Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 01 Oktober 2020

KOLOM: Satu Juta Orang Meninggal karena Covid-19 (AHMAD ARIF)


DRAWING/ILHAM KHOIRI

Ahmad Arif, Wartawan Kompas

Selama 10 bulan terakhir, virus korona baru SARS-CoV-2 ini telah merenggut lebih dari satu juta jiwa, melebihi HIV, malaria, influenza, dan kolera. Jumlah korban diperkirakan masih akan terus bertambah karena wabah masih tumbuh dengan cepat dan korban terus berjatuhan.

Jumlah korban melampaui 1 juta jiwa pada Senin (28/9/2020) dan hingga Rabu (30/9/2020) orang yang meninggal telah 1.013.145 orang. Rata-rata 5.000 orang meninggal tiap hari.

Di Indonesia sendiri, jumlah korban yang dilaporkan rata-rata di atas 100 orang per hari. Bahkan pada hari ini mencapai 139 orang dalam sehari sehingga total menjadi 10.740 orang.

Angka ini bisa lebih besar lagi jika mengacu mereka yang meninggal sebelum diperiksa dengan status suspek atau diduga Covid-19 juga dihitung. Data Rumah Sakit Online, total korban meninggal di Indonesia karena Covid-19 mencapai 24.564 orang.

Belum pernah terjadi dalam satu abad terakhir, satu penyakit yang sedemikian cepat menyusup ke setiap bagian dunia yang berpenduduk, menyebarkan teror dan kemiskinan, menginfeksi jutaan orang, dan melumpuhkan perekonomian. Covid-19 agaknya bakal menjadi pandemi terbesar di zaman modern, setelah wabah flu Spanyol pada 1918 yang menewaskan 50 juta orang.

Total 33.918.642 juta orang yang terinfeksi dan 25.207.991 di antaranya sembuh. Jumlah kasus diperkirakan akan terus bertambah dengan laju penambahan 200.000-300.000 kasus per hari.

Amerika Serikat dengan 7,4 juta kasus positif menjadi yang terbanyak. Namun, India yang memiliki 6,2 juta kasus berpeluang menyalip, melihat tren penambahan kasus baru di negara berpenduduk terbesar kedua di dunia ini yang rata-rata dua kali penambahan kasus di AS.

Indonesia yang memiliki 282.724 kasus berada di urutan ke-23 dunia. Namun, jumlah tes di Indonesia merupakan yang terkecil dibandingkan negara lain.

Indonesia yang memiliki 282.724 kasus berada di urutan ke-23 dunia. Namun, jumlah tes di Indonesia merupakan yang terkecil dibandingkan negara lain. Misalnya, di India tiap hari bisa memeriksa 1 juta orang atau 40 kali lipat lebih banyak dibandingkan Indonesia, yang hanya dalam kisaran 25.000 orang per hari. Makin banyak pemeriksaan, makin tinggi kasus yang ditemukan.

AP PHOTO/ERALDO PERES

Demonstran berlutut di depan salib-salib yang dipasang sebagai simbol ribuan pasien meninggal karena Covid-19 dalam unjuk rasa menuntut Presiden Jair Bolsonaro Mundur di Brasilia, Brasil, Selasa (14/7/2020). Brasil kini menjadi negara dengan kasus Covid-19 dan kasus meninggal akibat Covid-19 terbanyak kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Jangka panjang

Bukan hanya kematian, pandemi Covid-19 juga meninggalkan dampak jangka panjang bagi mereka yang pernah terinfeksi dan dinyatakan sembuh. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 9 September 2020 menunjukkan, Covid-19 dapat menyebabkan penyakit yang berkepanjangan, bahkan pada orang muda dan anak-anak yang tanpa kondisi medis kronis yang mendasari.

Gangguan permanen akibat infeksi Covid-19 ini, menurut laporan WHO, meliputi kerusakan otot jantung, kerusakan jaringan paru-paru, dan bisa memicu gagal paru restriktif, gangguan muskuloskeletal yang bisa memicu nyeri pada sendi dan otot. Bahkan, virus ini juga bisa menyebabkan gangguan kognitif dalam hal memori dan konsentrasi serta kesehatan mental meliputi kecemasan, depresi, gangguan stres pascatrauma, dan gangguan tidur.

Studi Angelo Carfi dari Fondazione Policlinico Universitario Agostino Gemelli IRCCS, Roma di jurnal JAMApada 9 Juli 2020 menyebutkan, 87 persen dari pasien yang pernah dirawat di rumah sakit karena Covid-19 masih berjuang hingga dua bulan kemudian. Sementara data dari Covid Symptom Study (www.covid.joinzoe.com), yang menggunakan aplikasi daring dan jutaan orang di Amerika Serikat, Inggris Raya, dan Swedia menunjukkan, 10 persen hingga 15 persen orang yang pernah terinfeksi—termasuk beberapa kasus "ringan"—tidak cepat pulih.

Dengan krisis yang baru berumur beberapa bulan, dengan data yang terbatas, tidak ada yang tahu seberapa jauh gejala di masa depan akan bertahan, dan apakah Covid-19 akan memicu timbulnya penyakit kronis di masa depan. Namun, yang jelas, dengan situasi ini, menurut epidemiolog Indonesia dan ahli kesehatan global di Griffith University, Australia, Dicky Budiman, yang terbaik adalah pencegahan.

"Kita harus mengupayakan agar sesedikit mungkin orang yang tertular, jangan menunggu obat, atau vaksin. Pencegahan dan pengendalian penularan harus jadi prioritas," kata Dicky.

WHO sudah mengingatkan bahwa vaksin bukanlah "peluru perak" untuk mengatasi pandemi. Untuk mengendalikan pandemi ini, jalan yang harus ditempuh adalah melakukan tes secara masif guna melacak seluruh suspek dan segera mengisolasinya agar tidak memicu penularan lebih lanjut. Selain itu, dibutuhkan strategi yang jelas dan konsisten untuk pembatasan sosial, jaga jarak, dan pemakaian masker.

Negara-negara seperti China, Korea Selatan, Vietnam, Taiwan, dan Selandia Baru telah menunjukkan bahwa sangat mungkin untuk memperlambat pandemi dan membatasi infeksi serta kematian sehingga bisnis dan sekolah kembali dibuka. Sebaliknya, negara yang gagal menahan laju penularan bakal makin terpuruk, baik ekonomi, dan terutama mengalami kematian yang terus meningkat. Indonesia merupakan salah satunya.

Martha Nelson, ilmuwan di National Institutes of Health AS, yang berspesialisasi dalam epidemi dan genetika virus, mengatakan, negara-negara yang sukses mengendalikan pandemi ini tidak hanya menjalankan satu atau dua strategi kunci. "Itu semua adalah satu ekosistem. Semuanya harus berjalan bersama" (New York Times, 28 September 2020).

Pada akhirnya dunia sekarang tahu bagaimana cara melandaikan kurva pandemi, bukan untuk menghilangkan total risikonya, melainkan menjaganya agar tetap pada tingkat yang dapat dikelola dan mencegah agar layanan kesehatan tidak melebihi kapasitas agar korban tidak berjatuhan.

Namun, kita juga melihat, banyak negara gagal menjalankan langkah-langkah pengendalian. Ini memang bergantung pada sumber daya, kepemimpinan, dan kemauan politik yang membuat hampir semua orang menanggapi ancaman dengan serius. Kondisi ini bakal lebih sulit dicapai ketika penyakit dipolitisasi, ketika pemerintah bereaksi lambat atau tidak konsisten, bahkan masih terus menyangkal risiko, sambil berusaha menyiasati angka-angka.

Kompas, 1 Oktober 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger