Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 12 Juli 2013

Koperasi dan UUD Borjuis (Sri-Edi Swasono)

Oleh: Sri-Edi Swasono

Pada peringatan 100 tahun International Cooperative Alliance, yang diadakan di Manchester pada September 1985, hanya dua negara yang diberi mimbar khusus untuk berbicara tentang globalisasi. Kedua negara itu ialah Indonesia dan Uni Soviet.

Pada mimbar tersebut Indonesia menegaskan bahwa kopera- si mampu menghadapi globalisasi. Optimisme pidato Indonesia ternyata tidak keliru: PBB menyatakan 2012 sebagai Tahun Koperasi. International Cooperative Alliance (ICA) juga menampilkan tidak kurang dari 300 koperasi kelas dunia dengan jaringan internasionalnya yang sangat luas dengan modal dan omzet ratusan miliar dollar AS.

Namun, yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya. Menjelang berakhirnya masa jabatan Menteri Koperasi Bustanil Arifin, yang dilanjutkan oleh pola kepe- mimpinan menteri koperasi penggantinya, suasana batin untuk meniru-niru mekanisme hidup perusahaan swasta yang bertambah besar dan maju telah memengaruhi ide melepaskan identitas (prinsip dan nilai-nilai) perkoperasian, mulai berusaha ala perseroan yang tega menjadi debitor-debitor jahat, mencari profit 'laba', bukan benefit 'manfaat bersama'.

Bahaya pasar bebas
Tulisan ini tidak ingin berbicara mengenai keusangan pemikiran Adam Smith yang pada awalnya menulis buku The Theory of Moral Sentiments (1759) dan tahap berikutnya menulis buku terkemuka The Wealth of Nation (1776), yang keduanya tidak mudah dirukunkan, sampai-sampai Amitai Etzioni (1988) menyebutnya sebagai das Smith Problem, persoalan Tuan Smith.

Didahului Bapak Koperasi Indonesia (1934) yang menyatakan bahaya pasar-bebas Adam Smith akan memperbesar yang kuat dan menghancurkan yang lemah, Karl Polanyi dalam bukunya The Great Transformation (1944) mengungkapkan betapa bahaya pasar-bebas Adam Smith, yang bisa penghancuran masyarakat, the demolition of society. Bahkan, John Maynard Keynes sendiri menyanggah bahwa pasar-bebas mampu self-regulating dan self-correcting. Oleh karena itu, dia perlu menegaskan the end of laissez-faire (perlunya pasar-bebas diakhiri) dan pemerintah perlu mengoreksi kegagalan-kegagalan pasar.

Keynes yang mendorong ekonomi bekerja penuh, full employment, yang berarti dia seorang modernis dalam pemikiran ekonomi, namun bagi saya dia tetap menganut neoklasikal karena
dia tidak mengusut masalah ketimpangan-ketimpangan struktural.

Tentu dapat saya kemukakan di sini nama-nama kaum strukturalis yang menolak liberalisme dengan pasar-bebas bawaannya seperti KRT Radjiman Wediodiningrat, Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, Ariawiraatmadja, Margono Djojohadikusumo, Soeriaatmadja, Sutan Sjahrir, Sarbini Somawinata, Bintoro Tjokroamidjojo, Sritua Arief, Mubyarto, Kwik Kian Gie, Kurtubi, Rizal Ramli, Nataatmadja, Noorsy, Damanhuri, Yuyun Wirasasmita, Suharsono Sagir, Saparini, Suroto, dan sederetan nama ekonom strukturalis Indonesia muda yang memahami
betul bahaya mekanisme pasar-bebas yang bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, terutama Pasal 27 Ayat 2 dan Pasal 33 serta pasal-pasal pendukungnya, yaitu Pasal 18, Pasal 23, dan Pasal 34 UUD 1945 asli.

Tentu dapat saya kemukakan pula betapa pasar-bebas Adam Smith yang lahir dari ideologi liberalisme dan individualisme yang tentu bertentangan dengan ideologi Indonesia yang berdasar "kebersamaan" (mutualisme atau ke-jemaah-an) dan "asas kekeluargaan" (brotherhood atau ke-ukhuwah-an) sebagaimana telah dipakukan BPUPKI dan PPKI ke dalam Konstitusi Indonesia dan sila-sila Pancasila.

Saya mencatat Jan Tinbergen (1978), pemenang Nobel Ekonomi pertama, menegaskan, "competition and cooperation have to be kept in balance, if not the winners simply push the losers ruthlessly aside in the market". Demikian pula Gunnar Myrdal, John Robinson, John Kenneth Galbraith, Robert Heilbroner, Lester Thurow, Robert Kuttner, Amartya Sen, Joseph Stiglitz mengingatkan bahaya pasar-bebas.

Tidak habis heran
Kita tidak habis heran mengapa Undang-Undang Koperasi ini (UU No 17/2012) menjadi undang-undang yang patut disebut sebagai undang-undang borjuis. Koperasi Indonesia sejak awal, sebagaimana juga paham ICA, adalah organisasi ekonomi yang berwatak sosial dan merupakan "kumpulan orang", bukan "kumpulan modal". Tentu ini tidak berarti bahwa koperasi tidak memerlukan modal, financial resource. Modal tetap penting dalam setiap badan usaha.

Kumpulan orang dalam kope- rasi berarti bahwa peran orang (anggota) adalah terpenting/primus (artinya, peran orang/anggota adalah sentral-substansial). Dengan demikian, ia lebih utama daripada peran modal, tidak bisa direduksi oleh modal atau pemodal menjadi marginal-residual. Oleh karena itu, berlakulah dalam koperasi prinsip pengambilan keputusan berdasarkan pada pengutamaan orang (anggota)—one man one vote—bahwa setiap anggota sama dan setara.

Dalam badan usaha nonkope- rasi, misalnya perseroan terbatas (PT), berlaku pengertian konstruksi yang sebaliknya. PT adalah kumpulan modal, bukan kumpulan orang. Namun bukan berarti orang, human resource, tidak penting. Kumpulan modal dalam PT menempatkan modal dan peran modal adalah yang utama/primus. Oleh karena itu, dalam pengambilan keputusan, berlaku prinsip pengutamaan
peran modal, dengan demikian berdasarkan pada one share one vote.

UU No 17/2012 tentang Kope- rasi secara mendasar merusak peran mulia manusia (anggota) dalam bangun perusahaan kope- rasi. Koperasi tidak saja didistorsi dengan insting-insting kapitalistik borjuasi, dengan peran modal dan pemodal yang masuk ke dalam koperasi, tetapi meniadakan prinsip-prinsip murni dan identitas koperasi Indonesia.

Ekonomi nasional
Pasal 33 UUD 1945, sebagai dasar penyelenggaraan ekonomi nasional, menyatakan dalam Ayat (1), "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan".

Yang dimaksud dengan perekonomian tentulah bukan hanya usaha koperasi, melainkan meliputi usaha-usaha nonkoperasi seperti PT, firma, CV, dan seterusnya.

Disusun berarti tidak dibiarkan tersusun sendiri sesuai dengan mekanisme pasar-bebas ataupun kehendak dan selera pasar. Secara imperatif negara menyusun, menata, negara mendesain (lebih dari sekadar mengintervensi). Usaha-usaha nonkoperasi harus pula mengikuti paham "disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan"—artinya, minimal ada co-ownership antarsemua stakeholders. Ini sinkron dengan "pemilikan saham perusahaan" oleh koperasi terkait di zaman Soeharto.

Wujud ketersusunannya adalah jelas: tersusun sebagai "usaha bersama" (sebagai mutual endeavor) berdasar mutualisme atau kepentingan bersama. Dalam usaha bersama itu berlaku "asas kekeluargaan", brotherhood, yang bukan kinship atau kekerabatan, suatu kegotongroyongan koope- ratif.

Itulah sebabnya, terlepas dari koperasi an sich, Jakob Oetama (Kompas, 16 Agustus 2005) menegur saya mengapa teman-teman saya kelewat mengagumi Anthony Giddens dengan bukunya The Third Way (1999). Padahal, Pasal 33 UUD 1945 adalah the Indonesia's Third Way.

Saya tertegun bahwa beliau lebih paham ekonomi konstitusi daripada ekonom-ekonom kita itu.

Sri-Edi Swasono

Guru Besar UI; Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa

(Kompas cetak, 12 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger