidak akan terjadi lagi.

Keluarga gagal

Lilis Heri Mis Cicih (Kompas, 16 Juli 2020) mengingatkan bahwa keluarga berperan penting dalam memberikan pemahaman yang benar tentang "normal baru" agar masyarakat tidak menganggap remeh bahaya Covid-19 dan mengabaikan protokol kesehatan karena pemahaman yang keliru.

Ia juga mengingatkan delapan fungsi keluarga sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga, yaitu fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, dan pembinaan lingkungan.

Sayang sekali, justru di masa pandemi Covid 19 ini, angka perceraian dan kekerasan dalam keluarga meningkat tajam. Sebagian besar keluarga tidak siap untuk bekerja dari rumah sekaligus mendampingi anak-anak belajar dari rumah dan beribadah dari rumah.

Alasan-alasan yang mengemuka adalah fasilitas keluarga yang tidak mencukupi, misalnya tidak ada ruang dan meja belajar, HP, laptop, TV, pulsa, dan internet. Itu berarti keluarga gagal mewujudkan diri sebagai keluarga berkualitas sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014, yaitu keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sebagian besar keluarga tidak siap untuk bekerja dari rumah sekaligus mendampingi anak-anak belajar dari rumah dan beribadah dari rumah.

Kalau diberitakan seorang ayah yang menyiksa anak kandung sendiri hanya karena anaknya tidak mencuci pakaian atau seorang ibu yang menganiaya anak sendiri karena terlambat bangun tidur, itu berarti keluarga itu belum menjadi komunitas yang aman dan menyenangkan, yang memungkinkan komunikasi yang harmonis di antara seluruh anggota keluarga, baik antara pasangan suami dan istri, antara orangtua dan anak-anak, maupun di antara anak-anak sendiri.

Survei yang diadakan oleh dosen-dosen Fakultas Teologi Wedhabakti Universitas Sanata Dharma (Webinar, 17 Juli 2020) terhadap keluarga-keluarga Katolik di Keuskupan Agung Semarang menunjukkan bahwa 50 persen keluarga memercayakan pembinaan iman anak-anak pada lingkungan gereja dan sekolah, entah melalui Sekolah Minggu, Pembinaan Iman Anak (PIA), Pembinaan Iman Remaja (PIR), ataupun kelompok pelayan altar.

Keluarga sama sekali tidak terlibat dalam pembinaan iman anak. Pengalaman selama pandemi Covid 19 dengan kebaktian dari rumah melaluilive streaming memunculkan kesadaran baru yang kuat bahwa keluarga harus menjadi pusat kehidupan iman keluarga.

Pengalaman keluarga-keluarga Muslim tidak jauh berbeda. Dalam acara Ruang Belajar Malam Kamis, 15 Juli 2020, secara daring yang diselenggarakan oleh IA SCHOLAR, Prof Dr Amin Abdullah menyatakan bahwa ciri khas Islam adalah berjemaah. Namun, ciri itu hilang karena kebijakan "jaga jarak sosial dan fisik" selama pandemi Covid 19.

Berjemaah hanya bisa dilakukan dalam keluarga. Pengalaman shalat Idul Fitri yang harus dilakukan dari rumah juga menyadarkan bahwa keluarga harus menjadi pusat kehidupan iman umat Muslim.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Potret Keluarga Baduy, 24- Januari 2020. Orangtua suku Baduy Luar bertanggung jawab mendidik anak-anak di dalam keluarga. Sistem pendidikan bukan dengan persekolahan, melainkan dengan menjalankan pendidikan di dalam keluarga.

Urgensi pembinaan keluarga

Masyarakat dari pelbagai suku di Indonesia sudah memiliki konsep sendiri-sendiri tentang keluarga. Agama-agama juga sudah memiliki konsep tentang keluarga. Di dalam Islam, dikenal ajaran tentang keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, yaitu keluarga yang tenang, damai, penuh cinta dan kasih sayang, serta penuh belas kasih, pengampunan, rahmat dan rezeki.

Di dalam agama Kristen dikenal ajaran tentang ecclesia domestica atau gereja keluarga, yaitu keluarga sebagai gereja kecil yang merupakan persekutuan pribadi-pribadi yang dibangun menurut rencana Tuhan atas dasar cinta (Familiaris Consortio 18). Keluarga merupakan tempat pendidikan dasar untuk mengembangkan kepribadian anak-anak.

Pada tahun 2016, Paus Fransiskus menerbitkan ajaran tentang keluarga yang diberi judul "Amoris Laetitia", yang berarti "suka cita cinta". Menurut Paus Fransiskus, suka cita cinta itu dialami di dalam keluarga. Keluarga adalah persekutuan antarpribadi: ayah, ibu, anak-anak, dan anggota lainnya yang saling mencintai.

Cinta yang otentik dialami anak-anak dari ayah, ibu, kakak, atau adik dalam hidup bersama di dalam keluarga. Karena pengalaman dicintai di dalam keluarga itulah, anak-anak akan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang beradab.

Cinta yang otentik dialami anak-anak dari ayah, ibu, kakak, atau adik dalam hidup bersama di dalam keluarga.

Keluarga merupakan sekolah peradaban. Maka, Paus Fransiskus mengajak agar pengalaman akan kasih kebapaan, keibuan, dan cinta antarkakak-adik yang diperoleh di dalam keluarga dibagikan ke lingkup masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian, keluarga mempunyai misi untuk memajukan peradaban kasih antarmanusia. Keluarga adalah masa depan peradaban manusia.

Paus Fransiskus mengakui bahwa pada saat ini kehidupan keluarga diguncang oleh pelbagai permasalahan sosial. Disebutkan dalam "Amoris Laetitia", masalah-masalah seperti individualisme dan narsisme yang mendorong orang untuk hidup sendiri dan untuk kepentingan sendiri, menolak mempunyai anak, orangtua tunggal (single parent), banyak anak lahir di luar perkawinan, migrasi, pekerja migran, perceraian, homo seksualitas, penyandang disabilitas, dan kekerasan dalam rumah tangga, serta banyaknya orang lanjut usia.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mural tentang keluarga bahagia di Jalan Bekasi Timur Raya, Jakarta Timur, Kamis (20/2/2020).

Maka, saran-saran pembinaan keluarga meliputi persiapan calon pengantin, pendampingan keluarga muda, pendampingan orangtua tunggal (single parent), pendampingan bagi kaum homo seksual, pendampingan kaum difabel, dan perawatan orang-orang lanjut usia.

Pengalaman Covid 19 menyadarkan kita semua betapa penting peranan keluarga. "Belajar di rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah" akan mengembalikan esensi sebuah keluarga sebagai pusat kehidupan, pusat peradaban, pengembangan iman dan cinta. Maka, lembaga-lembaga masyarakat, lebih-lebih lembaga keagamaan, harus secara serius melaksanakan pembinaan keluarga yang telah menjadi misinya agar ajaran-ajaran agama yang bagus tidak hanya menjadi slogan belaka.

Pemerintah harus secara terprogram mewujudkan amanah undang-undang dan peraturan pemerintah untuk melakukan pembinaan keluarga. Pemerintah harus melibatkan sebanyak mungkin lembaga-lembaga masyarakat agar pembinaan keluarga dapat dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya terfokus di bidang ekonomi dan Keluarga Berencana saja, melainkan juga psikologi dan spiritualitas hidup berkeluarga. Semoga keluarga berkualitas dapat diwujudkan.**

(Agus Tridiatno, Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Kompas, 08 Agustus 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger