Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 26 Agustus 2020

EPILOG: Es Ganefo untuk ”Cinema Paradiso” (PUTU FAJAR ARCANA)


Putu Fajar Arcana, Wartawan Kompas

Aku menandai Lie Qie Oen sebagai seseorang yang bertubuh pendek, tetapi berhati kejam. Setiap malam, ia berdiri di sebuah kursi bundar tepat di pintu masuk gedung bioskop miliknya. Tangannya selalu memegang lampu senter berukuran panjang, yang kadang menimbulkan kelucuan. Bayangkan, dari tubuhnya yang pendek dan rambutnya yang lurus seolah mencucuk langit-langit gedung, tergantung sebuah benda panjang yang mengeluarkan cahaya terang. Kadang ia mirip hantu liliput yang menggemaskan, tetapi berwatak beringas.

Lie tak hanya menyorot kepala dan wajah para penyelundup, tetapi ia tak segan-segan memukulkan gagang senter ke kepala anak-anak, sambil berteriak, "Ini penyelundup! Keluar...!" Dalam antrean penonton yang sering kali mengular, Lie dengan sangat cermat meneliti dan memeriksa satu per satu tiket masuk ke gedung bioskop Wijaya Theatre miliknya. Kalau memilih kelas II, harus bergerak ke kiri, tetapi kalau kelas I dan VIP boleh langsung berbelok ke kanan. Kelas II artinya, kau akan menonton dari bangku kayu dan dekat dengan layar, sedang kelas I dan VIP menggunakan kursi berlapis spons, yang lebih lembut, walau banyak kutu busuknya.

Entah mengapa sejak dulu, anak-anak memang suka menyelundup. Aku tak seberani Gatot, sepupuku yang seumuran denganku. Nama aslinya I Gede Purmadi, tetapi mungkin karena kulitnya yang cenderung hitam seperti tokoh wayang Gatotkaca, ia lebih sering dipanggil Gatot. Meski berkali-kali terkena "sensor" alias dipukul oleh Lie Qie Oen, Gatot tak pernah jera untuk jadi penyelundup. Ia bisa saja tiba-tiba menggandeng tangan seseorang dewasa agar seolah-olah ia anaknya hanya untuk masuk ke dalam gedung. Tak penting benar film apa yang sedang diputar di bioskop bernama Wijaya Theatre itu, amat keren baginya dan anak-anak lain kalau bisa melewati hadangan Lie Qie Oen, si monster pelahap anak-anak.

Aku punya cara lain untuk menonton film di bioskop. Lie dan kerabatnya membuat perusahaan lain bernama Es Kasih. Tahun 1970-an, aku menjadi salah satu pedagang es ganefo bermerek Kasih di kota kami, Negara, Kabupaten Jembrana. Sesungguhnya berjualan es ganefo aku lakukan bukan demi tambahan uang saku, tetapi bonus tiket bioskop setiap malam Minggu.

Zaman itu, bersama rezim Orde Baru, tentara begitu bergigi. Dua bioskop di kota kami, Wijaya Theatre dan Negara Theatre, wajib menyediakan tiket gratis setiap malam Minggu bagi para anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) beserta keluarga. Kebijakan ini sangat berbau politis dan kekuasaan, tetapi apalah artinya bagiku, seorang anak SD yang belum genap 10 tahun. Menonton film di gedung bioskop adalah kemewahan tiada tara bagiku.

Soal es ganefo itu, jangan pula kau tanya. Mungkin asal-usulnya ketika Presiden Soekarno sedang gencar melawan imperialisme dengan menggelar perhelatan bernama Ganefo (Games of New Emerging Forces) tahun 1963. Ganefo adalah ajang kompetisi olahraga yang disebut-sebut tandingan Olimpiade. Peserta adalah negara-negara yang baru merdeka dari Asia, Afrika, Eropa Timur, sampai negara-negara berhaluan kiri di Amerika Latin.

KOMPAS/IPPHOS

Upacara pembukaan Pesta Olahraga Negara-negara Berkembang (Ganefo) I di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (10/11/1963).

Seluruh rakyat Indonesia seperti keranjingan Ganefo. Nama ini kemudian digunakan sebagai nama pasar, jembatan, anak, termasuk es lilin, yang kemudian lebih dikenal sebagai es ganefo. Aku tak tahu pasti mengapa Lie Qie Oen dan keluarganya menggunakan nama es yang mereka produksi dengan es ganefo. Tujuanku cuma satu, bisa masuk ke gedung bioskop sebagai bonus berjualan es keliling kota.

Belakangan aku sadar, mengapa banyak orang dewasa yang mengejek anak-anak pedagang es ganefo dengan menirukan ujaran, "Es ganefo, dagang es sing ngelah bapa." Kata "bapa" dalam bahasa Bali diucapkan "bape" sehingga memiliki keserupaan bunyi dengan kata "ganefo". Artinya, es ganefo, dagang es tak punya bapak. Ungkapan ini sesungguhnya menyakitkan bagi anak-anak penjual es yang sebagian besar memang tak punya bapak.

Konteks sosial politik pada awal tahun 1970-an seolah menjadi daya pengingat kami bahwa baru saja (lima tahun sebelumnya) banyak lelaki dewasa dibantai dengan dalih pembersihan anasir-anasir PKI. Kota kami menjadi kota yang paling menyeramkan di seluruh Bali, aku tak tahu pasti berapa orang yang dibunuh saat itu. Kami hanya mengingatnya sebagai kenangan pahit yang mengerikan sampai kini.

Baca juga : Benci Rindu Singkong Keju

Jadi, semua penjaja es ganefo Kasih, yang menenteng termos berbentuk batang pohon pinang dan berwarna biru langit, bisa menonton film gratis bersama para keluarga ABRI. Umumnya film-film yang kami tonton film India dengan bintang-bintang kenamaan, seperti Dharmendra, Sashi Kapoor, Rishi Kapoor, Hema Malini, Rakhee, dan Jeetendra. Bintang lain yang juga selalu ditunggu-tunggu adalah Amitabh Bachchan.

Waktu itu, film kubayangkan bentuk modern dari wayang. Perkenalanku pertama kali menyaksikan tontonan dengan layar adalah menonton wayang bersama Bapak. Ketika Wijaya Theatre berdiri dan memutar film-film dari India, Indonesia, terkadang juga film koboi dari Hollywood, aku suka membayangkan kota Negara sedang beringsut menuju perubahan besar. Ketakutan akibat pembantaian PKI 1965 yang mengharu biru kota ini perlahan-lahan bisa surut. Rakyat berduyun-duyun kembali kepada keguyuban massal di gedung bioskop.

KOMPAS/EDWARD LINGGAR

Poster film di sebuah bioskop pada 1972.

Bahkan, ketika film-film Rhoma Irama yang bernapaskan Islam diputar, kami tetap menyaksikannya secara berduyun-duyun, sampai rela begadang menanti kebagian tiket. Sentimen agama sebagai residu peristiwa pembantaian, yang belum lama berlalu di kota kami, seolah terlupakan justru di gedung bioskop. Oleh sebab itu, keberadaan Wijaya Theatre dan kemudian disusul oleh Negara Theatre menjadi amat penting di kota kami.

Gedung bioskop seolah menjadi ruang baru untuk meminggirkan hasrat bermusuhan di antara kami. Walau harus diakui, dalam beberapa keramaian terjadi juga gesekan-gesekan berupa perkelahian anak muda. Aku ingat, kakak sepupuku, Kadek Malen, yang waktu itu sudah remaja, hampir selalu berkelahi di depan gedung bioskop. Terkadang pula, karena perkelahian massal, tentara harus ikut campur tangan mengamankan situasi.

Hebatnya, meski masih menyimpan rasa "dendam", kami bisa bersama-sama menyaksikan keelokan wajah Hema Malini dan keimutan Rishi Kapoor di gedung bioskop. Kalau misalnya adegan film menunjukkan kesedihan, tak jarang kami menangis bersama-sama atau sebaliknya mengutuk bersama-sama tokoh-tokoh antagonis, seperti Prem Chopra. Aku menyebut peristiwa ini sebagai rekonsiliasi gedung bioskop.

Seluruh rangkaian peristiwa itu mengingatkan aku pada Salvatore alias Toto dalam film Cinema Paradiso(1988) karya sutradara Giuseppe Tornatore yang meraih penghargaan tertinggi Academy Award untuk Film Berbahasa Asing Terbaik ke-62. Entah kenapa anak kecil yang belum genap tujuh tahun itu selalu ngotot ingin menyaksikan film di gedung bioskop pertama di kota Giancaldo, satu wilayah di Sisilia, Italia.

Gedung bioskop seolah menjadi ruang baru untuk meminggirkan hasrat bermusuhan di antara kami.

Toto bahkan menghabiskan uang yang diberikan ibunya, 50 lira, untuk menonton film. Tak urung, selain dimarah, ia juga dipukul ibunya berkali-kali. Tanpa diduga, muncul Alfredo yang menjadi pemutar proyektor film di bioskop Cinema Paradiso. Ia mengganti uang 50 lira agar Toto tak lagi dipukuli ibunya. Sejak itu, Toto mendapatkan privasi menonton film dari ruang proyektor bersama Alfredo. Bahkan, ketika Alfredo akhirnya buta akibat kebakaran gedung bioskop, Toto menjadi mata pengganti untuk mengoperasikan proyektor.

Cinema Paradiso lahir menjadi ruang sosial bagi kota Giancaldo, yang baru saja melewati masa-masa sulit akibat Perang Dunia II tahun 1940-an. Seluruh warga setiap malam Minggu tak hanya memperoleh hiburan baru, tetapi menjalani kekerabatan dan persaudaraan yang lebih diikat karena persamaan nasib sebagai korban perang. Selama ada Cinema Paradiso, warga Giancaldo seperti larut dalam kegembiraan bersama, kafe-kafe selalu penuh tawa, warga saling sapa dengan ramah, dan jalan-jalan sempit yang tadinya suram beringsut menjadi cerah.

Tiga puluh tahun kemudian, ketika Toto mendapat kabar dari ibunya bahwa Alfredo telah tiada, ia bergegas dari Roma menuju Giancaldo. Kepulangannya tak hanya berarti mengantarkan jenazah Alfredo ke peristirahatan terakhir, tetapi juga menengok kenangannya bersama Cinema Paradiso. Sayangnya, Cinema Paradiso tinggal puing. Gedung bioskop itu cuma menyimpan kenangan masa kecil yang terempas di balik kursi-kursi yang lapuk.

Baca juga : Kabar Duka Tiba Dini Hari

Toto, yang telah menjadi sutradara, menemukan potongan-potongan film yang disensor pastor lokal, yang bertindak sebagai "penjaga" moralitas warga. Alfredo bahkan sudah menyambung potongan-potongan sensor pita seluloid itu menjadi sebuah rol film tentang adegan-adegan yang dianggap tak senonoh oleh pastor. Di dalam puing Cinema Paradiso tertayang kissing scene secara berganti-ganti dari pasangan-pasangan dalam film berbeda, dan kita menyimaknya bersama Toto.

Wijaya Theatre sudah lama tinggal cerita seturut penetrasi bioskop jaringan Cineplex 21. Mungkin pada awal tahun 1990, hampir semua bioskop independen sudah rontok bersama hancurnya industri perfilman nasional. Kita kemudian dibombardir oleh film-film Hollywood, yang ditayangkan hanya oleh satu jaringan pemutar film.

ARSIP CINEMA XXI

Karyawan Cinema XXI membersihkan bioskop di Jakarta, 13 Mei 2020.

Saat-saat pulang kampung, aku selalu sentimental setiap lewat di Jalan Ngurah Rai di mana Wijaya Theatre berada. Posisinya yang tepat di tepi aliran Sungai Ijogading, sungai terpanjang di Bali, membuatnya mudah diingat. Kini, gedung bioskop itu tinggal cerita, tak terurus dan jadi sarang tikus. Lie Qie Oen juga, katanya, sudah lama meninggal. Perusahaan es ganefo, yang turut memperkenalkanku kepada apa yang disebut dengan sinema itu, sudah lama pula lenyap.

Kasih yang ditebar lewat termos-termos es kepada ratusan anak di kota kami mungkin juga tinggal kenangan yang usang. Tak banyak yang mengingat betapa es ganefo telah mengantarkanku kepada satu dunia berbeda; satu fantasi tentang surga baru yang kelak berperan besar dalam perjalanan hidupku sebagai seorang penulis. Kau tahu, tulisan ini juga hasil tabungan tayangan peristiwa yang pernah kutimbun dalam satu brankas besar bernama: imajinasi!

Es ganefo, dagang es sing ngelah bapa... dan hari-hari ini kita merindukan kehadiran gedung bioskop. Sungguh.

Kompas, 26 Agustus 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger